Oleh: Dr. M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
ReferensiMaluku.id,-Tak lain adalah Albert Camus, adalah seorang filsuf berkebangsaan Prancis, kelahiran Mondovi Aljazair, pada 7 November 1913 dan meninggal di Villeblevin Prancis, pada 5 Januari 1960 lampau, yang hits melalui karyanya ‘Caligula’ di tahun 1944 lalu. Dia mengungkapkan bahwa, “haruskah aku bunuh diri, atau minum secangkir kopi ?”.
Suatu ungkapan, yang tidak bisa secara letterlijk, kita simpulkan sebagai suatu pilihan buruk dari Camus, untuk bunuh diri. Namun hanya suatu pernyataan yang perlu kita maknai dalam perspektif absurdis. Hal ini, tidak terlepas dari latarbelakang Camus, yang merupakan seorang absurdis.
Perpekstif Camus tentang absurd itu dikatakannya bahwa, hidup manusia itu absurd. Letak absurditasnya adalah (1) di satu sisi manusia hidup mengarah/menuju pada masa depan sementara (2) di sisi lain, masa depan itu makin mendekatkan manusia pada kematian. Karena menghadapi absurditas itu, manusia seringkali melakukan “salto”, atau dengan kata lain melarikan diri, dengan (1) menenggelamkan diri pada agama atau ideologi tertentu atau (2) bunuh diri.
Barangkali yang perlu kita maknai pernyataan Camus, pada paragrap pertama dari catatan ini, dapat kita temui relevansinya dalam statemennya pada poin kedua pada paragraph kedua dari catatan ini, yang mengulas tentang bunuh diri. Tentu suatu point, yang bagi orang awam sebagai sesuatu yang naïf. Hal ini dikarenakan, manusia sering melakukan “salto” salah satunya dengan bunuh diri. Oleh karena itu, kita perlu memaknai bunuh diri itu secara komprehensif, jika tidak kita akan sesat pikir.
Namun sebenarnya, baik “salto” ke dalam agama atau ideologi hingga melakukan bunuh diri ditolak oleh Camus sebagai solusi dari absurditas hidup manusia. Jalan keluar yang ditawarkannya adalah melakukan pemberontakan atas hidup (revolt). Maksudnya, menghadapi hidup dengan berani tanpa perlu takut pada bahaya kematian, yang bisa datang setiap saat tanpa diketahui. Itulah aspek esensial dari statmennya Camus sebagimana yang dipaparkan pada paragraph awal.
***
Akan tetapi statemen Camus itu, secara substantive memiliki makna yang sama dengan statmen Riawani Elyta, seorang penulis, yang populer melalui karyanya, ‘The Coffee Memory’, yang diterbitkan pada tahun 2016 lalu. Sebab mereka berdua sama-sama memiliki minat dalam aspek kemanusiaan (humanisme). Dimana Elyta mengatakan bahwa, “secangkir kopi adalah jembatan kenangan dan komunikasi yang paling hangat. Dan, bersamanya, kita bisa menciptakan momen-momen spesial dalam secercah perjalanan hidup”.
Sudah tentu statmen kontemplatif Elyta itu, bisa kita melihatnya dalam pespektif humanisme secara global, yang tidak terfragmenasi dalam humanisme religi dan humanisme sekuler. Diluar uraiannya ini, hal terpenting yang perlu dimaknai adalah, menikmati secangkir kopi, yang nikmatnya luar biasa, dimana bisa mensupport kita, untuk tetap beraktifitas dengan penuh semangat di pagi hari. Mari menikmati secangkir kopi di pagi hari. (*)
Discussion about this post