Referensimaluku.id.Ambon-Penanganan Laporan Pengaduan Masyarakat berdasarkan Peraturan Kepala (Perkap) Kepolisian Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Polri dan Perkap Polri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penanganan Penyidikan Tindak Pidana dengan sengaja telah dilangkahi penyidik Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Kepolisian Resort (Polres) Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku.
Kewajiban penyidik Polres KKT sesuai kedua Perkap di atas dalam memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) kepada masyarakat dalam kedudukan sebagai pelapor ternyata tidak dipenuhi dalam kaitan laporan warga Desa Lelingluan, Kecamatan Tanimbar Utara, KKT, Maluku, terkait dugaan kuat pembuatan surat palsu di balik keterangan Sertifikat Hak Milik Tanah (SHMT) oleh Kepala Desa Lelingluan Jacob Ratila dan Kepala Kantor Pertanahan Nasional (KPN) KKT Luckas Souhuwat.
“Semenjak kami masukan laporan Pemalsuan ke Polres KKT tanggal 12 Agustus 2020 dan laporan yang sama kedua kali di Polres KKT tanggal 5 Oktober 2020 kami sebagai pelapor tidak pernah diberikan SP2HP padahal itu kewajiban polisi di Polres KKT,” ungkap salah satu pelapor Arnold Walun kepada Referensimaluku.id di Ambon, Sabtu (26/2/2022).
Amus menyebutkan selama lebih dari setahun Kepala KPN KKT Luckas Souhuwat belum pernah sekalipun dimintai keterangan oleh penyidik Satreskrim Polres KKT. “Yang kami heran adalah seluruh bukti-bukti SHMT yang diduga memuat keterangan tidak benar atau dipalsulkan dan saksi-saksi sudah dimintai keterangan sehingga dari aspek kelengkapan administrasi penyelidikan maupun penyidikan dengan dua alat bukti permulaan yang cukup telah terpenuhi.
Masalahnya mengapa kepala desa Lelingluan dan Kepala KPN KKT belum juga ditetapkan tersangka. Ini bagi kami ada ketidakberesan,” tudingnya. Arnold mengaku jika ada alasan pihak penyidik kurang bukti berupa permohonan masyarakat merupakan alibi polisi yang tidak rasional.
“Khan masyarakat telah memberikan keterangan di polisi kalau mereka tidak pernah buat dan tanda tangan permohonan tapi tiba-tiba mereka disodorkan sertifikat yang tidak prosedural dan bermasalah di keterangan pada surat ukurnya tersebut.
Artinya polisi harus intens mengembangkan penyelidikan dengan memerika ulang kepala desa Lelingluan. Kalau polisi serius pasti bisa lah karena permohonan itu memang sengaja dibuat kepala desa Lelingluan,” paparnya. Arnold juga menyatakan pernyataan pejabat KPN KKT kalau mereka tak pernah turun lokasi adalah pembohongan publik dan bermaksud mengaburkan masalah.
“Kalau pihak KPN KKT berdalih mereka tidak pernah turun lokasi dan tidak tahu lokasinya, maka itu alibi yang sesat sebab di surat ukur sangat jelas ada tertera tanda-tanda batas berupa patok kayu hal mana sesuai SHMT,” urainya.
Arnold lebih jauh menjelaskan SHMT yang dibagikan ke masyarakat Lelingluan di dalamnya ada sejumlah keterangan yang dipalsukan, seperti ada permohonan pemilik sertifikat,padahal masyarakat tak pernah mengajukan permohonan. “Masyarakat pemohon disebut penunjuk batas, padahal faktanya tidak demikian.
Dalam sertifikat diuraikan itu tanah pertanian, padahal itu tanah hak Ulayat yang sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria atau UUPA menjadi kewenangan kepala Soa yang memimpin beberapa marga dalam soa tersebut”.
Arnold menyinyalir penerbitan SHMT merupakan bagian licik konspirasi Kades Lelingluan, Kepala KPN KKT dengan perusahaan pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sudah lama mengincar hutan Lelingluan untuk dibabat habis demi menguasai kayu Meranti, Linggua dan kayu produksi lainnya. “Kami mengkhawatirkan kasus laporan kami dipimpong karena ada permainan penyidik polisi dengan PT. Kastra yang merupakan perusahaan HPH,” tudingnya. (RM-03/RM-05/RM-06)
Discussion about this post