Oleh : Dr. M. J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial, Politik&Ekonomi
Referensi Maluku.id,- “Apakah sejarah itu? Pengulangan masa lalu di masa depan; refleksi dari masa depan pada masa lalu.” Suatu qoutes kontemplatif dari Victor Hugo (1802-1885) sastrawan berkebangsaan Prancis. Dua karya novelnya yang terkenal yakni : Les Misérables dan Notre-Dame de Paris. Ungkapannya itu mengawali kritik dari novel berlatar belakang sejarah ini.
***
Pertamakali melihat novel berlatarbelakang Maluku, dengan judul : “Clavis Mundi, Legenda Enrique Maluku Pengeliling Dunia Pertama”, yang ditulis Helmy Yahya, Utami Prastha dan Donna Widjajanto, penerbit Cempaka Putih, Jakarta 2022 di Gramedia Pasar Baru, Jakarta sehari lalu saya tertarik lantas membelinya meskipun harganya nyaris Rp 200.000.
Pikiran saya pasti kontennya memiliki cita rasa Maluku. Apalagi figur pengeliling dunia dimaksud berasal dari Maluku tepatnya Haruku Island (Pulau Haruku) . Hal ini seperti yang pernah di narasikan jauh oleh Julius Tahija dalam autobiografinya yang berjudul : “Memimpin Dengan Nurani dan Melintas Cakrawala”, Penerbit Yayasan Tahija, Jakarta, 2011.
Baru masuk Bab I Si Berandal dalam sub bab Amboina Maluku, November 1508 bacaan saya tiba-tiba berhenti pada halaman 3. Pasalnya ada cita rasa Melayu disini untuk sapaan kekek (tete/opa) yang disebut atuk. Mestinya karya sastra dengan figur utamanya dari Maluku memiliki cita rasa Maluku yang tinggi dalam narasinya.
***
Berbeda dengan karya novel sejenis berlatarbelakang sejarah karya Mayon Soetrisno berjudul : Bandara Neira, penerbit Taramedia di tahun 2001 lalu. Mayon mampu menarasikan Banda Neira dengan identitas kebudayaannya yang otentik, khususnya dari sisi bahasa setempat yang benar-benar mirip. Sehingga cita rasa Banda Neira begitu kuat dalam novel itu, dimana membawa pembacanya merasakan Banda Neira di masa lampau.
Aspek yang perlu disesuaikan dalam karya sastra ini adalah mendeskripsikan novelnya dengan cita rasa Maluku yang tinggi dalam penggunaan bahasanya, yang semestinya dapat berbasis bahasa Melayu Ambon, yang gampang dipahami oleh khalayak di tanah air. Daripada menggunakan bahasa Melayu Sumatera dan Semenanjung Malaya yang jauh dengan setting novelnya di Maluku.(*)
Discussion about this post