Oleh : Dr.M.J.Latuconsina,S.IP,MA
Staf Dosen Fisipol Universitas Pattimura
REFMALID,-AMBON- Eksistensi Partai Golongan Karya (Golkar) diawali dengan keberadaan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), yang didirikan pada 20 Oktober 1964. Sekber Golkar merupakan wadah dari Golongan Fungsional, yang tidak berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu pada zamannya. Keberadaan Sekber Golkar dalam rangka merespons dinamika politik nasional, dengan hadirnya Partai Komunis Indonesia (PKI), yang determinen dalam pentas politik nasional kala itu. Tentara khususnya Angkatan Darat (AD) pun hadir memimpin Sekber Golkar.
Dalam perkembangannya Mayor Jenderal (Mayjen) Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkokambtib) sukses mengkonsolidasikan dirinya menuju kekuasaan pasca persitiwa Gerakan 30 September 1965 (Gestapu), dengan menjadi Presiden pada 27 Maret 1968. Seiring dengan naiknya Seoharto menjadi Presiden, maka Sekber Golkar pun bertransformasi menjadi Golkar pada 17 Juli 1971. Perubahan tersebut menandai Golkar telah bersanding dengan kekuasaan.
Kedekatan itu membuahkan hasil positif, dengan suksesnya Golkar menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, yang merupakan Pemilu pertama, yang digelar Pemerintahan Orde Baru tersebut dengan meraih 62,80% menyusul di posisi kedua Partai Nadhlatul Ulama (NU) meraih 18,68% suara dan pada posisi ketiga Partai Nasional Indonesia (PNI) meraih 6,93% suara. Saat Seoharto menjadi Presiden tidak dipercepat digelarnya Pemilu. Jika dipercepat dilaksnakannya Pemilu, maka Soeharto yang disupport Golkar dan AD tidak akan memenangkan Pemilu.
Soeharto butuh waktu yang panjang untuk mengkonsolidasikan kekuatannnya, dimana ia disupport Golkar dan AD selama kurang lebih empat tahun. Caranya dengan melibas kelompok kiri, nasionalis dan Islam yang menjadi penghalang baginya, untuk tetap berkuasa menjadi Presiden melalui agenda Pemilu. Oleh karena itu, setelah komprehensif konsolidasi Soeharto barulah ia menggelar Pemilu 1971. Dalam perkembangannya kedekatan Golkar dengan penguasa berdampak pada kesuksesannya, dimana Golkar sukses menjadi pemenang Pemilu era Orde Baru, sejak Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, hingga Pemilu 1997.
Karakter Golkar yang selalu bersanding dengan kekuasaan, tidak hilang seiring runtuhnya rezim Orde Baru. Karakter ini tetap dipertahankan hingga era Reformasi dan era Pasca Reformasi tatkala Golkar telah bertransformasi menjadi Partai Golkar. Bukan dipentas nasional saja karakter ini diparktekkan, namun hingga ke daerah pada level pengurus provinsi dan kabupaten/kota karakter ini diparkatekkan, dimana Partai Golkar di daerah juga selalu dekat dengan kekuasaan. Logika keberlanjutan hidup partai, yang kemudian membuat Partai Golkar harus selalu dekat dengan kekuasaan, ketimbang mengambil sikap oposisi, yang pada akhirnya terlibas habis oleh penguasa dari pentas politik.
***
Terdapat wacana menarik masih dalam kontens relasi Partai Golkar di level daerah khususnya di Provinsi Maluku, yang dalam dinamika politiknya selalu dekat dengan Pemerintah Daerah (Pemda). Hal ini terepresentasi melalui para ketuanya, yang pernah mengemban jabatan sebagai Gubernur Provinsi Maluku, dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku. Jika para ketuanya tidak duduk sebagai Gubernur Provinsi Maluku, dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku, maka Partai Golkar selalu mengambil bagian untuk mensupport Pemda dengan menjadi partai koalisi Pemda. Sehingga berbagai implementasi plat form visi dan misi Gubernur Provinsi Maluku, dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku disupport Partai Golkar.
Namun dalam dinamikanya menjadi lain, jika Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Provinsi Maluku berkontestasi dalam arena Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung. Relasinya dengan Gubernur Provinsi Maluku menjadi renggang. Fakta yang terjadi, Golkar Provinsi Maluku pun berseberangan dengan Gubernur Provinsi Maluku. Sikap opisisi ini hanya pada level elite, namun relasi legislatif yang didalamnya terdapat Fraksi Golkar, dengan Pemda selaku eksekutif tidak mengalami friksi yang tajam. Pasalnya berbagai kebijakan strategis Gubernur Provinsi Maluku disetujui, namun dengan sejumlah catatan kritis. Fenomena ini ditemukan saat DPD Golkar Provinsi Maluku di pimpin Muhammad Abdullah Latuconsina dan Ramly Umasugi.
