Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
ReferensiMaluku.id,-Ambon-“Sejarah berulang, pertama sebagai sebuah tragedi dan yang kedua kali sebagai sebuah peristiwa yang absurd.”(Karl Marx).
***
Meskipun Joe Biden calon presiden (Capres), yang di calonkan Partai Demokrat sementara unggul atas rivalnya Capres Donal Trump, yang di usung Partai Republik pada sebagian besar negara bagian dalam pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS). Namun hasil itu belum memastikan Biden sebagai pemenang Pilpres dan berhak duduk di Gedung Putih sebagai Presiden. Pasalnya Pilpres di Negeri Paman Sam itu, tidak memilih Presidennya secara langsung (direct election), melainkan menggunakan sistem perwakilan. Saat ini rakyat AS tengah memilih perwakilan negara bagian (elector).
Sebanyak 538 elector yang tergabung dalam Electoral College akan memberikan suara kepada Capres yang bertarung. Sehingga keunggulan Biden atas Trump dalam populer vote, bukan merupakan hasil final dari Pilpres AS, tapi penentuan siapa figur yang memenangi Pilpres di negara adi kuasa itu adalah para elector, dimana para elector itu akan memilih Capres pada Electoral College. Para figur yang dipilih sebagai biasanya adalah para mantan presiden, mantan gubernur, ketua umum dan petinggi partai setempat di daerah, anggota Senat negara bagian, atau warga biasa anggota partai.
Kemenangan Biden dalam popular vote saat, bukanlah penentu kemenangannya dalam Pilpres di AS. Kasus ini pernah di alami Hillary Clinton yang memenangi popular vote dari lawannya Trump, tapi ia justru gagal mewujudkan ambisinya menjadi Presiden. Hillary memenangkan 48,2 persen popular vote berbanding dengan 46,1 persen suara Trump. Namun, Gedung Putih menjadi “milik” Trump karena dia mengantongi 304 suara dari electoral votes, sementara Hillary hanya dipilih oleh 227 elector pada Electoral College. (Kompas, 2020).
***
Namun jika dalam perkembangannya keunggulan Biden pada popular vote tetap bertahan pada level Electoral College, sehingga dia kemudian berhak melangkah mulus ke Gedung Putih, untuk menjadi Presiden AS ke-46 menggantika Trump, maka banyak ekspetasi publik dunia dia akan menyamai prestasi dari Franklin Delano Roosevelt, Presiden AS ke-32. Bahkan jargon “Biden Neo Roosevelt” akan disematkan publik global kepadanya, kalau dia kemudian benar-benar memenuhi harapan khalayak dunia, dengan menyamai prestasi yang ditorehkan secara rill oleh Presiden Roosevelt.
Mengapa “Biden Neo Roosevelt” ? Jawabnya, harapan publik global saat ini kepada Biden dari Partai Demokrat, yang menyerupai harapan publik dunia saat terpilihnya Roosevelt dari Partai Demokrat. Kita tahu bahwa, terpilihnya Roosevelt sebagai Presiden AS pada Pilpres tahun 1932 lampau, setelah dia mengkanvaskan Herbert Hoover dari Partai Republik, yang ketika itu tengah menjadi Presiden AS. Saat itu AS tengah menghadapi Depresi Besar atau Krisis Malaise, sebuah peristiwa menurunnya tingkat ekonomi yang terjadi secara dramatis di seluruh dunia yang terjadi pada tahun 1929.
Turut juga terasa sampai ke Hindia Belanda, yang dinamakan The Great Depression atau Zaman Malaise, dimana berlangsung selama 10 tahun saat Amerika Serikat dipimpin Presiden Hoover.(Wikipedia, 2020). Menghadapi krisis besar itu, pemerintah Hoover memberi solusi berupa dukungan kepada bank-bank lewat pinjaman pemerintah. Harapannya, setelah pinjaman diberikan bank mulai dapat beroperasi normal dan kembali mempekerjakan karyawan. Solusi dari Presiden Hoover tak membuahkan hasil maksimal, krisis justru semakin menggeliat parah. Dalam rentang tiga tahun, jumlah pengangguran malah bertambah banyak. (Tirto, 2018)
Kegagalan Hoover dalam menangani Depresi Besar itu, yang menurunkan citranya di mata khalayak AS. Sehingga dia pun terpental dari kursi Presiden AS dalam Pilpres di tahun 1932 lampau dari Roosevelt. Naiknya Roosevelt sebagai Presiden AS ternyata benar-benar memenuhi aspirasi warga global, dimana dia kemudian sukses memulihkan AS dari Depresi Besar. Rencana “Seratus Hari Pertama”-nya disetujui Kongres. Setelah masa seratus hari pertama memegang jabatan, dia telah menunjukkan diri sebagai pemimpin negara yang cakap.
