REFERENSIMALUKU.ID, – AMBON, –
Oleh : Frans Pati Herin
Pesan Mengharukan dari Hasim
Dari halaman gereja yang pernah terbakar kala konflik, belasan perempuan berkerudung dengan kain putih panjang memagari beberapa pria berkopiah yang berdiri menjaga gerbang. Dentang lonceng dan tiupan seruling syahdu mengantar pendeta dan majelis jemaat mendekati gerbang dari luar.
Saat Hasim Tubaka, satu di antara pria berkopiah itu, diberi pengeras suara, ribuan pasang mata tertuju padanya. Mereka menyendengkan telinga menanti ucapannya. Suasana berubah hening. Gerimis terhenti, angin pun tak berembus, seakan tertahan menyaksikan goresan tinta sejarah itu.
Dengan suara lantang bergetar, Hasim berujar dalam bahasa daerah yang intinya ”selamat beribadah saudaraku, tolong jaga baik-baik… jaga baik”.
Pesan dari seorang Muslim itu menyentuh perasaan hingga sudut hati yang paling dalam. Bulu kuduk merinding, bola mata pun mulai berkaca-kaca.
Isak tangis tak terbendung saat Rais Hehanussa, tetua adat yang berdiri di samping Hasim, menyapa dalam bahasa daerah. Teriakan histeris dari belakang kerumunan memecah kesunyian. Diyakini, arwah leluhur hadir merasuki warga yang berteriak itu.
Selanjutnya, pendeta dan majelis jemaat dipersilakan masuk ke halaman Gereja Kristen Protestan Ebenhaezer di Desa Kariu, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, yang diresmikan pada Minggu (2/7) itu.
Hasim merupakan Penjabat Negeri (Desa) Hualoy, sebuah kampung adat di Pulau Seram, tepatnya di Kabupaten Seram Bagian Barat. Warga Hualoy semuanya memeluk agama Islam, sedangkan semua warga Kariu beragama Kristen Protestan. Mereka terikat jalinan adat yang dinamakan gandong.
Gandong adalah hubungan antardua desa atau lebih yang pemimpin mereka berasal dari ayah dan ibu yang sama. Secara harfiah, gandong berarti kandung. Kain putih panjang yang dibawa beberapa perempuan berkerudung itu disebut kain gandong.
Merasa sebagai saudara kandung, warga Hualoy ikut dalam pembangunan Gereja Ebenhaezer yang prosesnya memakan waktu 8 tahun 7 bulan 15 hari. Sebagai tanda mata, anak tangga dari gerbang menuju pintu masuk gereja khusus dikerjakan warga Hualoy.
”Kami punya kewajiban untuk membantu saudara kami. Kami tidak melihat agamanya apa. Indonesia harus belajar dari sini,” kata Hasim, seraya menambahkan, pembangunan masjid di Hualoy pada era 1970-an juga dibantu warga Kariu.
Persekutuan gandong itu tidak hanya antara Hualoy dan Kariu, tetapi juga dengan dua negeri lain, yakni Aboru yang berjarak lebih kurang 15 kilometer dari Kariu dan Booi di Pulau Saparua, yang masih masuk Kabupaten Maluku Tengah. Persembahan khusus Aboru untuk gereja itu adalah mimbar pemberitaan firman, sedangkan Booi memberikan meja perjamuan kudus.
Berdasarkan penuturan sejarah, pemimpin Hualoy, Kariu, Aboru, dan Booi berasal dari keturunan Kerajaan Nunusaku. Ada tiga laki-laki dan satu perempuan. Hualoy merupakan laki-laki sulung dan Kariu adalah putri bungsu. Kendati terpisahkan gunung, laut, dan tanjung, persaudaraan keempat negeri itu serasa dekat. Gandong seperti Pancasila-nya mereka.
Meninggalkan kampung
Saat konflik sosial bernuansa agama pecah di Ambon pada 19 Januari 1999, Desa Kariu yang dijangkau dengan perjalanan laut sekitar satu jam dari Ambon terkena dampak. Kawasan kampung itu porak poranda. Warga Kariu, yang saat itu berjumlah sekitar 300 keluarga, mengungsi dari kampung mereka ke Desa Aboru. Kampung itu dikosongkan sejak 14 Februari 1999.
Lebih dari enam tahun kemudian, tepatnya 5 Juli 2005, warga Kariu bisa kembali ke kampung halaman. Selain jaminan dari pemerintah daerah dan aparat keamanan, kembalinya warga Kariu juga atas permintaan warga desa tetangga yang semuanya beragama Islam.
Oleh karena itu, saat peresmian gereja juga hadir perwakilan desa tetangga. Mereka bahkan menandatangani pernyataan kapata orang basudara (semua bersaudara) untuk bersama menjaga gereja tersebut.
”Saudara kami beragama Islam dari desa tetangga juga hadir menyiapkan hidangan makan siang saat peresmian ini. Kami sangat berterima kasih. Pengalaman masa lalu biar menjadi pelajaran. Mari kita wariskan yang baik-baik untuk generasi kita,” kata Sekretaris Panitia Pembangunan Gereja Ebenhaezer Isak Radjawane.
Banyak tamu dan undangan mengungkapkan kekaguman mereka melihat momentum itu semua. Ada Gubernur Maluku Said Assagaff, Ketua Majelis Pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku Ates Werinussa, sejumlah anggota DPRD Provinsi Maluku, serta beberapa tokoh perdamaian, seperti Pendeta Jack Manuputty dan pelukis sekaligus fotografer Zairin Embong Salampessy.
Said mengatakan, filosofi ”orang basudara” di Maluku sudah final meski sempat terkoyak konflik. Filosofi itu yang menyadarkan orang Maluku untuk kembali merajut persaudaraan.
Ia mencontohkan Masjid Jami di Kota Ambon dalam sejarahnya dibangun bersama umat Kristiani. Jelang Lebaran, umat Kristiani dari Desa Latuhalat biasanya datang membantu membersihkan masjid yang terletak di samping Masjid Raya Al-Fatah itu.
Sementara Ates berpesan agar kebersamaan diwujudkan lewat kehidupan keseharian masyarakat dan jangan hanya sebagai simbol belaka.
Adapun Jack dan Zairin memilih mengabarkan pesan persaudaraan itu lewat akun media sosial mereka. Pesan itu mendapat respons positif dari ratusan pengguna media sosial.
Gereja Ebenhaezer yang berdiri di atas lahan seluas 332 meter persegi itu memancarkan pesan keindahan dalam keberagaman hingga radius yang tak terhingga jaraknya di bawah kolong langit. Semesta kagum dan bangga menjadi saksi terukirnya sejarah persahabatan yang melampaui sekat perbedaan yang membuat haru dan mendamaikan hati.(*)
Discussion about this post