Referensimaluku.id.Ambon- Maluku Crisis Center (MCC) ikut menyikapi tindakan aparat penegak yang mereka nilai sebagai persekusi secara hukum terhadap aktivis pejuang hutan adat Sabuai. Dua aktivis, Kaleb Yamarua dan Stefanus Ahwalam saat ini tengah menjadi tahanan kota oleh Kejaksaan Negeri Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku.
Kedua aktivis itu harus menjalani proses persidangan di Pengadilan a Negeri Bula karena dituduh secara bersama-sama melakukan perusakan terhadap peralatan CV. Sumber Berkat Makmur (SBM) saat mereka ingin mempertahankan hutan adatnya.
Direktur MCC Ikhsan Tualeka menjelaskan, dalam proses peradilan terhadap kedua aktivis Sabuai itu dituntut dengan pasal 170 KUHP dan Pasal 406 KUHP di mana secara kalkulatif total hukuman dari kedua pasal tersebut adalah delapan tahun penjara apabila mereka diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri setempat.
Sementara menurut Ikhsan, bos CV. SBM yang jelas-jelas menipu warga Sabuai dan Pemerintah Daerah, hanya diganjar dua tahun penjara, padahal kerugian ekologi, sosial dan psikologis yang ditimbulkan aktivitas perusahaan CV. SBM tidak bisa dibayar hanya dengan hukuman penjara yang singkat itu.
’’Ini kontradiktif, paradoksal dan tidak proporsional. Sungguh realitas yang mengecewakan, mestinya bos CV. SBM itu dihukum seberat-beratnya karena sudah merusak hutan adat Sabuai yang menyebabkan banjir dan longsor di permukiman warga Sabuai akibat kegiatan illegal loggingnya. Cost recovery dari keruskan yang ditimbulkan tak ternilai”, tegas Ikhsan dalam jumpa pers di Ambon, Senin (30/8/2021).
Ikhsan menilai aktivitas perusahaan itu ilegal dan menipu karena izin yang didapat CV. SBM adalah menanam Pala namun sampai detik ini tak ada satu pohon pala pun yang ditanam, sementara hutan perawan Sabuai dibabat habis dan kayu-kayu unggulan dikirim ke luar Maluku.
’’Untuk itulah kami mendesak Pengadilan Negeri Bula segera membebaskan kedua adik pejuang hutan adat Sabuai dari segala tuntutan hukum Jaksa Penuntut Umum. Sebab apa yang mereka lakukan tak lebih dari upaya melindungi hutan adat mereka yang di dalamnya terdapat situs-situs sejarah kampung tua Sabuai”, desak Ikhsan.
Ikshan menyebutkan tindakan kedua pejuang hutan adat Sabuai itu adalah bentuk ekspresi terhadap pengakuan Negara atas masyarakat adat yang tertuang dalam UUD 1945 dan Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 yang menegaskan “Hutan Adat bukan Hutan Negara”.
’’Apa yang dilakukan kedua warga Sabuai itu justru perlu diapresiasi, bukan malah dihadapkan di depan pengadilan. Ini justru dapat menjadi preseden buruk. Perusahaan perusak hutan seperti CV. SBM harus di-blacklist. Penting, sebagai efek jera, karena alam dan lingkungan hari ini hanyalah titipan dari anak cucu kita, menjaga dan melestarikannya adalah kewajiban”, urai Ikhsan.
Aktivitas MCC lainnya, Callin Leppuy, di tempat yang sama mengatakan jika menggunakan perspektif hukum dari Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kedua aktivis lingkungan itu tidak bisa dituntut secara pidana dan digugat secara perdata sebab mereka sedang memperjuangkan lingkungan hidup tetap lestari, terlindungi dan berkelanjutan.
’’Kami melihat bahwa kasus ini mestinya dikawal semua pihak, sebab ini berkaitan dengan upaya melindungi hutan adat di Maluku di mana dalam banyak pengalaman, hutan-hutan adat kerap menjadi objek perburuan korporasi untuk dieksploitasi dan terakhir yang tersisa adalah kiamat ekologi”, sentilnya.
Callin juga menyerukan Pengadilan Negeri Bula dapat segera membebaskan kedua aktivis lingkungan itu. “Sekali lagi kami tegaskan bahwa Pengadilan Negeri Bula segera membebaskan kedua aktivis pejuang hutan adat Sabuai dari segala tuntutan hukum dalam bentuk apapun,” desaknya.
MCC menggaris bawahi tugas Pengadilan adalah menghadirkan rasa keadilan dan bukan sekedar memutus perkara. Sebab kata “adil” adalah ruh yang menggerakan Pengadilan itu sendiri. Jika Pengadilan tidak bertindak untuk memutus perkara secara adil, maka dia telah meruntuhkan tugasnya mencari keadilan itu sendiri. (RM-05)
Discussion about this post