Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial, Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id,-Ambon- Battle (pertempuran) di front Pulau Tiga, yang mempertemukan pilot Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) Kapten Ignatius Dewanto, dengan pilot Angkatan Udara Revulusioner (AUREV) Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) Allen Lawrence Pope, telah berlalu pada 18 Mei 1958. Namun pertempuran di front Pulau Tiga itu, menjadi titik balik kepercayaan diri Indonesia di mata Amerika Serikat. Pasalnya Indonesia mampu menghancurkan kekuatan AUREV Permesta, yang di support Amerika Serikat.
Hal ini tidak terlepas dari sikap Amerika Serikat, dibawah kepemimpinan Presiden Dwight David Eisenhower (1953-1961), yang diam-diam mensupport pemberontakan Permesta, yang berpusat di Manado Sulawesi Utara. Pemberontakan ini merong-rong keutuhan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno (1945-1965). Dukungan Amerika Serikat terhadap pemberontakan Permesta melalui Central Intelligence Agency (CIA). Dimana CIA sejak Oktober 1957 telah menyalurkan dana, kepada gerakan separatis pimpinan Letnan Kolonel Herman Nicolas Ventje Sumual itu.
Dalam perkembangannya dukungan Amerika Serikat terhadap pemberontakan Permesta, tidak hanya dilakukan dengan memberikan sokongan dana saja, tetapi Amerika Serikat juga turut mendatangkan penasehat-penasehat militernya, dan memberikan sejumlah bantuan berupa amunisi, serta mitraliur anti serangan udara. Bahkan untuk memperkuat kekuatan AUREV Permesta, Amerika Serikat juga mendatangkan sejumlah pesawat terbang antara lain ; DC-3 Dakota, P-51 Mustang, Beachcraft, Consolidated PBY Catalina, dan pesawat pembom B-26 Invader.
Mendengar campur tangan Amerika Serikat terhadap pemberontakan Permesta. Presiden Sukarno pun lantas marah, dan mengatakan ; “Amerika Serikat jangan sampai bermain api dengan Indonesia, jangan sampai ketidaktahuan Amerika Serikat, menyebabkan meletusnya Perang Dunia III.” Rupanya Amerika Serikat menggunakan isu komunis, untuk mensupport bantuan kepada pemberontakan Permesta. Tapi isu ini tidak di terima Presiden Sukarno. Pasalnya itu hanya isu, yang sengaja dijadikan alasan terselubung, untuk mendongkel Presiden Sukarno, yang saat itu dikenal ultranasionalis, dan patriotik serta menolak dikendalikan barat.
Intervensi Amerika Serikat dalam pemberontakan Permesta semakin nyata, dengan kehadiran pilot sipil bayaran CIA bernama Allen Lawrence Pope dalam komposisi penerbang AUREV Permesta. Di rekrutnya Allen Lawrence Pope, oleh CIA sebagai pilot sipil bayaran, tidak terlepas dari pengalamannya memasuki kawasan, yang ditebari senjata penangkis serangan udara di Dien Bien Phu Vietnam, ketika benteng Perancis itu dikepung ketat oleh pasukan Viet Minh, di bawah pimpinan Ho Chi Minh, dan Jenderal Vo Nguyen Giap dalam Perang Vietnam, yang berlangsung pada Maret sampai dengan Mei 1954.
Pilot sipil bayaran CIA ini lah, yang dikemudian hari memanaskan hubungan Indonesia dan Amerika Serikat. Pasalnya Allen Lawrence Pope berperan penting dalam sejumlah pemboman, yang dilakukannya terhadap beberapa daerah di wilayah Indonesia timur, seperti lapangan terbang Mandai Makassar, pelabuhan Donggala, Balikpapan, Ternate, dan Ambon. Dalam perkembangannya air action Allen Lawrence Pope di langit NKRI, tidak selamanya membuahkan hasil gemilang, mengulangi kesuksesannya di front Dien Bien Phu Vietnam. Di front pertempuran Pulau Tiga, dia harus mengakui keunggulan pilot AURI Kapten Ignatius Dewanto.
