Referensimaluku.id.Ambon — Beberapa hari belakangan ini publik Maluku kembali disuguhi informasi tentang mafia pertambangan di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Walaupun sebenarnya ini bukan hal yang baru, tapi isu ini kembali mengemuka ke publik setelah adanya indikasi dugaan keterlibatan oknum-oknum petinggi-petinggi aparat penegak hukum (APH) maupun pejabat pemerintahan dalam praktik mafia tambang di Kabupaten berjuluk “Saka Mese Nusa” itu.
Kembali mencuatnya isu mafia pertambangan di SBB seyogianya menjadi perhatian serius seluruh APH di tingkat pusat dan daerah seperti di SBB. Kuatnya indikasi praktik mafia pertambangan di SBB pun sudah sangat terasa, namun pembuktian-lah yang diperlukan untuk mengungkap mafia tambang di wilayah pecahan Maluku Tengah itu.
Salah satu pemuda adat Negeri Luhu (Huamual), Muhammad Ali Suneth menuding ada mafia tambang di balik pertambangan Nikel dan Batubara di Dusun Tapinalu – Ulatu, Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten SBB, Maluku. Ironisnya dia menyatakan mafia tambang tersebut diduga dimotori atau disokong Wakil Gubernur (Wagub) Maluku Barnabas Nataniel Orno dan Pelaksana Tugas (Plt) Raja Negeri Luhu, Muhamad Yusran Payapo.
“Gugat mafia tambang yang dinahkodai Wagub Maluku dan Plt. Negeri Luhu di tanah adat Huamual,” tegas Ali melalui Whatsapp kepada Referensimaluku.id, Kamis (29/9/2022).
Ali menilai, kedatangan BNO yang juga mantan Bupati MBD dua periode itu ke Negeri Luhu selain untuk menyaksikan pemasangan tiang Alif Masjid Jami, juga
untuk membuka ruang terjadinya perampasan tanah adat. Tujuannya untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam Negeri Luhu melalui cara-cara yang tidak sehat.
“Saya menduga, terpilihnya Plt. Negeri Luhu didasari intervensi Wagub Maluku. Tidak menutup kemungkinan, ada kesepakatan untuk mendorong kelancaran masuknya perusahaan tambang di Negeri Luhu, yang melibatkan investor tambang,” beber Ali.
Dugaannya tersebut, sambung Ali, akibat tinjauan Wagub Maluku ke lokasi tambang Nikel tidak diketahui masyarakat setempat. Dan setelah melakukan peninjauan, Wagub Maluku dan pemerintah negeri Luhu melakukan sejumlah kesepakatan tanpa adanya sosialisasi ke masyarakat setempat. Ali menjelaskan hak masyarakat adat dalam kebijakan nasional tertuang dalam UUD 1945 Pasal 18 B, ayat 2 di mana dijelaskan di situ kalau negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Secara detail pengaturannya dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia pasal 28 I ayat 3 yang menyebutkan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati, selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
“Semakin maraknya pertambangan ilegal menimbulkan keresahan masyarakat Negeri Luhu. Saya menduga adanya keterlibatan oknum pejabat daerah hingga negeri. Mereka ikut menikmati aliran dana terkait persetujuan untuk pelepasan hak ulayat dan izin pertambangan di Negeri Luhu,” jelas Ali.
Menurut Ali mafia hukum tidak terlepas dari tindakan korupsi. Praktik mafia pertambangan mineral dan batubara semakin meningkat. Mengingat, mafia hukum di bidang mineral dilakukan dalam empat bentuk. Pertama, sogok untuk berbagai konsesi pertambangan,
Nepotisme didasarkan pada berbagai konsesi. Kedua, penipuan, transfer pricing dan penggelapan. Ketiga, campur tangan dalam regulasi-regulasi pertambangan (perusahaan swasta terlibat dalam join venture dengan politisi). Keempat, melakukan suap, gratifikasi dan penggelapan
“Hal ini membuat adanya peningkatan kasus korupsi di daerah, yang dapat dilihat dari jumlah penanganan kasus korupsi yang pelakunya adalah pejabat daerah seperti Gubernur, Bupati/Walikota sampai Kepala Desa,” ujar Ali.
Ia menilai, masyarakat Negeri Luhu sangat rentan terhadap diskriminasi peraturan yang dibuat pemerintah. Peraturan yang dimaksud Ali adalah Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba). Beberapa muatan di dalam UU Minerba ini lebih berpihak kepada korporat ketimbang masyarakat. Hal ini, lantas menimbulkan beragam penilaian dari publik, bila ada dugaan skenario untuk menguntungkan pemerintah dan perusahaan, lalu mengabaikan mengabaikan hak masyarakat.
“Padahal, keterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan sumber daya pertambangan, itu sangat diperlukan. Apalagi yang menyangkut kekayaan masyarakat adat,” nilai Ali.
Ali menyampaikan beberapa desakan. Pertama, mendesak Ombudsman RI segera memeriksa Wagub Maluku BNO karena menggunakan jabatannya di luar fungsi dan tugas kewenangannya sebagai seorang wakil gubernur. Kedua, mendesak KPK RI melakukan pemeriksaan terhadap Wagub Maluku BNO perihal dugaan gratifikasi dalam proses pelepasan hak ulayat masyarakat adat Negeri Luhu.
Ketiga, mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Maluku dan Kepolisian Resort (Polres) SBB untuk menginvestigasi keterlibatan mafia tambang dan mendesak Plt. Bupati SBB untuk memberhentikan M. Yusran Payapo sebagai Plt. Pejabat Negeri Luhu. Dan keempat, mendesak pemerintah pusat (Kementerian terkait) menyelesaikan persoalan mafia tambang di Negeri Luhu.
“Diikarenakan, itu merupakan suatu perbuatan yang melanggar konstitusional dan mengkebiri hak kedaulatan masyarakat hukum adat Negeri Luhu. Saya mengajak semua pihak khususnya masyarak Negeri Luhu dan persaudaraan Pela Gandong untuk mengawal kasus ini hingga tuntas. Apabila lima poin diatas tidak diindahkan, maka saya menyatakan pemerintah bersekongkol untuk melakukan kejahatan besar di tanah adat Huamual,” tutup Ali.
Di kesempatan terpisah Wagub Maluku BNO yang dikonfirmasi media online ini via WhatsApp, Kamis (29/9) petang mengenai tudingan pemuda Huamual belum menjawab sekalipun pertanyaan yang dikirim sebanyak tiga kali telah menunjukkan sinyal telah diterima. (RM-04)
Discussion about this post