Dia memperoleh dukungan rakyat yang unik dalam sejarah AS dalam melancarkan sebuah program percobaan yang bertujuan mencapai apa yang disebut sebagi sistem yang bersifat lebih sosial dan lebih demokratis. Program itu dikenal dengan nama “New Deal.” Begitu juga Presiden keturunan imigran Belanda ini melalui perundang-undangan, berusaha untuk menghindarkan AS dari peperangan menghadapi Jerman, Jepang, dan Italia pada Perang Dunia ke-2, tetapi di samping itu Roosevelt juga memperkuat negara-negara yang terancam atau diserang.(Wikipedia, 2020)
Ekspetasi publik global terhadap Biden begitu besar, dimana dia akan sukses mengeluarkan AS dari resesi ekonomi sebagai akibat pendemi Corona, di masa kepemimpinan Presiden Trump, dimana ekonomi AS terkontraksi atau minus 32,9 persen pada kuartal II 2020 akibat tertekan virus Corona. Dengan kondisi itu Negeri Paman Sam resmi masuk ke jurang resesi setelah tumbuh minus 5 persen pada kuartal I 2020. Kondisi ini menempatkan AS ke ekonomi terburuk sejak 1947. (Cnn Indonesia, 2020). Begitu pula korban pendemi Corona di AS dimana lebih dari 183.000 orang telah meninggal dunia.
Menghadapi pendemi Corona, Trump tidak memberikan solusi yang baik. Dia malah membuat polemic melalui statemennya, Trum menyarankan menyuntikkan disinfektan untuk mengobati COVID-19 hingga memecat ahli penyakit menular AS. Bahkan Trump menarik AS keluar dari World Healt Organization (WHO)/Organisasi Kesehatan Dunia. Pada akhir Mei 2020 lalu ia menuduh WHO berada di bawah kendali Cina dalam menghidupkan status pandemi virus Corona.(BBC News, Tirto. 2020). Pada aras global Trump juga menaikan suhu politik dan ekonomi dunia, melalui perang dagang negaranya AS dengan Cina.
Bermula setelah Presiden Trump mengumumkan pada 22 Maret 2018, berkehendak mengenakan bea masuk sebesar US$50 miliar untuk barang-barang Cina di bawah Pasal 301 Undang-Undang AS Tahun 1974 tentang Perdagangan, dengan menyebut adanya “praktik perdagangan tidak adil” dan pencurian kekayaan intelektual. Balasannya Cina menerapkan bea masuk untuk lebih dari 128 produk AS, termasuk kedelai, ekspor utama AS ke Cina. (Wikipedia, 2020). Hingga perseteruan kedua negara di Laut Cina Selatan. Pada awal Maret 2020, saat AS dan Cina sedang melakukan perundingan dagang, kapal perang AS, USS McCampbell berlayar di sekitar Kepulauan Paracel di Laut Cina Selatan, yang diklaim milik Cina.
Pelayaran yang memprovokasi sekaligus menaikan suhu politik hubungan kedua negara.(mata-mata politik, 2020). Tentu masih banyak problem internal dan eksternal yang dialami AS selama dipimpin Presiden Trump. Akhirul kalam, harapan publik global, Biden tatkala memenangkan Pilpres AS dan menjadi Presiden AS, dia akan sukses mengeluarkan AS dari resesi ekonomi dan mengharmoniskan relasinya dengan Cina. Upaya Biden, akan memiliki dampak positif di aras global layaknya yang dilakukan Roosevelt dahulu, saat menghadapi The Great Depression, dengan dunia yang relative kondusif. (*)
Discussion about this post