REFMAL.ID,Ambon – Mayoritas penduduk di kawasan Gunung Nona, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Provinsi Maluku, adalah para pendatang dari kepulauan Maluku Barat Daya (Kisar, Wetar, Romang, Leti, Damer dan pulau-pulau Babar), Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru, kepulauan Kei dan kepulauan Lease.
Sekalipun sudah puluhan tahun tinggal atau lama menetap di kawasan strategis dan penghijauan di Kota Ambon ini, namun banyak dari penduduk pendatang maupun penduduk asli Gunung Nona, Benteng dan Benteng Atas (Bentas) tetap sulit mengurusi apalagi ingin memperoleh atau memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) sebagai bukti hak milik terkuat menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria atau UUPA di Kantor Pertanahan (Agraria) Kota Ambon.
Warga pendatang hanya dapat bangga mengantongi secarik Surat Keterangan Hak Pakai (SKHP) yang diberikan/diserahkan oknum-oknum pejabat desa di Amahusu. Tahu saja di masa sebelum, saat dan sesudah konflik berhaluan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) melanda Kota Ambon di kurun 1980an, 1999 hingga 2022 masih banyak warga pendatang di Gunung Nona, Benteng dan Bentas yang akhirnya “tertipu” oleh mulut manis oknum-oknum Pemerintah Desa (Pemdes) Amahusu yang meminta uang kas negeri Rp. 300.000 – Rp. 500.000 untuk dapat memiliki selembar SKHP.
Dengan dalih tanpa bukti bahwa Dati Intjepuan milik Jozias Alfons berikut para ahli warisnya adalah tanas kas desa, oknum Pemdes Amahusu menarik untung sepihak dengan “menipu” warga Bentas, Benteng dan Gunung Nona dengan SKHP yang notabene “surat kaleng-kaleng”, tak punya kekuatan mengikat secara hukum.
Ironisnya, ada sebagian warga pendatang di Gunung Nona, Bentas dan Benteng yang berbekal SKHP berani melanggar hukum dengan mengancam dan mengusir orang-orang seakan-akan/ seolah-olah orangtua dan nenek moyang mereka (pemegang SKHP) adalah “Tuan Tanah” di Gunung Nona, Benteng dan Bentas, padahal status hukum mereka hanya “penumpang gelap” alias pendatang di tanah dati milik orang.
Maklum saja, “Hukum Dati” termasuk Tanah Dati hanya dikenal dan dilestarikan di Pulau Ambon dan Lease (Haruku, Nusalaut dan Saparua). “Hukum Dati” tidak dikenal dan tidak diterapkan di wilayah lain di Maluku. Tuan Tanah sekalipun tidak segampang dan sebodoh itu mengusir orang dari wilayahnya. Ini negara hukum. Jadi setiap perbuatan melawan hukum (mengusir orang tanpa perintah pengadilan) ada risiko hukum di kemudian hari.
Tapi, pemilik Tanah Dati dapat menarik harga sewa tanah dari orang-orang yang tinggal di dalam tanah datinya. Itu sah secara hukum. Apalagi, ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsdezaak) sebagai dasar pembebanan harga sewa, pelepasan hak (hibah) dan pemberian SKHP. Seperti apa yang selama ini dilakukan salah satu ahli waris Jozias Alfons, Evans Reynold Alfons (turunan ketiga Jozias Alfons), karena pihaknya mengantongi sejumlah putusan, antara lain putusan perkara Nomor 62/Pdt.G/2015/PN.Amb juncto putusan Nomor 10/PDT/2017/PT. Amb juncto putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3410 K/PDT/2019 dalam perkara intervensi melawan Johanis “Buke” Tisera (almarhum), Julianus Wattimena, pemilik Toko Sakura, Kantor Pertanahan Kota Ambon dan pihak lain di mana sejumlah putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Putusan-putusan soal kepemilikan Tanah “Dati Kate-kate” (Wilayah Kesya/Farmasi atas dan sekitarnya) juga mempertegas kedudukan hukum (legal standing) Jozias Alfons dan ahli warisnya sebagai pemilik sah 20 (duapuluh) potong Dusun Dati di Negeri Urimessing berdasarkan Kutipan Register Dati 24 April 1923 yang dikeluarkan sekretaris Residen van Amboina (kini markas Korem 151 Binaya di Batu Gajah, Kecamatan Sirimau, Ambon).