***
Terlepas dari itu, dalam sejarah kepemimpinan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golongan Karya (Golkar) Provinsi Maluku, tidak selamanya dipimipin oleh elite politik, yang sedang mengemban jabatan di Pemda di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Terdapat dua Ketua DPD Golkar Provinsi Maluku, yang mengemban jabatan mereka, tidak sedang menduduki jabatan di Pemda tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dua Ketua DPD Golkar Provinsi Maluku tersebut yakni, Brigadir Jenderal (Brigjen) Purn. A.G. Polanunu periode 1993-1996, dan Zeth Sahuburua periode 1999-2006/2011-2016.
Brigjen Polanunu sebelum mengemban jabatan sebagai Ketua DPD Golkar Provinsi Maluku, ia adalah Bupati Maluku Tengah periode 1986-1991. Ia merupakan kaders Golkar dari jalur A (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI). Brigjen Polanunu tidak menuntaskan jabatannya selaku Ketua DPD Golkar Provinsi Maluku karena wafat. Sedangkan Sahuburua merupakan kaders Golkar dari jalur G (Golkar). Disamping dua jalur ini, juga dikenal kaders Golkar jalur B (Birokrat). Dari unsur jalur B yang pernah menjadi Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku yakni, Ruswan Latuconsina. Berbagai jalur ini lazim disingkat ABG (ABRI, Golkar, Birokrat).
Sahuburua mengemban jabatan Ketua DPD Golkar Provinsi Maluku selama dua periode. Pada periode pertama kepemimpinan Sahubarua sebagai Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku ia masih mengemban jabatan publik sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku. Pada tahun 2004, Sahuburua mencoba peruntungan kembali dengan bertarung sebagai calon Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku, untuk masa jabatan kedua, tapi ia belum beruntung.
Pasalnya ia dikalahkan oleh Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Maluku Tengah, Ir. Abdullah Tuasikal, yang populer dengan sapaan initial AT. Namun rupanya AT yang dikenal dengan panggilan Pelatih tidak bertahan lama menahkodai partai politik tertua warisan rezim Orde Baru di Provinsi Maluku tersebut. Dalam kepemimpinannya banyak terjadi friksi politik yang datang dari internal partai berideologi developmentalis tersebut. Friksi antara DPD Golkar Kabupaten/Kota se Maluku dengannya selaku Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku pun intens terjadi.
Ditengah jalan di tahun 2006 mencuat Musyawarah Luar Biasa (Musdalub), atas desakan tujuh pengurus DPD Golkar Kabupaten/Kota se Provinsi Maluku, organisasi yang mendirikan Partai Golkar, dan organisasi yang didirikan Partai Golkar. Hasil akhir Musdalub DPD Partai Golkar Provinsi Maluku itu dimenangkan Muhammad Abdulah Latuconsina famly dekatnya, yang saat itu dalam posisi sebagai Wakil Gubernur Provinsi Maluku. Hingga kemudian tatkala di gelar Musyawarah Daerah (Musda) DPD Partai Golkar Provinsi Maluku di tahun 2011 barulah Sahuburua terpilih kembali sebagai Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku, untuk masa jabatan kedua.
Saat mengemban jabatan kedua tersebut, Sahuburua tidak lagi menjadi anggota atau Pimpinan DPRD Provinsi Maluku. Sehingga ia benar-benar memimpin Golkar saat ia tidak sedang mengemban jabatan public, yang memiliki akses langsung ke pemerintahan. Meski demikian saat itu Sahuburua mengemban jabatan sebagai Komisaris Utama (Komut) PT. Bank Maluku. Namun tatkala Pemilihan Pilkada Langsung Provinsi Maluku Tahun 2014, Sahuburua dipinang oleh Said Assagaff selaku Calon Gubernur (Cagub) Provinsi Maluku, untuk berduet dengannya sebagai Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Provinsi Maluku.
Dari napak tilas sejarah kepemimpinan DPD Partai Golkar Provinsi Maluku tersebut, menunjukkan bahwa, tidak selamanya DPD Partai Golkar Provinsi Maluku “harga mati” harus dipimimpin oleh figur yang tengah menduduki jabatan di Pemda tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Oleh karena itu, kesempatan terbuka lebar bagi semua kaders Partai Golkar dari tingkat pusat hingga provinsi dan kabupaten kota, untuk mencalonkan diri sebagai Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku.
Hanya saja siapun figur yang mengemuka namanya, dan merupakan calon kuat Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku bisa saja berasal dari luar pemerintahan, dimana tidak sedang menduduki jabatan Gubernur,Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Namun figur dimaksud adalah figur politikus murni Partai Golkar, yang memiliki kedekatakan secara pribadi dan organisasi dengan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar.
Dengan relasi pribadi dan orgaisasi tersebut, tentu sosok dimaksud sudah menjadikan DPD Partai Provinsi Golkar Maluku dekat dengan ”kekuaasaan” baik itu pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dan pusat. Hal ini sebagaimana indentitas partai politik, yang bertransformasi dari Kelompok Fungsional menjadi Golkar di tahun 1971 tersebut, yang selalu bersanding dengan kekuasaan kapan pun dan dimanapun. Kondisi ini sekaligus merupakan implementasi rill dari tipologi Golkar sebagai cath-all partai, dimana mengutamakan program kerja yang langsung dirasakan warga masyarakat. (RM-06)
Discussion about this post