Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id- Ambon – Sistem politik di Malaysia meskipun aristokrat, dimana memberikan warna simbolik kepada para Sultan, yang dipercayakan menjadi Yang Dipertuan Agong sebagai Kepala Negara. Kondisi ini diikuti pula dengan prioritas etnis Malayu dalam kehidupan politik yang dominan. Kendati demikian, tidak memberi warna yang dominan, untuk jabatan Perdana Menteri (PM) wajib di isi etnis Melayu murni. Hal ini dikarenakan, rata-rata para PM yang pernah menjabat adalah berdarah Thailand, Singapura, India, dan Indonesia.
Dari aspek demografis, kondisi Malaysia mirip Indonesia, dimana majemuk dari jumlah etnisnya, dengan menempatkan etnis Melayu sebagai etnis dominan, disamping etnis-tenis lainnya. Namun tidak membuat pemilih etnik Melayu lantas memilih calon anggota parlemen, yang memiliki peluang besar untuk menjadi PM adalah figur berlatarbelakang enis Melayu murni, melainkan mereka memilih figur belatarbelakng etnis campuran. Situasi berbeda dengan Indonesia, tatkala pemilihan Presiden masih dilakukan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 1999 lalu, rata-rata anggota MPR menjatuhkan pilihannya kepada figur berlatarbelakang enis Jawa.
Kondisi demikian terjadi, lantaran jumlah anggota MPR menurut fraksi berlatarbelakang etnis Jawa lebih dominan. Hal ini diperkuat pula dengan isu calon presiden beretnis Jawa yang mengemuka. Sedangkan calon presiden luar Jawa terpinggirkan. Nasib ini dialami Bachruddin Jusuf Habibie, yang terpental dari pencalonan presiden di MPR pada 20 Oktober 1999 lalu, lantaran ia berdarah Bugis bukan berdarah Jawa. Meskipun ibu kandungnya berasal dari etnis Jawa, tapi warna penolakan dengan alasan sektarian kala itu begitu menguat.
Disamping aspek primordial menjadi penolakan terhadap Habibie itu. Ia juga ditolak oleh mayoritas anggota MPR, karena sikapnya yang menyetujui opsi jajak pendapat (referendum) di Provinsi Timor-Timur pada 30 Agustus 1999 lalu, yang berdampak terhadap terlepasnya Provinsi ke-27 Indonesia itu menjadi negara merdeka pada 20 Mei 2002 lalu. Dari catatan sejarah, hingga kini belum ada seorang pun Presiden Indonesia yang berdarah campuran, dimana ibu, ayah, nenek, dan kakeknya berasal dari negara di kawasan Asia Tenggara, dan Asia Selatan layaknya para PM di negara jiran Malaysia itu.
***
Terlepas dari itu, salah satu PM Malaysia sekaligus pendiri negara itu, yang berdarah Thailand yakni,
Yang Amat Berhormat Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj, yang populer dengan sapaan Tunku Abdurahman. Ibunya Cik Menyelara, bukanlah berdarah bangsawan, dimana ibunya adalah anak perempuan dari Luang Naraborirak (Kleb), seorang pejabat daerah Thailand. Tunku merupakan anak lelaki yang ketujuh dan anak yang kedua puluh pada Sultan Abdul Hamid Halim Shah, Sultan Kedah yang ke-24. Ia lahir di Istana Tiga Tingkat, Alor Setar, Kedah, Malaysia pada 8 Februari 1903.
Kelahiran Tunku disambut secara biasa saja karena dia bukan bakal pengganti Sultan Kedah. Pengganti Sultan Jakarta, Sultan Badlishah bin Sultan Abdul Hamid, telah berumur 30 tahun ketika itu. Saat kecil, Tunku disebut Awang karena rupa parasnya yang tidak sesegak adik-beradiknya yang lain. Ia bebas bermain di luar istana dan pernah membentuk tim sepak bola di desanya. Tunku biasa mengendap burung dan melastik, serta bermain lumpur sehingga ia menderita penyakit puru di kakinya.
Tunku mulai pendidikannya pada 1909 di sebuah sekolah dasar Melayu di Jalan Baru, Alor Setar. Biasa berbahasa Siam di rumah, ia belajar bahasa Melayu di sekolah itu. Seorang guru pula datang ke rumahnya untuk mengajar bahasa Inggris. Tunku kemudian pindah ke sebuah sekolah pemerintah bahasa Inggris yang kini disebut Kolej Sultan Abdul Hamid. Di sini, dia belajar di sekolah pada waktu siang dan membaca Al-Quran pada waktu petang. (Wikipedia, 2020).
Pada 1911, Tunku yang masih kecil dibawa ke Bangkok, Thailand negarasa asal ibunya, untuk menempuh pendidikan di Sekolah Debsurin. Di Thailand, aa belajar di sana bersama dengan tiga saudara laki-lakinya. Setekah kembali ke kampung halaman pada 1915, ia pun melanjutkan studi ke Penang Free School. Selanjutnya, pada 1918, dia mendaftar di St. Catharine’s College di Universitas Cambridge. Ia beruntung lantaran ia mendapat beasiswa dari Kedah, berbekal beasiswa itu ia pun menempuh studi di Inggris.
Pada waktu itu, dia menarik perhatian dan dipuji sebagai orang pertama yang menerima gelar beasiswa dari Kedah State untuk belajar di Inggris. Saat kuliah di Inggris bersama dengan Tun Abdul Razak, yang dikemudian hari menjadi PM Malaysia ke-2, yang masih berdarah Indonesia (Bugis), dan Tan Sri Ghazali Shafei yang dikemudian hari menjadi Menteri Dalam Negeri, yang juga masih keturunan Indonesia (Minangkabau). Mereka bertiga bersahabat dengan Des Alwi Abubakar seorang tokoh nasional Indonesia di kemudian hari, kelahiran Banda Naira Maluku, yang waktu itu berkesempatan kuliah di London, Inggris di tahun 1942.
Tunku pun sukses menyelesaikan studinya di Cambridge pada 1925. Hingga usai kuliah Tunku pun pulang ke Malaysia, di negaranya ia aktif sebagai Ketua Partai Pertumbuhan Kebangsaan Malayu Bersatu (United Malays National Organisation/UMNO). Pada Januari 1956, Abdul memimpin misi ke London untuk menegosiasikan kemerdekaan Melayu. Inggris, berjanji akan memberikan kemerdakaan pada Agustus 1957. Aktifitas dalam UMNO itu yang selanjutnya Tunku sukses memerdekakan Malaysia bersama kawan-kawannya dari Inggris pada 13 Agustus 1957. (Syukur 1985, Kompas 2010, 2019)
Sampai kemudian Tunku pun dipercayakan menjadi PM pertama di Malaysia sejak 31 Agustus 1957-22 September 1970. Meskipun Tunku berdarah Thailand, tidak menyurutkan sikap nasionalismenya kepada negaranya Malaysia. Hal ini dilihat dari upaya gigihnya, melalui berbagai perundingan dengan Inggris sampai dengan konfrontasi Malaysia dan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Tapi tak membuatnya surut untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya. Negarawan yang telah mendarma baktikan tenaga dan pikirannya, untuk eksistensi negaranya Malaysia itu pun wafat pada di Kuala Lumpur, Malaysia pada 6 Desember 1990 lalu.(Wikipedia 2020). (*)
Discussion about this post