Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemrehati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id,- Ambon– Berbicara tentang rakyat berdaulat, yang menjadi parameter demokratik menyangkut dengan otoritas rakyat atas jabatan pemerintahan, yang tengah diemban para elite lokal, tentu tidak akan jauh dari pemikiran John Locke. Pasalnya, dia salah satu pengagas teori kedaulatan rakyat. Locke merupakan filsuf berkebangsaan Inggris, kelahiran Wrington, Somerset, Inggris pada 24 Agustus 1632, dan meninggal di Essex, Inggris pada 28 Oktober 1704. Dia menjadi salah satu tokoh utama dari pendekatan empirisme. Dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf negara liberal.
Bersama dengan rekannya Isaac Newton, Locke dipandang sebagai salah satu figur terpenting di era Pencerahan. Locke menandai lahirnya era Modern dan juga era pasca-Descartes (Post-Cartesian), karena pendekatan Descartes tidak lagi menjadi satu-satunya pendekatan yang dominan di dalam pendekatan filsafat waktu itu. Locke juga menekankan pentingnya pendekatan empiris dan juga pentingnya eksperimen-eksperimen di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (science).
Pada suatu kesempatan, Locke menyatakan bahwa, “terbentuknya negara didasarkan pada asas pactum unionis dan pactum subjectionis. Pactum unionis adalah perjanjian antarindividu untuk membentuk negara, sedangkan pactum subjectionis adalah perjanjian antara individu dan negara yang dibentuk. Perjanjian tersebut menentukan bahwa individu memberikan mandate kepada negara atau pemerintah. Mandat rakyat diberikan agar pemerintah mendapat kekuasaan dalam mengelola negara berdasarkan konstitusi yang ditetapkan dalam pactum subjection”.
***
Kita tentu, tidak sedang masuk lebih jauh membahas tentang teori kedaulatan rakyat, yang menjadi dasar pembentukan suatu negara bangsa (nation state), melainkan kita membahas tentang rakyat yang berdaulat. Fokusnya terkait dengan realisasi roda pemerintahan di level lokal didasari oleh teori kedaulatan rakyat, yang menandaskan bahwa, individu yang tidak lain adalah rakyat selanjutnya memberikan mandate kepada negara atau pemerintah. Mandat rakyat diberikan agar pemerintah mendapat kekuasaan dalam mengelola negara berdasarkan konstitusi.
Mandate yang diberikan rakyat itu melalui Pemilu periodik dalam jangka waktu lima tahun, dimana rakyat mempercayakan dengan memilih figure tertentu. Sehingga diberikan amanah untuk memerintah. Dalam memerintah, tentu figur itu harus mampu merealisasikan berbagai visi dan misi, yang dia ucapkan saat kampanye kepada rakyat sebagai bentuk akuntabilitas mandate, yang diberikan rakyat kepadanya melalui Pemilu. Jika figure itu tidak dapat merealisaikan berbagai visi dan misi, yang dia ucapkan saat kampanye kepada rakyat, tentu akan berdampak terhadap ketidakpercayaan rakyat (distrust).
Padahal untuk kemajuan bersama, perlu adanya kepercayaan (trust), yang menjadi bagian vital dari modal sosial. Dimana, oleh Robert David Putnam yang hits melalui karyanya “American Grace : How Religion Divides and Unites Us”, yang dipublis di tahun 2010 lalu mengatakan bahwa, “modal sosial adalah corak-corak kehidupan sosial jaringan-jaringan, norma-norma dan kepercayaan yang menyanggupkan para partisipan untuk bertindak bersama lebih efektif untuk mengejar tujuan-tujuan bersama”. Dalam perspektif itu, maka sejatinya perlu adanya sinergitas antara pemerintah dan rakyat, untuk mencapai tujuan bersama yang tak lain adalah kesejahteraan.
Namun sebenarya distrust, akan berimplikasi negatif terhadap gejolak ketidakpuasan dari rakyat pada pemerintah. Jika figure itu enggan menghiraukan kritikan rakyat, dan berjalan bak anjing menggonggong kafila berlalu, dan hanya menciptakan opini public yang bernuansa polemic, dengan target mengarahkan perhatian rakyat ke opini public itu, sehingga rakyat melupakan agenda-agenda strategis terselubung serta oportunis, yang diam-diam tengah dimainkan. Tentu ini hanyalah permainan politik, yang tidak mendidik, dan tidak memiliki nilai positif sama sekali untuk kemajuan bersama.
Sikap ini, hanya menguras energi rakyat, yang sebenarnya sedari awal rakyat menaruh ekspetasi besar akan adanya change (perubahan) dari pemerintahan baru, yang dipilih secara demokratis. Atas dasar itu, belum ada kata terlambat sama sekali untuk mengorientasi langka kembali ke titik star semula, dimana platform (program kerja) yang dikonkritkan dalam visi dan misi, yang digembar-gemborkan selama kampanye Pemilu kepada rakyat, konsisten untuk direalisasikan meskipun melewati berbagai dinamika politik yang terjadi secara rill dilapangan terjadi. Tentu rakyat percaya itu bisa dilakukan, daripada “topu dada jago serba tau” atau sebaliknya “malas tau”. (*)
Discussion about this post