REFMAL.ID.AMBON – Ada yang menarik di balik sidang lanjutan kasus dugaan korupsi Anggaran Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Politeknik Negeri Ambon (Polnam) tahun anggaran (TA) 2022, yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Ambon, Rabu (26/6/2024).
Sidang ini beragendakan mendengar keterangan tiga orang saksi, yakni ketua Panitia Wisuda tahun 2022, Maria Yuyun Pattiwael dan dua saksi lain tersebut di pimpin ketua majelis hakim Wilson Shriver Manuhua didampingi dua hakim anggota lainnya.
Kesaksian tiga saksi ini untuk dikonfrontir dengan ketiga terdakwa perkara “pancuri kepeng” DIPA Polnam di Pengadilan Negeri Tipikor Ambon, masing-masing Ventje Salhuteru selaku Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Pembayaran, Welma Ferdinandus (Pejabat Pembuat Komitmen/PPK) Belanja Rutin dan Christina Siwalette (PPK Belanja Barang dan Modal).
Menariknya, hadirnya saksi Maria Yuyun Pattiwael alias Yuyun dalam persidangan ini untuk ketiga kalinya atas permintaan ketua majelis hakim. Sebab, ada aliran dana ratusan juta yang dikelola yang bersangkutan dari DIPA Polnam tahun 2022, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Saat dihadapkan di persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Ambon, Inggrid Louhenapessy langsung mencecar Yuyun atas pengelolaan dan pemanfaatan dana hibah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maluku Tengah sebesar Rp.44.000.000 (empat puluh empat juta rupiah), yang dikucurkan untuk wisuda mahasiswa kampus Poltek Cabang Masohi. Tidak hanya itu, ada anggaran DIPA Rp.88.000.000 (delapan puluh delapan juta rupiah) dan Rp.36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah) milik Mahasiswa Polnam yang dikelola saksi Yuyun Pattiwael.
“Bagaiamana dengan BAP saudara atas pengelolaan dana-dana ini, pertanggungjawabannya seperti apa,” tanya JPU Louhenapessy.
“Memang saya terima uang ini dari bendahara, tapi saya sama sekali tidak gunakan. Saya berani sumpah. Lalau bagaimana bisa saya disuruh kasih pulang,” bantah Yuyun.
Mendengar pernyataan tersebut, JPU Novi Temmar, geram. Temmar kemudian meminta saksi Yuyun Pattiwael untuk memperlihatkan bukti-bukti berupa nota pembelanjaan. Sayangnya, saat ditanya hal itu oleh JPU Temmar, saksi Yuyun Pattiwael bersikeras tidak mau memperlihatkan bukti tersebut.
Menurut Yuyun, Rp.44.000.000 (empatpuluh empat juta rupiah) merupakan hibah untuk kampus Polnam di Masohi namun uang itu hanya digunakan untuk perbaikan plafon aula kampus dan belanja operasional kampus lainnya.
“Yang saya gunakan itu belanja perbaikan bahan plafon aula kampuss. Memang saya tidak sempat buat kuintansi, tapi itu betul yang perlu saya jelaskan,” ungkap Yuyun.
Karena kerap berbelit, ketua majelis hakim mengingatkan saksi Yuyun untuk berkata jujur, mengingat saksi berkewajiban hadir di sidang memberikan keterangan yang benar karena sebelum memberikan keterangan telah diambil sumpah.
“Saudara saksi tolong berkata jujur, ini BAP saudara yang kita mau konfrontir kembali di sidang ini, di hadapan saksi-saksi lain juga ketiga terdakwa di sini. Saudara harus saudara berkata jujur, kalau saudara bilang bukti apa yang harus dikasih ke kita (dalam sidang) itu bukan urusan kami. Saudara silahkan cari bukti sendiri lalu buktikan di sini,” tegas Hakim.
Mendengar penjelasan saksi Yuyun Pattiwael, Penasihat Hukum terdakwa Ventje Salhuteru, Henri Lusikooy naik pitam. Lusikooy dengan tegas langsung meminta majelis hakim agar memerintahkan JPU menetapkan saksi Yuyun Pattiwael sebagai tersangka tambahan dalam kasus ini.
“Yang mulia, dari tadi saya sudah mendengar keterangan saksi, karena sudah terbuka secara terang benderang. Kita meminta agar majelis memerintahkan JPU untuk menetapkan saksi ini sebagai tersangka. Karena jelas dia turut menikmati kerugian keuangan negara yang timbul dari dana DIPA (Polnam) ini,” tegas Lusikooy.
Mendengar permintaan kuasa hukum terdakwa Ventje Salhuteru, majelis hakim langsung dengan tegas memerintahkan saksi Yuyun Pattiwael agar segera kembalikan uang sejumlah Rp.88.000.000, Rp. 44.000.000 dan Rp.36.000.000 tersebut.
“Kami beri kesempatan ke saudara saksi agar tanggal 22 Juli 2024, sudah kembalikan uang itu. Kalau tidak saudara kan tahu apa konsekuensinya,” tegas hakim Manuhua. Sebelum itu dalam persidangan perkara ini selaku Penasihat Hukum Terdakwa Ventje Salhuteru, Lusikooy juga meminta majelis hakim menerapkan Direktur Polnam Dady Maihuru dan Wakil Direktur III Polnam Leonora Leuhery sebagai tersangka-tersangka baru karena keduanya ikut menikmati “kepeng” di kasus “pancuri kepeng” Polnam tahun 2022.
