Referensimaluku.id.Ambon-Sebut saja Flamboyan, bocah perempuan berusia 5 tahun korban kekerasan seksual atau rudapaksa “ oleh ayah kandung meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Alkatiri, Namrole, Kecamatan Buru Selatan, Maluku, Rabu (9/2/2022). Dari hasil pemeriksaan di RSUD Alkatiri Namrole pada 21 Januari 2022 menyebutkan tak hanya Flamboyan, tapi adiknya sebut saja “Jambu” juga jadi korban nafsu bejat ayah mereka yang kini masih bebas berkeliaran.
Dikabarkan Flamboyan mengalami pendarahan yang menyebabkan penurunan hemoglobin (Hb) akibat peristiwa tersebut. Meski telah menjalani perawatan di RSUD Alkatiri Namrole, namun kesembuhan tak berpihak pada anak kecil malang tersebut.
Mirisnya setelah lebih 21 hari laporan kasus ini masuk di pihak Kepolisian Sektor (Polsek) Namrole, namun sejauh ini Pelaku belum ditemukan. “Kami kembali mempertanyakan sejauh mana proses penanganan laporan di Polsek Namrole. Jangan sampai
percuma lapor polisi,” tegas pengurus Literasi Politik Perempuan dan Anak Melanesia Olivia Hukunala sebagaimana dikutip Referensimaluku.id dari sejumlah grup WhatsApp, Selasa (9/2).
Menurut Hukunala Kepolisian sebagai institusi negara yang berwenang, seharusnya melindungi warganya dan memastikan penegakan hukum yang adil dan bermartabat. “Untuk itu kami mendesak Kapolsek Namrole dan jajaran untuk segera menangkap dan menindak tegas pelaku rudapaksa bocah Flamboyan sesuai ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di mana yang terakhir diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Sesuai pasal 82 ayat (1) junto pasal 76E juncto pasal 82 ayat (1) junto pasal 76E ditegaskan setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiatkan dilakukan perbuatan cabul. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangangi perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang atau secara-bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Selanjutnya dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah1/3(sepertia) dari ancaman pidana sebagaimana pada ayat (1). dan saksi berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling banyak 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak 5. 000. 0000. 000, (lima miliar rupiah),” desak Hukunala.
“Kami mendesak Kapolsek Namrole untuk menindak tegas pelaku rudapaksa karena telah melakukan kekerasan tidak hanya pada kedua anak tetapi juga telah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap ibu korban yang adalah istri pelaku. Sesuai pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga dan sanksi terhadap pelaku. Sesuai pasal 44 ayat (1) bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dalam paasal 5 huruf a dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak RP. 15 juta”.
“Berdasarkan Pasal 24 Peraturan Bupati Nomor 30 tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas Dan Fungsi Serta Tata Kerja Dinas Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa, Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Kabupaten Buru Selatan, maka Kami mendesak Pemerintah Kabupaten Buru Selatan melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2PTP2A) dan pihak medis di RSUD Alkatiri Namrole untuk membantu memfasilitasi upaya perlindungan, pendampingan, dan pemulihan kedua korban dan ibu mereka baik secara fisik maupun psikologi selama proses pengobatan dan pemulihan”.
“Kami mendesak pemerintah daerah melalui P2PTP2A dan pihak kepolisian, tokoh masyarakat, tokoh agama dan organisasi kepemudaan bersinergi untuk menyonyialisasikan UU Perlindungan Perempuan dan Anak di Desa-desa sebagai langkah preventif dan edukatif bagi masyarakat untuk mengatasi kekerasan seksual pada anak dan KDRT di Kabupaten Buru Selatan”.
“Kami meminta KPAI untuk melakukan pengawasan dalam proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual”.
“Kami mengecam keras perbuatan kekerasan seksual terhadap Anak sebagaimana yang saat ini menimpa Flamboyan dan Jambu,” tutup Hukunala. (RM-04/RM-06)
Discussion about this post