Referensimaluku.id.Ambon-Pada zaman masuknya bangsa Persia dan Arab berdagang rempah-rempah, terutama cengkih, pala dan kayu manis di Kepulauan Maluku pada abad ke-7 sampai abad ke-13, wilayah ini disebut “Jazirah Al-Muluk” atau “Negeri Raja-raja”.
Saat itu sedikit terjadi akulturasi kebudayaan lokal dengan Timur Tengah. Namun, setelah masuknya Bangsa Eropa terutama Portugis di media abad ke-16, Belanda di awal abad ke-17 dan Inggris di awal abad ke-19 untuk menguasai perdagangan rempah-rempah dunia dari Maluku, terjadi percampuran kebudayaan lagi dengan Eropa.
Ini belum termasuk orang Tionghoa yang juga masuk melalui jalur sutera untuk berdagang rempah-rempah di Maluku sejak abad ke-15. Olehnya itu sejumlah antropolog menyebutkan kebudayaan Maluku sebagai kebudayaan campuran (mestizo) antara bangsa Alifuru, Melayu, Timor, Arab, Portugis, Belanda dan lainnya. Dampak paling buruk dari kebudayaan mestizo adalah munculnya sikap primordialistik berlebihan dan streotipe penduduk Maluku Tengah yang merasa diri ras tertinggi di Maluku. Seperti slogan “Deutchsland Uber Alles” atau Jerman Ras (Arya) Tertinggi di Dunia versi diktator Adolf Hitler. Orang-orang Ambon dan Lease (Haruku, Nusalaut, Saparua) diklaim Ras utama di Maluku sekalipun berbasis “peradaban kulit kayu” dari Alifuru. Mirisnya orang Buru, Seram, Kei, Aru, Tanimbar, Babar, Kisar, Leti, Moa, Lakor, Romang, Damer, Teun Nila Serua (TNS), Wetar dan lainnya dianggap Ras bukan unggulan atau “kasta belakang tanah”.
Padahal, orang Tanimbar, Babar, Kisar dan sebagainya berbasis “peradaban kulit hewan” yang jauh lebih tinggi nilainya dari “peradaban kulit kayu”.
Mau bukti? Tengok saja di setiap seremonial penjemputan kunjungan kerja pejabat tinggi Negara,entah Presiden, Menteri, Panglima TNI, Kepala Staf TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan pejabat pusat lainnya, maka yang dikalungkan di leher pejabat-pejabat tinggi negara adalah syal Tenun Tanimbar dan bukan lenso adat.
Sebutan “lenso adat” sendiri perlu diklarifikasi atau dijernihkan dari pandangan minor dan keliru sebagian orang Maluku. Mengapa begitu? Lenso ini kan dibeli atau dikirim langsung dari Belanda lalu seringkalj digunakan saat seremonial-seremonial adat di Maluku Tengah seperti “Panas Pela” dan “Ikat Gandong” kemudian lambat laun oleh sebagian besar orang Maluku Tengah diklaim lenso adat. Pertanyaan sederhana yang muncul di balik sebutan “lenso adat” adalah apakah orang Belanda memiliki adat-istiadat atau apakah orang Belanda asli (totok) mengenal upacara “Panas Pela” dan sebagainya? Celakanya hanya mungkin di Maluku pembagian dan pengelompokkan etnis dan sub etnis tetap berdasarkan arah mata angin dan jalur kapal perintis.
Karena mau terima atau tidak selama ini tak pernah ada buku atau literasi yang menyinggung soal “suku Tenggara” dan “suku Tenggara Jauh” di Maluku. Antropolog Indonesia Profesor Koentjaraningrat menyebutkan wilayah Maluku dalam perspektif antropologi hahya meliputi Ternate dan sekitarnya, Seram, Buru, Pulau-pulau Lease, Ambon, Kepulauan Kei dan Kepulauan Aru. Secara etnografis, Kisar, Wetar, Romang dan sekitarnya di wilayah Selatan Daya (diakui sebagai Kabupaten Maluku Barat Daya) masuk rumpun Timor atau Timor-Leste berdasarkan pengelompokkan ahli hukum adat Belanda Cornelis van Vollenhoven dalam 19 daerah Hukum Adat di Indonesia. Kisar dan sekitarnya baru bergabung di Maluku pada 26 November 1926 melalui Ordonantie 25 November 1926.
Penggabungan itu merupakan implikasi pergolakkan Belanda dan Portugis. Belanda bercokol di Maluku, sedangkan Portugis memilih menjaga Tanah Timor (Flores, Sumba, Maumere, Alor). Streotipe ini merasuk masuk sampai ke seluruh dimensi, entah birokrasi maupun dunia pendidikan. Tembok rasialisme dan jurang fanatisme suku dibangun dalam perekrutan tenaga dosen di Universitas Pattimura dan perguruan tinggi swasta lain di Maluku.
Kualitas dan kapasitas calon tenaga dosen dinafikan atau disisikan atas nama pengelompokkan suku. Lebih fatal lagi Deklarasi Malino Tahun 2001 dijadikan dasar perekrutan tenaga dosen. Makanya jangan heran jika ada sebagian dosen-dosen yang di masa kuliah hanya diam seribu bahasa saat disodorkan pertanyaan oleh dosen senior, tapi diterima sebagai dosen.