Dati Intjepuan sendiri termasuk dalam bagian 20 potong Dusun Dati kepunyaan Jozias Alfons dan para ahli warisnya. Kemudian berdasarkan Peta Kota Ambon yang diterbitkan Pemerintah Kolonial Belanda Tahun 1924, Negeri Urimessing berbatasan langsung dengan Negeri Nusaniwe dan bukan (berbatasan) dengan Amahusu yang baru terbentuk beberapa tahun lalu. Ada rumor lucu yang mengatakan Pemdes Amahusu memiliki Register Dati 1957. Pertanyaannya,” Bukankah penutupan pendaftaran Dati (Dati instelling) oleh Residen van Amboina sejak 1 Juni 1923?”, dan “Bukankah tahun 1857 Belanda sudah angkat kaki dari Indonesia? “Apakah Register Dati 1957 yang diduga dikantongi oknum Pemdes Amahusu adalah “produk” Jalan Pramuka di Jakarta? Entahlah!. Ada dua pertanyaan yang ingin dikemukakan, yakni: Pertama, “Mengapa Pemdes Amahusu hanya berani memberikan SKHP dan bukan surat pelepasan hak?” Kedua, “Apa yang menyebabkan warga Bentas, Benteng dan Gunung Nona sulit memperoleh Sertifikat Hak Milik (SHM) jika mengantongi SKHP dari Pemdes Amahusu?”. Jawabannya adalah: Pertama, Pemdes Amahusu tidak memiliki Register Dati atau kutipan Register Dati yang mempertegas wilayah Bentas, Benteng dan Gunung Nona masuk dati apa dan batas-batasnya dari mana ke mana. Sejauh ini Pemdes Amahusu hanya menggunakan putusan-putusan pengadilan yang tidak ada sangkut pautnya dengan nama dati dan letak dati. Istilahnya, Putusan lain dengan objek yang lain memang sengaja ditempelkan/dipajang di sejumlah tempat umum untuk menibobokan warga yang telah dibohongi atau “dikadali” dengan ribuan SKHP yang dikeluarkan Pemdes Amahusu. Kedua, beberapa tahun silam telat ada surat keberatan atau komplain dari Evans Reynold Alfons (turunan ketiga Jozias Alfons ) atau para ahli waris Jacobus Abner Alfons (turunan kedua Jozias Alfons) serta Obeth Nego Alfons (turunan kedua Jozias Alfons) ke Kantor Pertanahan Kota Ambon jika berani atau secara melawan hukum menerbitkan Sertifikat bagi warga Bentas, Benteng dan Gunung Nona yang menyodorkan SKHP dari Pemdes Amahusu. “Pantasan waktu saya mau urus sertifikat di Kantor Pertanahan Kota Ambon ketika saya tunjukkan PBB dan SKHP dari Amahusu surat saya ditolak,” kata Rendy, salah satu warga Bentas, Kecamatan Nusaniwe ke referensimaluku.id di Ambon, pekan lalu.
Di bagian lain, Christian Pattiwael, salah satu ketua Rukun Tetangga (RT) di Gunung Nona menuturkan pihaknya pernah menyurati Pemdes Amahusu untuk mediasi dengan ketua-ketua RT, pejabat Kantor Pertanahan Kota Ambon, Lurah dan Camat serta disaksikan petugas Kepolisian Sektor Nusaniwe, namun Pemdes Nusaniwe tak pernah mau menjawab surat dan menolak mediasi dengan seribu alasan, entah belum ada raja definitif, ada tugas dan ada kesibukan lain. “Kalau belum ada Raja definitif mengapa kalian bikin SKHP,” heran Christian, pekan lalu.
“Pernah ada masalah warga soal tanah yang dibawa sampai ke petugas Polsek Nusaniwe namun ketika Pemdes Amahusu diundang datang bawa surat-surat tanah asli mereka tidak datang. Dari kasus-kasus ini saja sebenarnya kita sebagai masyarakat awam sudah tahu siapa yang sah punya tanah dati di Gunung Nona dan sekitarnya,” ungkap Christian, yang juga mantan Kepala Pemerintah Negeri /Raja Tiouw (Saparua) ini ke media online ini, pekan lalu. Baik Pemerintah Urimessing maupun Pemdes Amahusu belum dapat dikonfirmasi karena belum ada Raja definitif di kedua negeri adat tersebut. (Tim RM).
Discussion about this post