REFMAL.ID,-AMBON –Gunung Binaya, puncak tertinggi di Kepulauan Maluku, berdiri kokoh dengan ketinggian 3.027 mdpl di Pulau Seram, tak hanya menyimpan kabut misteri dan lereng terjal. Di balik diamnya, gunung ini menjadi panggung abadi bagi kisah-kisah manusia yang menolak tunduk pada kepasrahan.
Kini, namanya kembali bergema dalam desahan doa dan langkah gegas para pendaki Maluku yang tak mau berhenti mencari Firdaus Ahmad Fauzi, pemuda asal Bogor yang hilang sejak 26 April 2025. Meski negara telah mengibarkan bendera putih, suara kemanusiaan para relawan dari pecinta alam Maluku dan masyarakat adat di kaki Binaya terus menggema untuk melanjutkan pencarian.
Sejarah serasa berulang. Kisah Firdaus, mengingatkan saya pada kisah Fitra, pendaki asal Bandung yang meninggal karena hipotermia saat melakukan pendakian menuju puncak Binaya. Fitra meninggal di batas vegetasi, ketinggian 2.080 mdpl.
Sepuluh tahun lalu, Desember 2014, Gunung Binaya pernah menjadi saksi kepedihan serupa. Fitra Widianwari, peneliti senior Oceanografi LIPI asal Bandung, tewas saat pendakian menuju puncak Binaya dari jalur utara (Hoaulu). Saat mendaki Binaya, Fitra didampingi dua pendaki lokal.
Saat itu, saya ikut menjemput istri dan kakak kandung Fitra di bandara Pattimura Ambon. Perjalanan dilanjutkan ke Pulau Seram pagi itu juga menggunakan kapal cepat. Sesampai di Kantor Balai Taman Nasional (TN) Manusela di Masohi, tim dari Basarnas, termasuk dari Batalion 731 Kabaressy telah berkumpul untuk mengatur skenario evakuasi.
Saat di ruang rapat Balai TN Manusela, saya menyaksikan perbedaan pendapat, soal opsi menguburkan Fitra di lereng gunung Binaya atau di desa terdekat yakni Kanikeh, dan opsi jenasahnya tetap dievakusi sampai kebawah.
Beberapa skenario disampaikan, termasuk opsi menggunakan helikopter untuk membantu evakuasi. Pihak LIPI siap memfasilitasi itu. Seingat saya, saat itu tidak ada helikopter termasuk milik Polri yang lagi stay di wilayah Maluku, paling terdekat berada di Fakfak, Papua Barat.
Jenasah Fitra diusulkan untuk dikubur di lereng gunung atau desa Kanikeh. Alasan mereka, medan terlalu ekstrem, apalagi jalur itu sama-sekali tidak ada jalan raya, selain setapak. Belum lagi harus menyeberangi beberapa anak sungai, tanpa jembatan. Untuk perjalanan normal saja butuh waktu dua sampai tiga hari.
Serak tangis tertahan dari istri Fitra, serasa memukul rasa kemanusiaan ini. Saya tidak tahan melihatnya. Apa perasaan istrinya, kalau kita pasrah dan menyerah pada keadaan. Sebagai keluarga, istri dan kakak kandungnya ingin menjemput pulang jenasah untuk dimakamkan di Bandung. Mereka rela terbang ke Maluku, dan masih berpeluh dalam ketidakpastian.
Bersama Komandan Batalion 731 Kabaressy, saya bersama teman-teman pecinta alam bersikeras. Saat itu saya yakin jenasah bisa dievakuasi, karena saya orang pertama yang mendapat kontak bahwa ada yang meninggal di Binaya. Kebetulan di puncak ada spot yang bisa menerima signal ponsel. Kabar itu datang dari adik-adik saya dari KPA Kanal Ambon, yang kebetulan juga sedang mendaki Binaya dari jalur selatan (Piliana). Informasi awal ini saya sebarkan pertama kali di media kompas.com. Hari itu pihak keluarga langsung tahu kabar duka ini.
Saat kontak terakhir sebelum mereka masuk wilayah blankspot, saya sudah mengarahkan kedua adik saya dari Kanal Ambon; Agus Patty dan Adzan Tuasamu, untuk langsung evakusi jenasah turun melalui jalur Kanikeh. Ada beberapa skema emergensi, termasuk kemungkinan evakuasi menggunakan helikopter dan bagaimana mereka menyiapkan helipad darurat di Kanikeh. Jika tidak ada helikopter, tidak ada cara lain selain mereka sendiri menurunkan jenasah kebawah.
Jenasah almarhum Fitra dibungkus sleepingbad, lalu diikat ke batang kayu untuk dipanggul. Mereka bergantian membawa jenasah, dibantu beberapa warga Kanikeh. Empat hari kemudian, setelah berjalan kaki melewati cuaca dan medan berat, menyusuri setapak dan anak-anak sungai, mereka akhirnya tiba di desa Roho. Saat itu, saya belajar satu hal: ketika negara ragu dan terjebak dengan urusan SOP, rakyatlah yang harus menjadi nadi pergerakan.
Kisah Firdaus Ahmad Fauzi seperti menggulirkan film yang sama. Setelah tujuh hari pencarian resmi, TN Manusela dan Basarnas menghentikan operasi. Alasan mereka klasik: keterbatasan anggaran, risiko tinggi, medan di luar kemampuan teknis, yang dibungkus dengan SOP. Tapi bagi relawan pecinta alam Maluku dan masyarakat adat sekitar Binaya, keputusan itu justru menjadi pemantik solidaritas.
Bagi masyarakat adat Maluku, Binaya bukan sekadar gunung. Ia adalah nusa ina (pulau ibu) yang mengajarkan kesetiaan. Solidaritas ini terlihat dalam aksi saling bantu antar sesama pecinta alam. Ini bukan urusan Firdaus saja. Ini urusan harga diri sebagai manusia.
Ada ironi pahit rasanya dalam cerita ini. Situasi ini mengingatkan pada kisah evakuasi Fitra Widianwari dulu, saat opsi harus menguburkan almarhum di belantara hutan Seram, membuat saya sempat geleng-geleng kepala.
Gunung Binaya mungkin tak pernah menjawab mengapa ia mengambil nyawa Fitra, atau menghilangkan Firdaus. Tapi dari lerengnya, kita belajar bahwa kemanusiaan sejati lahir dari kepasrahan yang aktif. Bukan pasrah menunggu, tapi pasrah yang terus berjalan meski tahu jalannya berliku.
Hari ini, di suatu titik di hutan Binaya, mungkin Firdaus sedang duduk di balik pepohonan, mendengar gemuruh langkah para pencarinya. Atau mungkin, seperti Fitra, ia telah menjadi bagian dari kabut yang menyelimuti puncak. Tapi selama keringat para pendaki Maluku masih menyisir belantara hutan dan bibir jurang yang curam, kisah ini belum berakhir.
Di tengah kepulan asap kabut dan gemericik sungai di tengah rimba Seram, harapan itu tetap hidup. Ketika negara sudah angkat tangan, justru teman-teman relawan pecinta alam tengah menuliskan episodenya sendiri: bahwa kemanusiaan tak pernah mengenal kata menyerah. Mereka bergerak bukan karena tanggungjawab dinas dan pekerjaan, tapi sebuah panggilan hati atas nama kemanusiaan. (*)
Penulis :Aziz Tunny
Penggiat Alam Bebas
Discussion about this post