REFMAL.ID.AMBON – Wakil Direktur Bidang Umum dan Keuangan Politeknik Negeri (Polnam) Ambon, Fentje Salhuteru (FS) berikut dua pegawai Polnam masing-masing Wilma Enggliani Firdinandus (WEF), dan Christina Siwalette (CS) akhirnya menjalani sidang perdana, yakni pembacaan dakwaan terkait kasus “pancuri” anggaran (kepeng) Daftar Isian Proyek Anggaran (DIPA) untuk belanja barang dan jasa pada Polnam tahun anggaran 2022 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Ambon.
FS, WEF, dan CS menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon, Senin (1/4/2024). Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan itu dipimpin langsung, Wilson Silver Manuhua selaku hakim ketua dibantu dua hakim anggota. Hadir ketiga terdakwa didampingi penasehat hukum, dan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon, Novie Beatrix Temmar dan Endang Anakoda.
JPU dalam dakwaanya menyebutkan perbuatan para terdakwa berawal dari FS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan modus operandi bersama terdakwa WES alias Ema dan CS alias Itin.
Ketiga terdakwa, urai JPU, membuat kebijakan terhadap beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh lima penyedia atas paket pekerjaan. “Polnam di tahun Anggaran 2022, membuat kegiatan pengadaan barang/jasa yang tidak sesuai dengan nilai yang dipertanggungjawabkan sehingga mengakibatkan adanya selisih pembayaran dan sisa dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, serta melakukan proses pembayaran kepada penyedia Jasa dan pelaksana kegiatan di internal Polnam tidak sesuai ketentuan, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 3 ayat (1). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 18 ayat (3), Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya pasal 1 dan 2,” baca JPU.
“Perbuatan para terdakwa adalah untuk memperkaya diri sendiri yaitu terdakwa FS memperkaya orang lain yakni WEF alias Ema dan CS, atau setidak-tidaknya telah memperkaya diri orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”.
“Berdasarkan Laporan hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Anggaran Penggunaan DIPA untuk Belanja Barang dan Belanja Modal pada Politeknik Negeri Ambon Tahun Anggaran 2022 Nomor PE.03.03/R/SP-148/PW25/5/2024 tanggal 12 Januari 2024 yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Yunaedi selaku Kepala Perwakilan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Maluku (BPKP) dengan nilai kerugian Keuangan Negara sebesar Rp. 866,337,951,00”.
“Perbuatan tersebut dilakukan oleh para terdakwa dengan cara, pada tahun 2022 Polnam Ambon menerima Anggaran Rutin dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang masuk dalam DIPA Politeknik Negeri Ambon sesuai Revisi terakhir Nomor: 023.18.2.677617/2022 tanggal 06 Desember 2022 sebesar Rp. 72.701.339.000. yang bersumber dari APBN Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sebesar Rp 61,976,517,000 dan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp. 10.724.822.000.
Dimana rincian alokasi anggaran kegiatan yang masuk pada DIPA Poltek realisasi Belanja Barang dan Belanja Modal sebesar Rp. 25,407,273,184,00 itu ada kegiatan belanja barang berupa belanja bahan, belanja barang non operasional lainnya, belanja hari-hari perkantoran dan belanja modal berupa belanja sarana prasarana pembelajaran dan belanja sarana pendukung pembelajaran sebesar Rp8,284,380,638,000, yang terdiri dari pemilihan/penunjukan enam Penyedia barang/Jasa yaitu CV. Sejahtera Abadi, CV. Aboy Innovation Technology, CV. Empat Permata, CV. Kwimba, CV. Surya Abadi Pratama, dan Toko Fajar Gemilang Mandiri dilaksanakan sebanyak 308 paket dengan total nilai kontrak/kwitansi sebesar Rp. 8.241.336.638,00”.
“Kemudian terdakwa WEF membuat Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak dan meminta masing- masing pelaksana kegiatan yaitu Saudara Novi Marantika, Saudara Febiola Matuankotta, Saudara Leunora Leuhery, Saudara Pieter Pelapory, saudara Jacky Tentua, Saudara Jean Tuhumury, Saudara Herman Surijadi, Saudara Renny Betaubun, Saudara Meny Huliselan, saudara Pieter Pelapory Saudara Samuel Taribuka, Saudara Fauzia Tutupoho, Saudara Daniel Pesurnay, Saudara Rina Latuconsina, Saudara Ventje J. Kuhuparuw, saudara Vascolino Pattipeilohy, Saudara Alexander Patty, Saudara Leonora Ferdinandus, Saudara Frangky J. Louth, saudara Nancy Silooy, Saudara Aprillia Latumeten, saudara Meiske Tangga, Saudara Noce Tetelepta, Saudara Stenly Titioka Roy Allan Wattimena, Saudara Marie Tahalele, Saudara Jhon Nununete, Saudara Agustina de lima, Saudara Caroline Piris, saudara Maria Juneferstina, Saudara Nancy Silooy, Saudara Ikri Hairudin, Saudara Olla Johanes, Saudara Elsina Aponno, Saudara Simson Melmambessy, Saudara Dian Sutiksno, Saudara Daniel Pesurnay, Dosen pekerti, dan masing-masing Ketua Jurusan dan Saksi Fentje Salhuteru, SE., M.Si sendiri untuk menandatangani Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak tersebut.
Padahal anggaran kegiatan yang diserahkan ke masing-masing pelaksana kegiatan tidak sesuai dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang ditandatanganinya bahkan masih dengan dalih adanya pemotongan Fee 3% dan potongan Pajak.
Kemudian terdakwa WEF alias Ema memangkas lebih dari nilai perhitungan fee 3% dan potongan pajak terhadap beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh beberapa pelaksana kegiatan atas nama Saudara Jacky Tentua, Saudara Daniel Pesurnay, Saudara Alexander Patty, Saudara Jean Tuhumury, Saudara Ikri Hairudin dan Saudara Novie Marantika sehingga terdapat Selisih pembayaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp. 254,426 651”.
“Akibat Perbuatan para terdakwa mereka didakwa bersalah sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Usai pembacaan dakwaan, jaksa lalu menunda persidangan hingga 22 April 2024 dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.
DIREKTUR POLITEKNIK AMBON SENGAJA DILOLOSKAN DALAM KASUS INI DAN DIJADIKAN ATM BERJALAN.
Sekadar diketahui di kasus “pancuri kepeng” alias korupsi penggunaan DIPA Politeknik Negeri Ambon (Polnam) Tahun Anggaran 2022, Direktur Polnam yang dijabat DM alias Dady berkedudukan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang sesuai Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 menempatkan KPA sebagai sosok vital di balik pengadaan barang dan jasa pemerintah. Anehnya, Aparat Penegak Hukum (APH) menerapkan tebang pilih dengan melepaskan DM dari jeratan kasus ini. Padahal, jika merujuk pada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP seharusnya DM juga mendekam di bui dan menjalani sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Ambob menemani FS, WEF dan CS. Alhasil, APH dituding masuk angin karena diduga menjadikan DM sebagai Agunan Tunai Mandiri (ATM) berjalan di balik kasus ini. Untuk mendukung skenario busuk APH, DM mengangkat suami salah satu pejabat Kejaksaan Negeri di Bali sebagai pejabat hubungan masyarakat Polnam. Ini benang merahnya. Untuk mengurai benang merah meloloskan DM dalam kasus ini dibangun kerja sama akal-akalan Polnam dan APH. (Tim RM)
Discussion about this post