“Bagaimana pun kita sudah menjalani semua itu. Biarlah segalanya menjadi kenangan.” (Boy Chandra).
***
Betapa persahabatan dan persaudaraan kita di kampus Unhas begitu berarti, dimana mengiringi perjalanan akademik kita di kampus merah itu. Meskipun sudah usai kuliah kita di kampus terbesar di kawasan Timur Indonesia itu disepanjang tahun 2000-an lalu. Namun masih membekas dan kita masih mengenangnya, dimana ternyata kita sama-sama pernah ada didalamnya, untuk kemudian kita tercerai berai, lantas sebagian besar diantara kita memilih pulang ke Ambon, menetap di Makassar, Bandung, Kolaka, Bau-Bau dan kembali ke Sanana Maluku Utara sana.
Kawan-kawan Fisipol Unhas Makassar angkatan 95, 96, dan 97 khususnya yang berasal dari Ambon : Harianti, Achmad Ohorella, Zahrudin Latuconsina, Safrudin B. Layn, Syaiful Burhan, Husen Mukadar, Haty Suad, Hayati Kaimudin, Rasmi Amir, Suryani Sudin, Titin Layn, Harman Tuankotta, Dedy Hasta, Nurainy Latuconsina, Nuril Rotasow, Farida Pelu, dan Tita Novita serta yang sempat tidak disebutkan namanya.
Ada kisah-kisah lucu dan membuat kita selalu tertawa bersama-sama saat mengingatnya. Salah satunya saat oleh-oleh minyak kayu putih yang kita berikan kepada dosen, dimana terlebih dahulu dibuka botolnya lantas dicium oleh dosen kita, sambil bertanya dengan dialeg Makassar “asli ji ini minyak kayu putihnya”. Para kawan-kawan yang memberikan oleh-oleh khas Pulau Buru itu pun katakan “asli puang minyak kayu putihnya”.
Dosen kita dipanggil puang karena ia adalah bangsawan Bugis. Ia banyak membantu kita saat menyelesaikan studi S1 di Fisipol Unhas. Begitu pula dosen yang berasal dari Ambon seperti Drs. Rahman Kotta tepatnya Negeri Tulehu. Salah satu dosen senior kita di kampus Fisipol Unhas, selain cerdas ia banyak mengisahkan dahulunya di permulaan 1970-an sempat mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Namun ia dipanggil pulang oleh Prof. Dr. Ahmad Amiruddin yang kala itu adalah Rektor Unhas. Apa yang dikisahkan Drs. Rahman Kota adalah benar.
Saat Prof. Dr. Ahmad Amiruddin menjabat Rektor Unhas ke-6 periode 1973-1982, ia banyak melakukan pembenahan, dimana tidak saja menata inprastruktur fisik kampuas Unhas, yang dipindahkan dari kampus Bara-Baraya ke Tamalanrea, tapi juga membenahi SDM tenaga pengajar di kampus merah itu yang dilakukannya sejak ia dilantik di tahun 1973, dimana pada periode kedua kepemimpinannya, ia melakukan terobosan dengan mengirim 100 mahasiswa pascasarjana ke Jepang dan Eropa untuk program doktoral di bidang kedokteran.
Hingga suatu waktu adik tingkat saya Achmad Ohorella di Program Studi Ilmu Pemerintahan, yang biasa disapa Ong dahulunya ia anggota DPRD Kota Ambon dari Partai Hanura. Saat ujian pembimbinya adalah Drs. Rahman Kotta. Ia ditanya oleh para dosen penguji, lantaran “grogi” tidak bisa berbicara dan hanya memilih diam membisu. Pembimbingnya Drs. Rahman Kotta pun terpaksa berbicara dengan dialeg Malayu Ambon di hadapan sidang skripsi tersebut dengan mengatakan, “Ohorella ose momou ka sampe seng bisa bicara.”