Pertempuran di front Pulau Tiga terjadi pada 18 Mei 1958, tatkala Allen Lawrence Pope, dan juru radio Hary Rantung usai melakukan pemboman di Ambon, dengan menggunakan pesawat pembom B-26 Invader AUREV Permesta, lantas keduanya hendak berbalik menuju airfield Mapanget Sulawesi Utara. Di tengah perjalanan balik menuju airfield Mapanget Sulawesi Utara, mereka berpapasan dengan konvoi lima kapal perang Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), yang tengah berlayar dengan posisi dekat Pulau Tiga lepas Ambon menuju Morotai, untuk melaksanakan Operasi Mena II untuk menumpas pemberontakan Permesta.
Melihat konvoi kapal ALRI itu, pesawat pembom B-26 Invader AUREV Permesta, yang dikemudikan Allen Lawrence Pope, dan juru radio Hary Rantung pun menukik lantas menjatuhkan bom dengan sasaran KRI Sawega, namun bom itu meleset hanya beberapa meter dari buritan KRI Sawega. Seluruh awak kapal yang berada lima kapal perang ALRI yang siaga, setelah melihat tanda bahaya serangan udara, dari pesawat B-26 Invader AUREV Permesta, langsung menembak balas atas perintah Mayor Soedomo.
Semua senjata penangkis serangan udara yang berada di atas gladak lima kapal ALRI, dan semua senjata milik personil ALRI yang berada di atas gladak lima kapal ALRI, diarahkan ke pesawat AUREV Permesta, yang tengah melakukan pemboman. Kabar serangan itu disampaikan kepada Kapten Ignatius Dewanto yang sudah siap di kokpit P-51 Mustangnya di airfield Liang, karena pagi itu ditugaskan untuk menyerang Sulawesi Utara. Kapten Ignatius Dewanto langsung memacu pesawatnya dan lepas landas. Dia tidak menemukan B-26 AUREV buruannya, tetapi melihat Ambon dengan tanda-tanda terkena serangan udara.
Sesuai petunjuk P-51 Mustang dia arahkan ke barat, di laut terlihat konvoi lima KRI yang diserang B-26 AUREV buruannya. Dengan cepat Kapten Ignatius Dewanto mengejar dengan mengambil posisi di belakang lawan. Roket ditembakkan berkali-kali, disusul dengan tembakan 6 senapan mesin 12,7 milimeter yang tersedia di pesawat P-51 Mustang. Head on attack itu berakhir, dengan tertembaknya pesawat B-26 Invader AUREV Permesta, yang dikemudikan Allen Lawrence Pope, dan juru radio Hary Rantung oleh roket, yang dilesakkan Kapten Udara Ignatius Dewanto dari pesawat P-51 Mustang.
Allen Lawrence Pope dan juru radio Hary Rantung akhirnya menyelamatkan diri dengan menggunakan parasut. Allen Lawrence Pope tersangkut pohon, dan jatuh dengan luka-luka akibat terhempas karang. Sementara operator radio Harry Rantung menyamar sebagai seorang warga Filipina bernama Pedro kelahiran Davao. Namun identitas sebenarnya Harry Rantung mudah diketahui, karena diatas kapal KRI Sawega terdapat seorang sersan AURI, yang mengenalinya karena pernah satu angkatan dalam pendidikan tentara dengan Harry Rantung.
Dalam perkembangannya, Allen Lawrence Pope kemudian dihadapkan ke pengadilan militer pada 28 Desemer 1959, dan disana sempat berdebat dengan para saksi, yang dihadirkan oleh oditur militer. Allen Lawrence Pope selanjutnya dijatuhi hukuman mati namun naik banding, sedangkan Harry Rantung diganjar hukuman 15 tahun. Sejak tertangkapnya Allen Lawrence Pope, berlahan-lahan kekuataan AUREV Permesta lumpuh, dan keunggulan di udara di wilayah Indonesia Timur berangsur-angsur dikuasai lagi oleh AURI.(Berales 2014, Wikipedia 2015). (*)
Discussion about this post