REFMAL.ID,Ambon – Orang sering menyebut Kabupaten Maluku Barat dengan julukan Kalwedo. Secara semantik “Kalwedo” berasal dari dua padanan kata dalam bahasa ‘Meher’ (penutur terbanyak di Pulau Kisar, Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan), yakni “kale” yang berarti tidak, tidak ada, sedangkan “wadedime” (loyo, tidak berdaya, sudah selesai, berhenti sudah).
Jika maknanya diperluas dalam konteks tradisi terutama di Kisar, “kalwedo” diterjemahkan luas yakni setelah minum sopi (sejenis miras dari pohon lontar/koli) langsung pulang rumah, tak boleh melanggar etika, tak boleh mencaci-maki orang, tak boleh melecehkan perempuan, tak boleh melakukan tindakan yang tidak saja melanggar aturan adat, tapi juga melawan hukum positif atau hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ada denda adat (“molu pair”) bagi si pelanggar. Kebanyak seluruh sub etnis di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Maluku, menerapkan denda adat bagi si pelanggar aturan adat dengan jumlah bervariasi. Denda adat itu dibayar dengan “emas bulan”, gading gajah, sopi, kain tenun/kain tanah maupun hewan ternak, seperti kerbau, babi, sapi, domba dan kambing. Nilai-nilai luhur tradisi dipegang teguh masyarakat Kisar dan sub etnis lain di Kabupaten MBD sejak ribuan tahun silam hingga saat ini.
Ketika Barnabas Nataniel Orno (BNO) menjadi Bupati Maluku Barat Daya selama dua periode, 2010-2015 dan 2016-2021, jarang terdengar kata-kata makian dari seorang pejabat kepada para staf (bawahannya). BNO sendiri tak pernah mencaci-caci maki stafnya sekalipun mereka berbeda haluan kepentingan politik. Meski berbeda kepentingan politik, BNO selalu tampil elegan dan merangkul para rival politiknya.
Namun, suasana harmonis dan penuh keakraban dalam “bingkai budaya Kalwedo” tercoreng dan dinodai Benjamin Thomas Noach (BTN) ketika mantan Direktur PT. Kalwedo (2011-2015) ini menjadi pelaksana tugas (Plt) Bupati MBD di akhir 2018 hingga bupati MBD sejak akhir 2019 kemudian terpilih dia menjadi Bupati MBD periodesasi 2021-2026) atau menjabat 2 tahun, 4 bulan dan 10 hari. Saban hari BTN menegak “sopi”.
Saat lagi mendendam lawan politik, BTN mengonsumsi sopi lalu menghardik dan mencaci maki sejumlah staf yang tidak mendukung ambisi politiknya. Mantan Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten MBD Onisimus Yoltuwu (OY) adalah salah satu korban di balik sikap arogan dan keangkuhan “bupati tukang bamaki” atau “bupati mulut kotor” di Kabupaten MBD, BTN.
Setelah tahu keluarga OY ingin memberi sanksi adat, BTN buru-buru memanggil OY ke kediaman Bupati MBD di Kota Tiakur untuk menyampaikan permintaan maaf. Tidak tahu malu! Praktis keluarga OY dari Desa Tomra, Kecamatan Pulau Leti, menolak permintaan maaf dari kepala daerah miskin moral dan etika itu. Artinya, jika Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPD PDIP) Maluku melalui Benhur George Watubun selaku ketua DPD PDIP Maluku menolak pencalonan Gubernur Maluku Murad Ismail (MI) sebagai calon kepala daerah (calkada) Maluku di “tangsi” PDIP, seyogianya perlakuan PDIP yang sama juga berlaku untuk BTN yang ingin maju di pemilihan calkada MBD pada 27 November 2024 karena MI dikenal sebagai “Gubernur tukang bamaki” di Maluku sedangkan BTN adalah bupati mulut kotor di MBD. Baik MI maupun BTN sama-sama kepala daerah yang miskin etika dan moral.
MI dikenal junjungan dari BTN. Kemiripin lain di antara kedua “kepala daerah tukang bamaki” adalah MI gagal membawa rakyat Maluku keluar dari jurang kemiskinan karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Maluku masuk kategori provinsi termiskin nomor 4 di Indonesia dengan persentase 18,45 persen dari total 1,5 juta jiwa atau terdapat 321,81 ribu jiwa penduduk miskin Maluku di bawah pemerintahan MI (2019-2024). Hal serupa juga terjadi di Kabupaten MBD di mana sesuai data BPS Tahun 2023, jumlah persentase penduduk miskin di MBD mencapai 28,78 persen dari total 76 ribu jiwa penduduknya.
Data BPS itu sekaligus menempatkan MBD sebagai kabupaten termiskin di Maluku. Dengan kata lain, rakyat MBD terus miskin di bawah kepemimpinan bupati miskin moral dan etika macam BTN. Pertanyaannya, “Apakah rakyat MBD ingin terus di jurang kemiskinan, dipimpin “bupati mulut kotor” , bupati yang hanya memperkaya diri dan kelompoknya, bupati yang hanya mengejar pencitraan, bupati yang tidur enak setelah puyeng minum sopi sementara rakyatnya susah dan menjerit akibat kelangkaan sembilan bahan kebutuhan pokok serta tingginga harga bahan bakar minyak dan sejuta persoalan lain yang masih diabaikan Pemerintah Kabupaten MBD di bawah komando BTN?”. Tanggal 27 November 2024 adalah momentum penting dan strategis bagi rakyat MBD menjatuhkan pilihan tepat ke pemimpin tepat yang dipilih TUHAN dan direstui para leluhur untuk membawa negeri sopan santun (“honoli/snyoli lieta”) keluar dari kemiskinan dan keserakahan kelompok yang suka hura-hura di tengah penderitaan masyarakat. Salah pilih pemimpin, rakyat MBD kembali jatuh ke lobang penderitaan yang sama. Keledai saja tidak ingin jatuh di lobang yang sama, apalagi manusia?. Saatnya masyarakat MBD sadar kolektif dan melakukan perubahan total di MBD. (Tim RM)
Discussion about this post