Ia lantas mengatakan dihadapan para penguji, kalau bahasa Ambon orang bisu dikatakan momou. Usai ujian skripsi Ong mengisahkannya kepada kita, dan kita pun sama-sama tertawa. Namun sempat dalam sidang ujian itu Drs. Rahman Kotta menyampaikan, “Ohorella ini ia berasal dari Negeri Tulehu kampung saya, leluhurnya dimintakan untuk menjadi Raja di Negeri Kailolo, suatu negeri yang berseberangan dengan kampung saya. Sedangkan dari Negeri Kailolo mengirimkan utusannya yang bermarga Marasabessy untuk menjadi imam di Negeri saya Tulehu.
”Selain Drs. Rahmad Kota, ada juga Prof. Dr. Rasyid Taha, M.Si guru besar bidang Ilmu Pemerintahan. Ia juga berasal dari Ambon, namun masih berdarah Bugis Bone. Di Ambon keluarganya menetap di Galunggung, dimana keluarganya memiliki usaha dalam penjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti kas, tempat tidur, kasur, bantal, tempat sepatu, rak piring dan lain-lainnya yang bersebelahan dengan Hotel Sumber Asia di Jalan Pala. Ia banyak membantu kita para mahasiswa asal Ambon di Fisipol Unhas dalam menyelesaikan studi akhir mereka.
Terlepas dari itu, kadang home base favorit kita adalah pelataran Koperasi Mahasiswa (Kopma) Unhas, tempat lalu lalangnya berbagai mahasiswa di kampus merah itu. Bagi teman-teman pria mata mereka suka melihat yang indah-indah, yang tak lain mahasiwa cantik lewat, selalu ada kata yang kita lontarkan dalam dialeg Melayu Ambon kepada kawan-kawan yang matanya nakal tersebut, “ce pung motor deng kepeng ada ka, kalo menang gaya jang lai, dong seng mau.”Tidak hanya melirik mahasiswa cewek yang lewat, tapi pelataran Kopma Unhas menjadi tempat untuk kita mengkaji buku-buku politik pergerakan dan filsafat. Biasanya kita duduk membentuk setengah lingkaran, lantas kawan mahasiswa kita yang bertindak sebagai pembicara utama akan memaparkan isi bukunya, kemudian kita yang hadir pun bertanya atau sekedar berstatmen terhadap uraian konten buku tersebut.
Ada ruang diskusi untuk menambah pengetahuan kita tentang politik pergerakan dan filsafat, yang bermanfaat bagi kita para mahasiswa asal Ambon.Ada juga partisipasi kita dalam event sepak bola di kampus merah itu, dimana memiliki tim sepak bola, yang bermain bagus. Kita banyak mengimpor pemain sesama anak Ambon yang kuliah di UMI. Begitu pun acara kumpul para mahasiswa Ambon di Malino. Ada kejadian lucu saat raker organisasi mahasiswa Ambon dari Unhas panas lantaran adu pendapat, maka setandan pisang dicabut Abidin Marasabessy satu persatu lantas melemparkannya ke Dath Atamimi sambil marah besar. Abidin kini ASN di Pemda Maluku Tengah dan Dath jaksa di Kejati Maluku. Suasana teggang tapi sebagian besar dari kita pada tertawa.
Banyak kisah serius, lucu dan juga ada yang pahit semuanya kita lewati pada kampus merah di Kota Anging Mamiri itu, hingga sebagian besar dari kita sudah sukses. Barangkali ini yang dikatakan Fiersa Besari, seorang penulis yang hits melalui novelnya “Garis Waktu” yang dipublis pada tahun 2016 lalu bahwa, “jika saatnya tiba, sedih akan menjadi tawa, perih akan menjadi cerita, kenangan akan menjadi guru, rindu akan menjadi temu, kau dan aku akan menjadi kita.” Dirgahayu Unhas ke-65, 10 Agustus 2021, tetap menjadi terbaik untuk Indonesia yang berkemajuan. (M.J. Latuconsina).
Discussion about this post