Referensimaluku.id.Ambon- Mungkin tak ada orang yang bakalan membantah jika ada pernyataan Maluku merupakan salah satu dari delapan daerah yang ikut mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1945 silam. Tapi, bantahan akan datang bagaikan gelombang pasang dan surut di pesisir pantai jika ada pernyataan prestasi olahraga Maluku di beragam multievent nasional, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON), terus membanggakan dari waktu ke waktu.
Apa bukti yang mampu membuktikan alasan jika prestasi olahraga Maluku masih mentereng masuk 76 tahun usia alam kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2021. Coba simak! Selama keikutsertaan Maluku di empat edisi PON, yakni PON XVI/2004 Sumatera Selatan, PON XVII/2008 Kalimantan Timur, PON XVIII/2012 Kepulauan Riau dan PON XIX/2016 Jawa Barat, misalnya, peringkat Maluku masih terpaut di posisi 20 Nasional dari 34 Provinsi di Tanah Air. Artinya, dunia olahraga Maluku tengah menuju masa-masa kelam di tengah melimpahnya sumber daya manusia (SDM) olahraga. Apa penyebabnya? Tampaknya mentalitas pengurus cabang olahraga yang pragmatis (hanya mencari makan di olahraga) serta ketidakpedulian Pemerintah Provinsi Maluku dan anggota legislative menjadi benang merah keterpurukan prestasi olahraga Maluku di kancah nasional selama lebih kurang tujuh dekade terakhir.
Ironis dan tangis pilu menggelegar ketika atlet-atlet Maluku yang tengah berlatih keras dan siap diberangkatkan dalam empat kloter menuju tanah Papua mengikuti PON XX pada 2-13 Oktober 2021 belum mengetahui besaran jumlah bonus dan jaminan masa depan pasti sekembali mereka dari Papua. Jika Pemprov Papua berani menggelontorkan anggaran Rp. 700 juta bagi peraih emas PON XX (plus Rp 300 juta jika Papua menyabet juara umum PON XX di rumah sendiri) dan Pemprov Riau menganjar Rp 350 juta plus pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNSD) dari jalur khusus, Pemprov Maluku dan KONI Maluku hanya diam seribu bahasa. Tidak jelas. Nol besar! Sampai berita ini naik ke permukaan, tak ada satu pun bahasa pembawa berkat dari Pemprov Maluku dan KONI setempat mengenai jumlah bonus dan jaminan masa depan atlet peraih emas, perak dan perunggu di PON XX. Olehnya itu, tak salah jika kemudian masyarakat menuding Pemprov Maluku dan KONI setempat ’’sontolyo’’ dan kurang pro olahraga. Atlet-atlet Maluku seperti berlatih di negeri antah berantah, negeri tanpa pemimpin yang negarawan.
’’Lebih baik seluruh atlet Maluku mundur. Lebih baik aksi mogok dilakukan biar atlet Maluku absen di PON kali ini,’’ tulis netizen di akun fesbuk Prihatin.
’’Bagaimana mau maju atlet atletik dua orang dikasih tinggal di bawah kolong Stadion. Itu Pemprov Maluku, KONI Maluku dan PASI Maluku ngawur dan nggak jelas. Kalau bisa seluruh atlet Maluku mundur diri dari PON Papua saja biar pemerintah daerah malu,’’ kata Kerly Mayaut di akun fesbuknya.
’’Dunia olah raga skrg sdh jaman profesional bkn jamannya olah raga sebagai hoby lg . Sma hrs terbuka dan saling mendukung krj keras utk memajukan Maluku KONI daerah (Maluku) hrs memberikan yg terbaik bt sma atlet cabor dan sebaliknya atlet hrs memberikan yg terbaik dan tunjukan kwalitasnya . KONI (Maluku) hrs pya org2 yg berkwalitas dan paham perkembangan dunia olah raga , seperti meneer Haygel Ajax dan pantas duduk di pengurus KONI daerah . Sbb meneer Haygel Ajax adalah pengerak dan motivator bt perkembanga olahraga di Maluku. Era/zaman aku jd atlet meneer Haygel Ajax byk memberikan semangat motivator dan byk membatu kami para atlet di semua cabor,’’ kata Janes P yang juga mantan atlet Maluku di akun fesbuknya.
KONI Maluku takut memperjuangkan jumlah bonus atlet dan pelatih ke Pemprov setempat karena takut dikatai ’’kaskadu’’ atau ’c…ki…m…i’ dan kata-kata umpatan lainnya. Di bagian lain ada informasi yang menyebutkan oknum pejabat teras di Kantor Gubernur Maluku sangat tidak memercayai kredibilitas dan karakter kepengurusan KONI Maluku yang diperkuat kalangan intelektual yang hidupnya serba eksklusif namun mengabaikan masa depan atlet. Mungkin hanya di Maluku yang atletnya berangkat berjuang demi keharuman dan nama besar daerahnya tidak dijamin jumlah bonus dan jaminan masa depan. Ini merupakan syndrome atau penyakit akut pejabat-pejabat Maluku yang masih terpatri hingga saat ini. Gaya hidup feodal dan ’’cari aman’’ sudah mendarah daging dalam karakter hidup elite pemerintah dan politisi di Maluku. Mentalitas budak dan orang suruhan ternyata masih menjadi lakon utama pejabat-pejabat Maluku sehingga mengabaikan hak-hak rakyat yang perlu dibelanya. Hanya di Maluku pula gelar-gelar adat diberikan sesuka hati dan sembarangan kepada pejabat-pejabat pusat dari Jakarta semata-mata cari muka tetapi peroleh belakang bokong. ’’Pemerintahan sontoloyo lokal’’ tetap akan melahirkan kisah dongeng yang mendongengkan fakta-fakta kontemporer jika saat ini bonus dan masa depan atlet menjadi keniscayaan dan harga mati yang harus dipenuhi, tak bisa tidak. Jika tidak, maka pemimpin daerah ini dan pengurus KONI Maluku memang sama-sama ’’sontoloyo’’. (Tim RM)
Discussion about this post