Referensimalukui.d.Ambon-Hampir dua bulan terakhir pascakonflik Kariu, Ory dan Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, belum ada sinyal positif di balik upaya penyelesaian secara tuntas oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maluku Tengah. Pemprov Maluku dinilai pandai mengingkari janji, sedangkan Pemkab Maluku Tengah sengaja menutup mata menyelesaikan konflik warga di wilayah “Pamahanunusa”. Faktanya, Pejabat Pemprov Maluku dan Pemkab Maluku Tengah lebih suka mengejar pencitraan dan melupakan tugas dan tanggung jawab mereka menaungi dan melindungi masyarakat Kariu yang paling menderita di kamp-kamp pengungsian dan rumah warga Negeri Aboru di wilayah kecamatan serupa. Pejabat Pemprov Maluku dan Pemkab Maluku Tengah lebih suka hura-hura daripada turun langsung melihat penderitaan rakyat Kariu di Aboru. Muncul tudingan miring jika pejabat Pemprov Maluku dan Pemkab Maluku Tengah hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya menjelang pemilihan Gubernur Maluku dan pemilihan Bupati Maluku Tengah pada 2024 mendatang. Menyikapi sikap abu-abu (ambigu) Pemprov Maluku di bawah kepemimpinan Gubernur Murad Ismail dan Wakil Gubernur Barnabas Nataniel Orno dan Pemkab Maluku Tengah di bawah komando Tuasikal Abua, mendorong
Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Ambon dan Badan Pimpinan Cabang (BPC) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Ambon angkat suara mengecam sikap ambigu Pemprov Maluku. Kedua organisasi Kelompok Cipayung ini sangat menyesalkan lambatnya penyelesaian Pemprov Maluku pascakonflik Kariu berhadapan Pelauw dan Ori. Padahal, konflik antar desa dan kampung bertetangga di Haruku tersebut hanya berkaitan masalah lahan atau batas wilayah yang sampai saat ini belum ada “benang merah” yang mampu mengurai dan menyatukan persepsi antara Kariu, Pelauw dan Ori tersebut.
“Masyarakat Negeri Kariu yang merupakan salah satu desa korban konflik sampai saat ini masih berada di tempat-tempat pengungsian karena konflik tersebut. Nah, Pemprov Maluku seharusnya lebih responsif dengan pelbagai persoaln konflik sosial seperti ini, karena konflik sosial yang terjadi akhir-akhir ini tumbuh subur ibarat jamur di musim penghujan, namun tidak ada kejelasan dan kepastian penyelesaianya oleh Pemprov Maluku, “terang Ketua DPC GMNI Ambon, Adi Tebwaiyanan, SE kepada Referensimaluku.id di Ambon, Selasa (15/3/2022).
Menurut Tebwaiyanan pada 31 Januari 2022 DPC GMNI Ambon dan BPC GMKI Ambon pernah malakukan aksi demonstrasi di depan kantor Gubernur Maluku seraya mendesak pihak Pemprov setempat mengambil langkah preventif agar perseteruan tiga kampung desa tersebut dapat terselesaikan. Tapi apa lacur, sampai saat ini penyelesaian masalah kemanusiaan dan tapal batas wilayah pascakonflik Kariu dan Ori dan Pelauw tersebut masih berada di ambang ketidakpastian.
“Nasib masyarakat kariu yang saat ini berada di Negeri Aboru belum jelas, kapan mereka dipulangkan ke tempat asalnya. Oleh karena itu kami meminta pertanggungjawaban atas janji Pemprov Maluku yang pernah disampaikan pascakonflik 26 Januari 2022 bahwa pemerintah akan mengembalikan masyarakat Kariu ke tempat asalnya serta pemerintah akan merenovasi rumah-rumah warga Kariu yang rusak akibat konflik sebelumnya,” tutur Ketua GMKI Cabang Ambon, Josias Tiven di kesempatan berbeda.
“Menurut kami Pemprov Maluku seharusnya menggunakan pendekatan yang lebih prudent dan akomodatif dalam menyelesaikan persoalan konflik Kariu, Ori dan Pelauw. Jadi kami BPC GMKI dan teman-teman DPC GMNI Ambon meminta Pemprov Maluku agar tidak menutup mata dan tidak mengabaikan masalah tersebut karena jika persoalan krusial ini tidak diselesaikan, maka sudah pasti akan sangat berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat Kariu maupun Ori,” tambah Tiven.
Tiven menyebutkan pemulihan pascakonflik menjadi kewajiban Pemprov Maluku dan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. “Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan upaya pemulihan pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan konflik Sosial”. Upaya Pemulihan pascakonflik yang harus dilakukan Pemprov Maluku dan Pemkab Maluku Tengah, di antaranya yang pertama Rekonsiliasi yakni bagaimana Pemprov Maluku dan Pemkab Maluku Tengah bersama pihak-pihak yang berkonflik dapat melakukan perundingan secara damai; kedua Rehabilitasi yakni bagaimana Pemprov Maluku dan Pemkab Maluku Tengah melakukan rehabilitasi pascakonflik mulai dari pemulihan Psikologi, pemulihan kondisi sosial ekonomi, keamanan dan ketertiban, ketiga Rekonstruksi yakni bagaimana Pemprov Maluku dan Pemkab Maluku Tengah seharusnya fokus melakukan pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan publik di lingkungan atau daerah pascakonflik, pemulihan dan penyediaan akses pendidikan, kesehatan, perbaikan sarana dan prasarana umum daerah Konflik dan lain sebagainya. “Namun sampai saat ini belum ada perkembangan apa-apa yang dilakukan Pemprov Maluku dan Pemkab Maluku Tengah,” tukas Tebwaiyanan.
“Sebelumnya dalam agenda Silaturahmi OKP Cipayung dengan Kapolda Maluku pada Senin (14/3/2022, kami telah menyampaikan langsung ke Kapolda Maluku agar segera menyelesaikan proses hukum berkaitan konflik Kariu-Ori dan Pelauw karena sudah hampir satu bulan lebih masalah ini belum terselesaikan oleh polisi sebagai Aparat Penegak Hukum”.
“Kami Meminta Kapolda Maluku agar kiranya dapat mewujudkan tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Kami juga meminta agar pihak Intelkam dapat mendeteksi dini, memberikan peringatan masalah, perkembangan masalah dan perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat, serta dapat mengidentifikasi ancaman, gangguan, atau hambatan terhadap Kamtibmas,” tutup Tiven. (RM-05)
Discussion about this post