Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Staf Dosen Fisipol Unpatti
REFMAL (AMBON)”Simpan semua kenangan istimewa yang tak terlupakan untuk kehidupan yang akan datang.” (Mattie Stepanek).
***
Sudah puluhan tahun lamanya saya seakan baru terbangun dari tidur panjang, mengingat beberapa tahun lampau pernah memiliki memori tentang perjalanan di tanah Yainuelo. Dahulu Yainuelo adalah sebuah dusun dari Negeri Sepa nun di Kecamatan Amahai, Seram Bagian Selatan sana.
Kini Yainuelo bukan lagi sebuah dusun dari Negeri Sepa, tapi sekarang telah menjadi sebuah desa administratif yang otonom. Nama Yainuelo asing ditelinga saya, lantaran pada masa lalu saat masih berstatus dusun, biasa disebut dengan Tanjong. Saya pribadi tidak tahu pasti mengapa namanya berubah dari Tanjong menjadi Yuainelo.
Saya hanya menduga-duga perubahan nama itu terkait dengan peningkatan status dusun dari Negeri Sepa itu menjadi desa administratif beberapa tahun lalu. Kawasan yang kini telah menjadi Yainuelo tidak asing bagi saya. Puluhan tahun lampau, tatkala masih dibangku SLTP di bumi Gotong Royong itu, saya sering menginjakan kaki di sana diakhir pekan.
Ada kalahnya saya bolos sehari dari sekolah, yang letaknya di depan kantor Bappeda, gedung usang berbentuk huruf el yang dulunya pernah terbakar, untuk pergi ke Yuainelo. Bersama adik sepupu dari ayahku, saya sering pergi bersamanya menggunakan mobil pick up Kijang. Ada kalahnya jika tidak ada yang menumpangi mobil itu dijob depan, saya duduk disamping om saya yang mengendarai mobil pick up itu.
Alunan tembang-tembang melo pada zamannya dari Miriam Belina, dan Dian Pisesa, yang saat itu sedang hits. menghibur perjalanan kami. Ada kalanya diputar lagu barat dari vokalis kenamaan dunia dalam bentuk cover version, yang dinyanyikan Johan Untung biduan kelahiran Surabaya berdarah Pulau Saparua-Maluku.
Jika job didepan mobil terisi, saya biasanya duduk dibelakang bersama staf dari om saya, yang semobil bersama-sama kami. Sesekali saya berdiri dibelakang kap mobil seperti layaknya para buruh, yang sedang sibuk mengangkut materil, untuk pembangunan proyek fisik . Perjalanannya tidak dekat, dari Masohi di Jalan Hiu hingga ke Yuainelo kurang lebih 18 kilometer.
Pasti ada yang bertanya untuk apa pergi dari Masohi hingga ke Yainelo yang begitu jauh ?. Sebenarnya, kepergian saya ke Yuainelo menemani om saya, yang saat itu sedang mengerjakan proyek jalan disekitar Negeri Sepa. Basecamp dari proyek itu berada diujung Yainelo kearah Negeri Sepa.
Tahun-tahun terakhir setelah proyek jalan itu selesai, basecampnya telah berubah fungsi menjadi bangunan SLTP bagi anak-anak di Yuainelo. Hingga kini saya belum pernah kembali lagi kesana, mungkin saja bangunan SLTP yang tadinya dari papan dan beratapkan seng itu telah berubah dengan permanen, yang lebih bagus dan representatif.
Pada pengerjaan proyek jalan tahun-tahun berikutnya, basecampnya sudah hijrah ke sebuah dusun kecil, yang hanya dihuni satu kepala keluarga keturunan Buton. Saya sudah lupa nama dusun itu, maklum sudah puluhan tahun berlalu, namun dusun ini lebih dekat dengan Negeri Sepa, karena hanya sepuluh menit menggunakan mobil akan sampai di Negeri Sepa.