Di kesempatan bersamaan, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi mahkota.
Dalam kesaksian terdakwa Ventje Salhuteru,selaku Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Pembayaran dia menerangkan, tahun 2022 Polnam mendapat dana DIPA sebesar Rp.72.000.000.000 (tujuh puluh dua miliar rupiah).
Anggaran sebesar itu dikelola masing-masing terdakwa Welma Ferdinandus, pejabat pembuat komitmen (PPK) Belanja Rutin, sebesar Rp.65.000.000.000 (enam puluh lima miliar rupiah) lebih, sedangkan terdakwa Christina Siwalete, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Belanja Barang dan Modal, mengelola dana sebesar Rp.7.000.000.000 (tujuh miliar rupiah) lebih.
“Dari DIPA itu ada anggaran sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) yang saya kelola untuk lakukan tujuh kegiatan. Kegiatan semua berjalan, namun ada anggaran sisa Rp.70.000.000 (tujuh puluh juta rupiah) lebih yang saya tidak pertanggungjawabkan. Sebenarnya uang itu saya bersedia mau kasih pulang saat jadi temuan. Namun tiba-tiba saya sudah ditahan oleh jaksa sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk proses pengembalian Yang Mulia,” ujar Salhuteru.
“Saya pun akui untuk sejumlah paket proyek di Polnam maupun yang dikerjakan rekanan. Itu ada fee 3 persen ke rekanan, dan saya tahu itu, termasuk saya arahkan dua terdakwa lainnya,” tutur Salhuteru.
Terdakwa Christina Siwalete selaku PPK tahun 2022, mengungkapkan pihaknya kelola DIPA sebesar Rp.7.000.000.000 (tujuh miliar rupiah) lebih. Dana ini diperuntukkan untuk kegiatan dukungan operasional pendidikan termasuk di dalamnya pembelanjaan bahan praktik untuk dua program studi sebesar Rp.2.000.000.000 (dua miliar rupiah) lebih, kegiatan sarana dan prasarana sebesar Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah) lebih, kegiatan belanja pemeliharaan peralatan dan mesin sekitar Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) lebih, kegiatan sarana pembelajaran sebesar Rp.800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) lebih, penanganan covid 19 sekitar Rp.110.000.000 (seratus sepuluh juta rupiah) serta kegiatan lainnya.
“Dari item kegiatan ini pihak ketiga kerjakan. Ada juga pihak kampus kerjakan, dan fee 3 persen tetap diberikan ke pihak ketiga sekalipun mereka tidak kerja. Itu saya tahu sesuai arahan pak Ventje.Ada juga uang dari DIPA ini diberikan Rp.80.000.000 (delapan puluh juta rupiah) ke saksi Yuyun selaku ketua panitia wisuda. Uang itu diberikan atas perintah atau memo dari pak Ventje. Sedangkan sisa dana dari uang yang saya kelola itu ada di kas dan dikembalikan ke negara,” tegas Siwalette.
Terdakwa Welma Ferdinandus, pejabat pembuat komitmen (PPK) Belanja Rutin, di hadapan sidang menuturkan, jika dana DIPA tersebut pihaknya kelola sekitar Rp.65.000.000.000 (enam puluh lima miliar rupiah) lebih.
Dari Rp.65.000.000.000 (enam puluh lima miliar rupiah) tersebut, lanjut Welma, diperuntukkan untuk mem bayar gaji pegawai sejumlah Rp.46.000.000.000 (empat puluh enam miliar rupiah) lebih, Belanja barang dan jasa sejumlah Rp.18
000.000.000 (delapan belas miliar rupiah) lebih, pembayaran honor pegawai,honor dosen, Kaprodi, biaya listrik kampus, biaya internet, biaya perjalanan dinas luar negeri Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) lebih, dan item-item kegiatan lain.
Menurut terdakwa Ferdinandus, sebenarnya ia tidak ingin menjadi PPK di kampus namun karena dipaksa oleh Direktur Polnam Dady Mailuhu, sehingga ditugaskan sebagai PPK. Bahkan, pernah Direktur Mailuhu sampaikan ke terdakwa Ferdinandus jika di kemudian hari ada terjadi masalah, direktur Mailuhu siap bertanggungjawab.
“Dari awal saya bilang tidak usah jadi PPK tapi direktur (Dady Mailuhu) bilang tidak usah takut jadi PPK nanti saya bertanggungjawab. Ini direktur yang bilang ke saya. Dan untuk sistem pembayaran fee 3 persen ke rekanan itu sudah berlangsung sejak lama, sebelum saya menjabat selaku PPK. Dan ini sudah terjadi sebelumnya di kampus Polnam,” jelas Ferdinandus.
Dari dana Rp.65 miliar itu, tambah dia, sisanya ada Rp.2.000.000.000 (dua miliar rupiah) lebih yang tidak digunakan, dan sudah dikembalikan ke kas negara. (RM-04)
Discussion about this post