Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial, Politik&Ekonomi
Referensi maluku.id,-Ambon-Dalam pandangan Kenichi Ohmae seorang pakar manajemen berkebangsaan Jepang, yang populer melalui karyanya ; ‘The End of the Nation State, The Rise of Regional Economies’ bahwa, globalisasi dipersepsi sebagai dunia tanpa batas, mengubah pola nasionalisme ekonomi berakar kuat berabad-abad, yang mengkotak-kotakan pasar menjadi globalisasi ekonomi, yang bebas dan terbuka. Pada pola ini diasumsikan kesalingtergantungan antarnegara semakin nyata dan menguat.
Akibatnya, hubungan dagang tidak lagi mengenal batas-batas geografis dan kedaulatan negara. Dunia menjadi pasar terbuka, yang sepenuhnya menyerahkan kendali pada dinamika, dan kekuatan pasar. Pada era seperti perdagangan bebas ini, berbagai produk yang masuk pasar global dipatok dengan standar internasional. Standardisasi seperti membuat produk menjadi bersaing, karena itu mampu berkompetisi dalam gelanggang internasional.
***
Secara rill, jika kita ke hypermart, untuk membeli buah-buahan, kita tidak saja akan menemukan buah-buahan domestik produksi dengan brand ciri khas nama-nama daerah di Indonesia, seperti ; apel Malang, salak Bali, semangka Makassar, jeruk Bali, Melon Makassar, jeruk Sambas, durian Palopo, rambutan Aceh, markisa Makassar, asam Jawa, manggis Sukabumi, dan pisang Ambon. Melainkan kita juga akan menemukan buah-buahan produksi internasional dari negara-negara tetangga dan sahabat.
Diantaranya ; asam Thailand, apel Australia, apel Afrika Selatan, kiwi Selandia Baru, melon Australia, jeruk Cina, kurma Tunisia, kurma Mesir, kurma Iran, kurma Uni Emirat Arab, kurma Malaysia, jeruk Argentina, pir Australia, anggur Amerika Serikat, lengkeng Vietnam, jeruk Spanyol, jeruk Uruguay dan masih banyak lagi produksi buah-buahan dari negara-negara tetangga dan sahabat, yang membanjiri pasar tanah air.
Argumentasi ilmiah, yang dikatakan Ohmae itu sesuai fakta, dimana hubungan dagang tidak lagi mengenal batas-batas geografis dan kedaulatan negara, dimana buah-buahan pada kawasan Asia, Eropa, Australia, Amerika, dan Afrika dapat ditemukan pada pasar di tanah air. Khususnya di Kota Ambon, kita dapat menemukan buah-buahan produksi negara-negara tetangga dan sahabat itu di supermarket, dan hypermart. Bahkan saat bulan ramadhan ini, produksi kurma Tunisia pun membanjiri Ambon Plasa (Amplas), Maluku City Mall (MCM), dan Ambon City Center (ACC).
Atas kenyataan itu, maka tidak-lah salah argumentasi yang dikemukakan Yoshihiro Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik, yang menjabat sebagai professor, dan direktur di The International Development program at the School of Advanced International Studies of the Johns Hopkins University, yang populer melalui karyanya ‘The End of History And The Last Man’ bahwa, “prinsip liberal dalam ekonomi, yaitu ‘pasar bebas’ telah tersebar, dan sukses memproduksi kebutuhan material dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Terlepas dari itu, saat semalam saya yang bertandang ke MCM, saya menemukan kurma Tunisia yang disusun dengan apik, diseputaran tempat buah-buahan. Melihat-lihat bungkusannya yang bertuliskan ; “premium branch deglet noor from Tunisia”, rupanya kurma itu benar berasal dari Tunisia, suatu negara yang letaknya jauh paling utara di benua Afrika sana, namun dikemas di tanah air. Tidak sampai disitu saja, membaca nama Tunisia saya jadi teringat revolusi disana, yang terjadi pada kurun waktu akhir 2010 dan awal 2011, yang bermula dari unjuk rasa rakyat Tunisia.
Serangkaian unjuk rasa yang berlangsung di berbagai kota di Tunisia pada akhir 2010 dan awal 2011, membuat Presiden Zine El Abidine Ben Ali (1987-2011) mundur dari jabatannya, pada 14 Januari 2011 setelah 23 tahun berkuasa. Pengunjuk rasa memprotes kenaikan harga pangan, bahan bakar, pengangguran, korupsi, dan kebebasan berbicara. Rangkaian unjuk rasa ini dimulai Desember 2010, setelah Mohamed Bouazizi, seorang pedagang buah dan sayur membakar dirinya sendiri sesudah polisi menyita dagangannya dengan alasan tidak memiliki izin.
Peristiwa ini merupakan gejolak sosial politik paling dramatis dalam tiga dekade terakhir, yang mengakibatkan sejumlah kematian dan kerusakan. Dari Tunisia-lah merebak Arab Spring (Revolusi Arab) hingga Mesir, Libya dan Yaman. Suatu gerakan protes besar-besaran yang terjadi di berbagai negara Arab pada akhir 2010 dan awal 2011. Pemicunya adalah maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, kezhaliman penguasa, krisis ekonomi, kehidupan yang susah, dan pemilu yang dianggap tidak bersih. Gerakan ini sukses menggulingkan empat rezim pemerintahan di Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman.
Meskipun rakyat Tunisia sukses menumbangkan rezim Ben Ali, yang diikuti pelaksanaan Pemilu pada November 2011, namun belum membuat negara itu stabil secara politik, dan mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Bahkan menjelang Pemilu Presiden pada 17 November 2019 mendatang, atmosfir politik Tunisia semakin memanas, dimana Presiden Beji Caid Essebsi dikritik rakyat Tunisa melalui demonstrasi maupun serangan-serangan di media sosial. Sehingga ia pun enggan mencalonkan diri lagi. (*)
Discussion about this post