Referensimaluku.id.Ambon-Anggota DPRD Provinsi Maluku Anos Yermias mengatakan secara normative, sebenarnya Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBDP) tidak menjadi persoalan. Karena masing-masing telah diatur ketentuan dan mekanismenya dalam aturan perundang-undangan yang berlaku.
“Namun ruang yang diberikan dalam konteks Perda maupun Perkada memiliki alasan-alasan yang dipersyaratkan.
Artinya, kita menggunakan Perda APBDP karena kondisi tertentu, dan menggunakan Perkada APBDP juga karena alasan kondisi tertentu. Namun, perlu diingat bahwa sifatnya yang opsional, karena dipersyaratkan penggunaan opsinya jika terjadi kondisi tertentu pula,” kata Anos kepada referensimaluku.id di Ambon, Senin (7/11/2022).
Menurut Anos, dalam Perkada, batang tubuhnya juga akan mencakup poin-poin penting sebagaimana penjabaran dalam APBDP di mana akan ditetapkan pendapatan dan belanja serta besaran pembiayaan, termasuk di dalamnya Silpa (Sisa Lebih Penyesuaian Anggaran) tahun sebelumnya.
“Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, perda APBD-P seharusnya diserahkan maksimal tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir. Kita semua tahu bahwa Maluku setelah dievaluasi oleh kementerian dalam negeri, diharuskan untuk menggunakan Perkada, akibat dari keterlambatan kita menyampaikan rancangan APBD-P per 30 September 2022, sehingga rancangan Perda APBD kita ditolak dan diharuskan untuk menggunakan Perkada APBD-P”.
“Konsekuensinya, APBD-P hanya bisa dilakukan untuk program darurat dan mendesak (darsak).
Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 69 PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dengan demikian, maka jika Perkada maka sifatnya menjadi kewenangan penuh Gubernur untuk menyusun dan menetapkannya. Karena Perkada merupakan payung hukum yang bisa dikeluarkan sepihak oleh eksekutif. Hal itu bisa dilakukan dengan alasan tertentu sebagaimana PP 12 Tahun 2019 khusus pasal 179 ayat 2.
Namun, perlu diingat bahwa APBD yang menggunakan payung hukum Perkada hanya terbatas untuk belanja tertentu saja, sehingga berkonsekuensi pada kelancaran pembangunan.
Dengan demikian, pergeseran anggaran di internal dinas Meski tidak ada APBD-P, anggaran program darurat dan mendesak (darsak) tetap akan dimasukkan ke dalam anggaran masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Caranya dengan menggeser anggaran program lain di internal SKPD tersebut, sehingga pagu total anggaran di SKPD itu tidak berubah”.
“Jadi ada poin-poin yang sangat mendesak. Itu pun hanya mengubah (alokasi anggaran) di dinas masing-masing.
Pagunya (di dinas) jadinya tetap. Salah satu program darsak yang akan dimasukkan ke anggaran masing-masing SKPD/dinas yakni terkait operasional dinas”.
“Tentunya ada beberapa poin (program darsak). Tapi salah satunya harus benar-benar prioritas dan merupakan program pelayanan dasar. Memang berdasarkan pasal 161 Ayat 2 Penyusunan APBD-P tidak menjadi sebuah kewajiban. Adanya APBD-P karena tiga kondisi yang dipersayaratkan dalam PP 12 tahun 2019 pasal 161 ayat 2.
Namun demikian Pemda berkewajiban membuat laporan realisasi dan Prognosis sebagamana perintah pasal 160 PP 12 Tahun 2019,sehingga bisa diketahui apakah alasan-alasan yang menjadi pertimbangan tidak dilakukan APBD-P sesuai dengan perintah pasal 161 ayat 1 dan 2 PP12 Tahun 2019 ataukah tidak. Sehingga jika Pemerintah Daerah tidak menyampaikan APBD-P maka dipastikan daerah itu, yakni
a. perkembangan kondisi daerah yang sesuai dengan asumsi KUA;
b. dipastikan tidak ada kondisi yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar organisasi, antarunit organisasi, antar Program, antar Kegiatan, dan antar jenis belanja;
c. dipastikan tidak ada keadaan yang menyebabkan SiLPA tahun anggaran sebelumnya harus digunakan dalam tahun anggaran berjalan, ” paparnya. (RM-03)
Discussion about this post