***
Pada suatu hari datang seorang bapak yang sudah sepuh di basecamp Yuainelo. Ia menggunakan sepeda onthel tua warna hitam, yang besar dan tinggi. Ia mengenakan kemeja, celana kain dan sendal kulit yang agak lusuh, serta ia memai peci dikepalanya ala buruh bangsa Melayu zaman dahulu.
Hal ini mirip dengan ide awal Bung Karno, yang mengenakan peci di kepala, sebagai lambang Indonesia merdeka sebagaimana digunakan para buru bangsa Melayu pada zamannya. Tak sempat saya tanyakan apa keperluan orang tua sepuh itu di basecamp. Saya hanya menduga-duga kedatangannya untuk membicarakan pengerjaan gorong-gorong.
Tak lama setelah bersua om saya, bapak itu pun pergi bersama om saya menggunakan mobil pick up ke arah Negeri Sepa. Sepeda onthel tua bapak itu dipakir didepan basecam. Saya pun mengambil dari tempat parkirnya, lantaran penasaran mencoba menaiki sepeda klasik itu. Lantas mendorongnya kawasan kebun kelapa milik warga, yang rimbun dijalan beraspal menuju Negeri Sepa.
Ternyanta untuk mengayuhnya sepeda tua itu tak mudah dijalan beraspal, lantaran tinggi. Tak kehabisan akal saya pun menaikan pedal kiri sepeda itu, agar bisa menjadi tumpuan kaki kiri untuk meloncat naik duduk di job sepedanya, sekaligus kaki kanan saya pun menginjak pedal kanan, dan kemudian kedua kaki saya pun mengayuh sepeda onthel itu dengan sukses berjalan maju.
Sepi jalan aspal kawasan kebun nyiur milik warga Yainuelo membuat saya mengayuh sepeda dengan lapang, tanpada ada hambatan. Hanya saja jalan beraspal yang tak datar membuat sepeda onthel itu berbunyi kerisik. Suasana hening kebun kelapa milik warga. Rata-rata kebun kelapa itu masih berproduksi dengan buah yang banyak.
Nampak tidak ada tanda-tanda warga memanen kelapa, saya hanya memperkirakan kebun kelapanya sedang disasi, untuk menunggu waktu yang tepat saat buahnya semakin banyak baru dipanen. Pernah bersama kawan memungut beberapa buah kelapa tua, yang jatuh dibawah pohonnya.
Namun tiba-tiba kita berdua mengembalikan ke lokasinya, lantaran kuatir mengambil buah kelapa yang sedang disasi. Yainuelo sedari dahulu dikenal memiliki kebun kelapa produktif, yang biasanya diolah warga menjadi kopra lantas dijual kepada pengepul yang kebanyakan adalah warga keturunan Tionghoa.
Disekitar basecamp pun saya melihat bekas tempat pengeringan kopra, yang dibuat dengan sederhana. Sebuah rumah kecil beratap daun sagu, dibawahnya digali sebuah kolam persegi empat. Kolam persegi empat itu sebagai wadah pembakaran, yang asapnya kemudian mengepul naik mengena kopra, yang ditaruh di atas balai-balai sebagai wadah menaruh kopra agar dapat kering.
Seiring perjalanan waktu, kopra tetap menjadi hasil utama desa ini, dan produksi dari pohon kelapa berupa buah kelapa, kini telah dikembangan menjadi VCO (virgin coconut oil) dan Minyak Kelapa (cocnut oil). Bakal menjadi home industri, yang memiliki prospek baik bagi warga Yainuelo, untuk meningkatkan pendapatan dan daya beli mereka.
Warga Yainuelo juga banyak menggantungkan hidupnya dari laut sebagai nelayan. Kawasan laut Yainuelo merupakan Laut Banda, yang kaya potensi kelautan khususnuya ikan pelagis kecil dan besar seperti : Selar (Kawalinya), Layang (Momar), Kembung (Lema), Cakalang, Tuna (Tatihu) dan Tongkol (Komu). Sehingga menjadi tempat bagi para nelayan Yaunuelo memancing dan menjaring ikan, dengan hasil melimpah. (*)
Discussion about this post