Oleh : Dr. M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id,- Tatkala kita membahas suatu masalah berulang-ulang kali, pasti kita akan diprotes handai tolan kita. Populer dalam bahasa Melayu Ambon dikatakan ;“ale kaya strika saja, ulang-ulang bahas masalah itu..e”, atau juga “ale kaya udang saja, ulang-ulang bahas masalah itu..e.” Perspektif ini memberikan gambaran bahwa, kita tidak perlu terlalu larut dalam mempolemikan suatu masalah politik, yang masih samar kita melihatnya. Barangkali ungkapan Nick Vujicic, seorang motivator, yang populer melalui karyanya : “Unstoppable : The Incredible Power of Faith in Action”, yang di publis di tahun 2012 lalu menjadi perenungan bagi kita bahwa, “terus bergerak maju karena tindakan menciptakan momentum, yang pada gilirannya menciptakan kesempatan yang tak terduga.”
Tentu apa yang di saksikan para nitizen melalui video di media sosial, itu merupakan suatu fakta yang benar-benar objektif, maka kita perlu meresponsnya secara positif sekaligus mensupportnya demi kepetingan rakyat. Namun jika tidak terjadi demikian, tentu kita telah digiring mengikuti “opini personal” aktor itu, dimana kita turut ikut berdendang mengikuti ritme aktor itu. Disinilah tanpa sengaja energi kita terkuras untuk meresponsnya. Ironisnya lagi kita terbelah pemikiran dalam sikap pro dan kontra, dimana saling dukung mendukung, serta saling serang menyerang. Jangan sampai hanya karena persoalan politik lantas persahabatan dan persaudaraan kita berjarak.
Begitu pula fenomena yang terjadi “orang kita membela orang kita”, yang lantas memberikan kesan tumbuhnya “politik identitas”, yang mengarah kepada persepsi negatif. Apapun aktor-aktor yang memimpin lembaga dalam cabang-cabang kekuasaan negara itu, harus dilihat sebagai personal, yang dipercayakan rakyat melalui Pemilihan Umum (Pemilu), untuk memimpin lembaga-lembaga itu, bukan global mewakili identitas tertentu. Berpijak dari pemikiran itu, marilah menjadi negarawan-negarawan, yang saling memahami bahwa perdebatan itu hanya dialog-dialog demokratik, untuk lebih mendewasakan kita dalam memahami konteks demokrasi, sebagaimana esensi kita sebagai zoon politicon, yang diperkenalkan Aristoteles (384 SM-322 SM).
Esensinya jika itu benar-benar suatu perjuangan membela kepentingan rakyat, tentu dilakukan dengan politik yang santun, dimana meskipun bakal terjadi kebuntuan, tentu aktor itu sudah mengetahui solusi yang harus ditempuhnya. Tak lain dilakukan dengan komunikasi politik yang cerdas, yang kesemuanya dibarengi dengan kemampuan leadhership aktor itu, yang didalamnya juga telah terintegrasi kemampuan memanajemen konflik diantar lembaga dari cabang-cabang kekuasaan negara itu. Hal ini menandaskan bahwa, kemampuan leadhership, memegang peran penting bagi seorang aktor, guna menggalang dukungan dilembaganya, agar kawan-kawannya dapat mengikutinya, sehingga mampu menggolkan kepentingan rakyat.
Kondisi ini menunjukan realisasi pemaknaan leahdership, sebagaimana merujuk pemikiran George Robert Terry (1909-1979), seorang ahli manajemen berkebangsaan Amerika Serikat, yang populer melalui karyanya : “Principles of Management” yang di publis di tahun 1953 lampau belum optimal, dimana ia mengungkapkan bahwa, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain untuk diarahkan mewujudkan tujuan organisasi. Jika saja kemampuan leadhership di optimalkan, tentu aktor itu bersama kawan-kawannya dilembaganya akan solid guna menggolkan kepentingan rakyat, yang dibahas dengan lembaga lainnya yang masih dalam cabang kekuasaan negara itu. Terpublikasinya video itu dan diikuti dengan klarifikasi balik dari kawan-kawannya, membuat publik “bingung” untuk menilai secara sendiri-sendiri aktor mana yang paling benar di lembaga itu, dan lembaga mana yang paling benar.
Mengakhirinya meminjam ungkapan Jessica Huwae, seorang penulis berdarah Ambon, yang hits melalui novelnya “Galila” dan “Javier”, yang di publis di tahun 2014 lalu bahwa, “hidup adalah seperti mengendarai mobil di jalan satu arah yang padat. Saat dihadapkan kepada jalan tanpa pilihan, kecuali terus bergerak maju kedepan. Yang sudah dilakukan adalah waktu yang sudah terbuang. Tidak bisa ditarik kembali atau bahkan diputar ulang.” Sejatinya demikian, kita tidak perlu lagi mengulangi untuk membahas suatu problem politik, yang hanya menguras energi kita dengan kebenaran menurut pemikiran kita masing-masing. Mari kita bergerak meninggalkan suatu tema politik menuju tema politik yang lain, yang lebih menarik untuk dibahas dalam kerangka pemikiran demokratik, yang relevan dengan pemenuhan political goods. (RM-04)
Discussion about this post