Itu pula yang menyebabkan dunia pendidikan Maluku di urutan ketiga terendah dari 34 Provinsi di Indonesia. Apakah orang Maluku tidak cerdas? Tidak juga. Sebab sejarah Indonesia mencatat Maluku pernah punya orang-orang hebat macam dr. Johanis Leimena (Wakil Perdana Menteri III di tiga kabinet Ir. Soekarno), Profesor dr. Gerrit Augutinus Siwabessy (Pakar Atom Indonesia), Alexander Yacob Patty, Ir. J.Putuhena, Wim Reawaruw, dr. Latumeten, dan lainnya.
Lalu apa yang menyebabkan dunia pendidikan Maluku terus terpuruk?. Dibandingkan etnis Jawa atau bangsa Jepang, orang Maluku kurang memiliki kecerdasan emosional, kecerdasan matematika dan kurang beretika di ruang publik. Sulit menyapa atau sekadar melambaikan tangan ketika ditanyai orang lain, semisal sopir angkutan kota. Selain itu dari bingkai akademik, dosen-dosen muda berebut kesempatan meraih gelar Doktor atau Strata Tiga (S3) dengan difasilitasi pemerintah daerah di Maluku, tetapi pulang wisuda tak mampu bikin karya akademik dalam bentuk buku-buku konten Maluku dari perspektif keilmuan masing-masing.
Alhasil, muncul sebutan “GBHN” atau Guru Besar Hanya Nama. Atau “Guru Besar Hanya Nongol” (GBHN) di kafe Joas dan kafe lain di Ambon untuk bermain judi ludo atau menebak angka jatuh Sydney atau Hongkong. Fenomena miris kekinian (kontemporer) Maluku ini ikut diperparah dengan lahirnya “Majelis Latupati Maluku”. Apa sih untungnya membentuk atau mendirikan Majelis Latupati Maluku bagi orang Maluku? Sejauh mana kontribusi besar Majelis Latupati Maluku terhadap kuatnya tatanan adat-i Maluku? Omong kosong semuanya.
Kehadiran lembaga sosial kemasyarakatan bernuansa adat ini sebenarnya tak lebih dari sarana mendukung para elite kekuasaan lokal maupun nasional dalam mewujudkan pencitraan sepihak dan imej pribadi sesaat melalui penganugerahan gelar adat “abunawas” dan “sontoloyo”. Gelar adat orang Maluku yang seharusnya dijaga kesakralannya itu justru dinodai dan “dilacuri” oleh oknum-oknum tertentu di Majelis Latupati Maluku.
Paguyuban (Majelis Latupati Maluku) ini tak lebih dari tempat berjumpa dan tempat berpesta ria oknum-oknum haus pujian, tukang “cari muka” dan “pelacur adat istiadat” Maluku. Faktanya adat istiadat rela “dijual” dan “dilacuri” demi menyokong kantung pribadi dan kelompok di dalam internal Majelis Latupati Maluku. Yang teranyar (terbaru) adalah langkah kontroversial Majelis Latupati Maluku menganugerahkan gelar “Upu Latu” ke Gubernur Maluku dan “Ina Latu” ke isterinya.
Penyematan dua gelar adat itu praktis memantik reaksi keras orang Maluku. Lahir kecaman ke Majelis Latupati Maluku. “Mungkin yang dulu Bapa Raja menurut adat itu bapa Negeri Raja-raja di suatu daerah, tapi sekarang penyematan bapa Raja jadi kepala desa, dan Raja di atas desa-desa adalah gubernur (Maluku).
Mungkin dalam pemahaman yang sempit mereka berpikir demikian, sehingga gubernur dianggap kepala raja atau “Upu” tertinggi dalam suatu pemerintahan sehingga penyematan itu diberikan kepada bapa gubernur menjadi Upu Latu dan istri gubernur sebagai Upu Inda. Anehnya lagi sebagai anak daerah dan anak adat di setiap daerah kok cuma diam sama dengan burung beo. Aduh sedih sekali,” tulis Indah di grup WhatsApp KBMTR sebagaimana dikutip media online ini, Rabu (15/2/2023). Netizen lain Nickojo juga tak sepakat pemberian gelar adat ke Gubernur Maluku dan isterinya oleh Majelis Latupati Maluku. “Tolong jawab pertanyaanku Apakah orang Maluku di Yogyakarta atau Ternate bisa diangkat jadi Sultan? Kok di Maluku seseorang yang bukan orang asli Maluku dengan mudah diangkat dalam status adat yang berlebihan.
Akibatnya kita sadar atau tak sadar terkena sumpahan adat leluhur sehingga kita tidak maju-maju sampai saat ini. Maluku yang dulu terkenal dengan orang-orang yang hebat justru sekarang bertambah mundur. Kita sudah menjadi pengecut,tak berani melawan kezoliman”. Kehadiran Majelis Latupati Maluku bukan membela mati-matian hak-hak masyarakat adat di wilayah ini yang selalu menjadi korban kapitalisme global dan nasional serta arogansi negara melalui aparat keamanan, tetapi keberadaan lembaga ini hanya tameng melindungi keserakahan demi isi perut oknum-oknum penjilat, perusak tatanan adat dan “pelacur harga diri” orang Maluku. Bubarkan saja Majelis Latupati Maluku! Sebab sampai kapan “Bumi Raja-raja” ini terus dikotori para penjilat dan tukang cari muka?.Butuh gerakan kolektif untuk membubarkan lembaga yang menjadi “underbouw” penguasa ini. (RM-03)
Discussion about this post