REFMAL.ID, Ambon –Polemik kepemilikan tanah Dati Intjepuan di Negeri Urimessing, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Maluku, masih terus menjadi sorotan serius Evans Reynold Alfons.
Alhasil, salah satu ahli waris Jozias Alfons ini kini mempertanyakan keabsahan klaim Pemerintah Negeri Amahusu terkait bidang tanah di lokasi Dati Injepuan yang meliputi kawasan Gudang Arang, Benteng, Air Salobar, Benteng Atas, Gunung Nona dan sekitarnya tersebut.
Bahkan Evans secara terbuka menentang Pemerintah Negeri (Pemneg) Amahusu membuktikan kepemilikan sah tanah dati Intjepuan.
Keterangan yang diperoleh Referensimaluku.id sebagaimana dikutip dari Mediator Maluku, Minggu (16/2/2025), disebutkan hingga saat ini, Pemneg Amahusu disebut-sebut tak mampu menunjukkan bukti kepemilikan sah dalam bentuk Register Dati Negeri Amahusu yang ditandatangani Sekretaris Residen Amboina kala itu, sebagaimana menjadi standar pencatatan tanah adat di wilayah Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease (Saparua, Haruku, Nusalaut).
Menurut Evans, klaim sepihak Pemneg Amahusu bahwa tanah Dati Intjepuan merupakan tanah petuanan tanpa dasar hukum jelas dinilai sangat berbahaya, sebab dapat menyesatkan masyarakat yang saat ini menghuni wilayah tersebut.
Evans menjelaskan di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease, sistem kepemilikan tanah terdiri dari tiga kategori utama, yaitu tanah Dati, Eigendom dan Erfacht, serta tanah Pusaka, yang semuanya memiliki pencatatan resmi sebelum tahun 1923.
“Kita semua tahu bahwa tanah-tanah adat di Maluku, khususnya di Ambon dan Lease, memiliki sistem pencatatan yang jelas. Jika benar Pemneg Amahusu mengklaim tanah ini (Dati Intjepuan), maka mereka harus bisa membuktikan kepemilikannya dengan dokumen yang diakui negara. Tidak cukup hanya sekadar menyebutnya sebagai tanah petuanan atau tanah ulayat segala,” tegas Evans.
Lebih lanjut Evans menyoroti kejanggalan klaim kepemilikan Negeri Amahusu yang disebut-sebut baru diakui pada tahun 1957 ketika Raja Negeri Amahusu dijabat EA Siloij.
Hal ini dinilai sangat aneh, mengingat Indonesia sudah merdeka di tahun 1945, dan sejak itu Sistem Hukum Agraria Nasional mulai diberlakukan.
“Bagaimana mungkin Negeri Amahusu baru mencatat tanah ini pada tahun 1957, sementara kita semua tahu bahwa sistem kepemilikan adat seperti Dati, Eigendom Erfak, dan Pusaka sudah ada sebelum tahun 1923. Jika memang mereka memiliki dokumen sah, mengapa tidak ada tanda tangan Sekretaris Residen Amboina seperti yang berlaku pada tanah-tanah adat lainnya,” tambahnya mencibir.
Evans menegaskan, setelah Indonesia merdeka, sistem pencatatan tanah adat tetap merujuk pada bukti-bukti yang sudah ada sebelum kemerdekaan, bukan klaim baru yang dibuat di era modern seperti yang dikoarkan Pemneg Amahusu untuk meraup untung atas dasar menipu dan menyesatkan masyarakat pendatang. Hal ini diperkuat dengan berbagai dokumen sejarah yang menunjukkan bahwa Dati Intjepuan merupakan bagian dari 20 dusun Dati yang telah diakui sebagai milik sah seluruh ahli waris Jozias Alfons sejak tahun 1814, hal mana diperkuat dengan Kutipan Register Dati 1923, serta putusan pengadilan dari tingkat negeri hingga Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsdezaak).
Evans memperingatkan tak ada pihak yang menyebarkan opini menyesatkan mengenai status kepemilikan tanah Dati Intjepuan ini. Ia juga menekankan semua klaim harus berdasarkan hukum dan bukti resmi, bukan sekadar pernyataan sepihak tanpa dasar hukum sebagaimana yang dilakukan Pemneg Amahusu.
“Saya menantang secara terbuka Pemneg Amahusu untuk menunjukkan bukti kepemilikan mereka yang sah atas tanah Dati Intjepuan. Jangan hanya membuat klaim yang tidak berdasar, karena ini bisa merugikan masyarakat yang tinggal di atas tanah tersebut,” tegasnya menantang.
Evans menegaskan dia beserta keluarga dan seluruh ahli waris Jozias Alfons akan terus memperjuangkan hak kepemilikan tanah Dati Intjepuan yang telah diakui secara hukum, dan siap mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang mencoba memanipulasi sejarah atau merugikan hak ahli waris sah.
Sebagai langkah konkrit, Evans menyatakan akan melakukan sejumlah langkah, yakni:
1. Meminta transparansi dari Pemerintah Negeri Amahusu terkait klaim kepemilikan tanah mereka.
2. Mengajukan somasi resmi jika ditemukan ada upaya manipulasi sejarah dan dokumen palsu.
3. Melakukan langkah hukum melalui jalur pengadilan, jika ada pihak yang mencoba merebut hak atas tanah ini tanpa dasar hukum yang sah.
“Kami tidak akan tinggal diam. Kami akan menempuh jalur hukum untuk melindungi hak kami dan memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil,” tegasnya.
Mengakhiri pernyataan nya, Evans menyatakan, sengketa tanah ini menjadi perhatian masyarakat luas, terutama warga yang menghuni wilayah Dati Intjepuan. Banyak pihak berharap agar masalah ini dapat diselesaikan secara transparan dan berdasarkan bukti hukum yang kuat, sehingga tak ada pihak merasa dirugikan akibat informasi menyesatkan.(RM-02)
Discussion about this post