Dr. M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id ,-Meminjam ungkapan Hanum Salabila Rais, seorang penulis yang hits melalui karyanya “99 Cahaya di Langit Eropa” dan “Berjalan di Atas Cahaya” di tahun 2011 dan 2018 lalu, yang sempat di angkat di layar lebar bahwa, “keterbatasan membuat orang kreatif. Keterbatasan membuat orang terpecut melakukan apa pun yang dijalani dengan maksimal.” Quotes it relevan dengan kisah Prof. Dr. H. Acmad Amiruddin, seorang ilmuan dalam bidang kimiah nuklir terkemuka Indonesia berdarah Bugis.
Di tengah keterbatasannya itu, tak lantas menghentikan langkahnya. Amiruddin tetap bersusah payah menempuh dan menuntaskan studinya. Keterbatasan itu, menjadi pemantik baginya untuk meraih sukses dikemudian hari. Kisahnya itu dapat kita simak pada buku yang berjudul : “Prof. Dr. H. Acmad Amiruddin Untold Stories”, dengan editor M. Dahlan Abubakar, terbitan Indentitas Universitas Hasanuddin 2014 lalu.
Amiruddin lahir di Gilireng, Wajo, Sulawesi Selatan, 25 Juli 1932 pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Ia adalah putra dari pasangan Ahmad Pabittei dan Saodah, seorang pegawai pemerintah dan guru. Di masa kecil di desanya Amiruddin biasa disapa Madek, nama ini merupakan nama yang disingkatnya sendiri dari nama panjangnya itu, agar mempermudah nama sapaan sebagaimana lazimnya orang Bugis.
Dikisahkan dalam buku itu bahwa, Madek tumbuh seiring dengan alam pedesaan. Setiap pagi dia bergerombol dengan teman-teman sebayanya menuju sungai Cilare di Desa Gilereng. Seusai menamatkan pendidikan di Sekolah Rakyat Sabungan tiga tahun, Madek berkumpul dengan keluarga di Doping. Ia juga tidak melanjutkan pendidikannya, karena Pabittei ayahnya tidak semapan semula. Madek pun menganggur. Tetapi semangat belajarnya tidak pernah sirna di dalam dadanya.
Perasaanya kerap gundah, ketika menyaksikan pemuda pelajar yang kembali ke Doping. Salah seorang pemuda pelajar Syamsu Alam, yang merupakan sepupuhnya bersekolah di Normal School di Makassar. Saban melihat kakak sepupunya itu, Madek berharap suatu saat nanti dapat mengikuti jejaknya bersekolah di Makassar, lantaran sekoleh menengah kala itu tak ada di desanya, melainkan hanya ada di Makassar.
Guna mengisi masa menganggurnya, Madek menjadi ajuadan Andi Tandjong, yang saat itu menjadi kepala wanua (kepala kampung). Ia pun tak putus asa, dimana memiliki impian untuk melanjutnya sekoelahnya. Hingga pada tahun 1946, ia bersama Syamsu Mappa yang kelak dikemudian hari bergelar akademik yang sama dengannya, dan menjadi dosen di Institut Keguruan dan Ilmuan Pendidikan (IKIP) Unjung Pandang menuju Makassar. Mereka berdua menginap di kenalan temannya di Makassar.
Keduanya lantas, belajar di Sekolah Menengah Umum Gubernemen di Hoge Pad. Teman-temannya kala itu selain Syamsu Mappa ada juga Facrudin Ambo Enre, dan Rudolof Kasenda yang dikemudian hari berpangkat laksamana dan mengemban jabatan sebagai Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (KASAL). Hingga suatu hari Madek pun memutuskan mengikuti jejak teman-temannya yang terbang ke Bandung. Tetapi persoalannya, Madek tidak punya uang.
Namun, Syamsu Mappa berbaik hati meminjamkan uang kepadanya. Kata temannya itu, “nanti kau ganti kalu sudah di Bandung.” Di Bandung ia lantas mengeyam pendidikan pada sekolah menengah atas sejak sejak tahun 1950 dan baru menyelesaikannya pada tahun 1952. Di Bandung-lah cikal bakal ia mulai meraih sukses, dimana tidak hanya ia bisa bersekolah di sekolah menengat atas saja, melainkan juga ia bisa menempuh pendidikan tinggi di universitas.
Ia pun kemudian melanjutkan studi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Karena prestasinya, pada tahun 1958 ia melanjutnya pendidikan magister dan doctoral di Universitas Kentucky, Lexington, Kentucky Amerika Serikat pada bidang kimia murni, yang mengarah pada fisika nuklir. Setelah menyelesaikan studinya di Amerika Serikat ia diangkat menjadi dosen di ITB. Lantas dipercayakan membantu Direktur Jenderal (Dirjen) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), yang saat itu dipegang oleh Prof. Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy.
Hingga pada tahun 1970 Rektor ITB kala itu Prof. Dr. rer. nat. Doddy Achdiat Tisna Amidjaja menugaskan Amuruddin ke Malaysia, untuk membantu mendirikan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), pasca pertikaian antara kelompok Malayu dan Tionghoa. Tak lama ia menjadi dosen di UKM negara jiran itu, lantaran di minta pulang untuk menjadi Rektor Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar periode 1973-1982. Di UNHAS ia menjambat rektor selama dua periode dengan sukses.
Selama menjabat rektor ia memodernisasi kampusnya, dimana ia memindahkan kampusnya dari Jalan Suni ke Jalan Perintis Kemerdekaan KM.10, Tamalanrea Makassar. Usai menjabat rektor dua periode, ia terpilih menjadi Gubenur Sulawesi Selatan dua periode, sejak 1983-1993. Tak sampai disitu saja, setelah menyelesaikan jabatan gubernur, Amiruddin pun dipercayakan menjadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), periode 1992-1997. Keterbatasan di waktu dahulu kala, tak membuat Amuruddin mati langkah.
Namun keterbatasan itu memecutnya untuk giat bekerja keras mengejar impiannya, dengan menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Sampai kemudian pintu sukses pun terbuka baginya, dengan mengemban jabatan akademik di kampus sampai dengan jabatan politik pemerintahan. Kesuksesan yang di alami Amiruddin, mengingatkan saya pada ungkapan kontemplatif Abraham Lincoln Presiden Amerika Serikat ke-16 bahwa, “sukses berjalan dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain, tanpa kita kehilangan semangat.” Jangan putus asa, mari tetap semangat meraih sukses. Good afternoon, happy activity.(*)
Discussion about this post