Oleh : Dr. M. J. Latuconsina, S. IP, MA
Pemerhati Sosial, Ekonomi &Politik
Referensimaluku.id,- “Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, berjuang karena rakyat, dan aku penyambung lidah rakyat.” (Bung Karno).
***
Tatkala masih kecil, kita tidak mengenal siapa itu Soekarno yang populer dengan panggilan egaliter Bung Karno. Bahkan tidak mengetahui jejak rekamnya (track record) dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Bangku sekolah merupakan awal kita mengenal siapa Bung Karno dan perannya dalam mata pelajaran “Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) di era 1980-an dahulu. Begitu pula melalui orang-orang disekitar rumah kita, yang turut memperkenalkan sosok pejuang dan proklamator RI itu kepada kita, sebelum lebih jauh secara otodidak kita mengenal figur dan perannya, melalui buku-buku yang mengulasnya dalam pentas sejarah RI maupun melalui biografi dan otobiografinya.
Gambaran mengenai figur dan peran Bung Karno melalui melalui buku-buku yang mengulasnya dalam pentas sejarah RI maupun melalui biografi dan otobiografinya, itu merupakan sesuatu yang lumrah bagi kita. Namun pernah langsung kita mendengar kisahnya melalui keluarga kita, yang menghadari pidatonya maupun bertemu langsung dengan Bung Karno, meskipun itu sekedar berjabat tangan saja, tapi memberikan kesan sosok pendiri negara itu adalah seorang presiden, yang kharismatik, dekat dengan rakyatnya, dan seorang singa podium lantaran pidatonya memukau para hadirin.
***
Suatu waktu tatkala masih di bangu SMP di penghujung tahun 1980-an saat berlibur ke negeri saya Ory di Pulau Haruku, saya mendengar cerita nenek tatkala dahulu kala dengan bersusah payah menggendong paman saya yang basi bayi, untuk pergi ke Saparua dengan menumpang kole-kole perahu tradisional berbadan besar khas Maluku, untuk menyaksikan kedatangan Bung Karno. Kata nenek saya, tidak saja warga dari negeri-negeri yang berada di Pulau Haruku, Pulau Saparua dan Nusalaut saja, yang rela berdatangan menyaksikan kedatangan Bung Karno, melainkan juga dari Pulau Ambon dan Pulau Seram pun rela berdatangan untuk menyaksikan kehadiran bapak pendiri bangsa itu.
Kisah nenek tentang kehadirian Bung Karno di Saparua itu bak sebuah “dongeng” bagi saya, maklum saya hanya mendengar dan rentang waktunya yang sudah begitu jauh, dan saya tidak mengalami peristiwa bersejarah itu. Namun tatkala di bangku kuliah di pertengahan tahun 1990-an barulah saya membaca sebuah buku di Perpustakaan Daerah Maluku, yang sudah lupa judulnya. Di buku itu mengisahkan perjalanan Bung Karno menggunakan kapal laut dari Halong-Ambon lantas ke Pulau Saparua dan ke Pulau Geser Seram Bagian Timur.
Ternyata cerita nenek itu adalah sebuah fakta sejarah, yang benar-benar terjadi, dan bukan sebuah “dongeng” sebagaimana persepsi awal saya. Dalam dua buku dengan judul “Indonesia Today : Challenges of History”, dengan editor Grayson J Lloyd, Shannon L Smith, terbitan tahun 2001 dan “The Indonesian Presidency : The Shift from Personal toward Constitutional Rule”, karya Angus McIntyre terbitan tahun 2005, sempat menyinggung kunjungan Bung Karno ke Saparua, dimana kunjungan itu dilakukan Bung Karno pada 8 November 1958 dengan melakukan pidato dalam sebuah rapat umum di Saparua, yang dihadiri rakyat.
Suatu waktu juga, ibu saya bercerita tentang kakek saya yang sempat berjabat tangan dengan Bung Karno. Kejadian itu tatkala Bung Karno melewati Jalan A.Y. Patty di Kota Ambon, dengan menggunakan mobil terbuka, yang disambut dengan meriah oleh rakyat Kota Ambon. Presiden pertama itu pun berhenti dengan berjabat tangan dalam posisinya di dalam mobilnya dengan rakyat di sekitarnya. Pada moment inilah kakek saya mendapat kesempatan yang tak terduga, turut berjabat tangan dengan Bung Karno. Kakek saya begitu gembira, lantaran memiliki kesempatan yang langkah berjabat tangan dan melihat secara dekat figur krismatik itu, yang memiliki andil besar dalam melahirkan RI.
Belum diketahui dengan pasti kejadian ini tahun berapa, karena ada dua kali proklamator RI ini mengunjungi Ambon yakni pada tahun 1951 dan pada tahun 1958. Tapi diperkirakan tatkala kunjungan Bung Karno ke Ambon pada tahun 1951, dimana kala itu ia disambut dengan lagu “Rasa Sayange” di Bandara Laha. Bung Karno sempat menyanyikan lagu ini, dengan diiringi gitar yang dimainkan Bing Leiwakabessy salah seorang seniman besar Maluku kala itu. Hal ini sebagaimana dikisahkan pada https://news.detik.com pada 4 Oktober 2007, dengan judul berita, “Inilah Lagu Rasa Sayange yang Dinyanyikan Presiden Soekarno.”
Banyak sekali kisah tentang Bung Karno, yang diceritakan orang-orang dekat kita, baik itu keluarga dan kawan-kawan kita, yang kadang kisahnya “menjadi “legenda”. Hingga kuliah saya sempat membaca tiga buku tentang Bung Karno dalam ukuran kecil, yang berwarna kuning, biru, dan hijau. Salah satunya yang dibaca yakni dengan judul “Bung Karno Kepada Bangsaku”, terbitan CV Haji Masagung, tahun 1989. Bacaan yang fenomenal tatkala saya bersama kawan-kawan di penghujung pemerintahan Orde Baru, membaca buku lawas dan oroginal yang sudah sobek cofer depannya dengan judul, “Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1”, yang merupakan kumpulan pemikiran Bung Karno sejak massa pergerakan.
Bagi saya dan kawan-kawan bacaan itu fenomenal, lantaran kala itu pemikiran Bung Karno melalui ajaran Marhaenisme tatkala pemerintahan Orde Baru sengaja “diberangus”, dimana pemikirannya itu banyak di pengaruhi Marxisme, sehingga ada kekuatiran jika bacaan itu sampai jatuh ke tangan aparat keamanan, tentu saya dan kawan-kawan, yang membacanya akan di cap sebagai “orang-orang kiri”, Bahkan bisa juga dipanggil aparat kemanan. Sampai suatu hari, lantaran fobia buku ini hendak saya bakar, namun mengurungkan niat itu, lantas mengembalikan buku itu kepada teman saya, yang berasal dari Pulau Buru.
Meskipun dalam “ketakukan” saya dan kawan-kawan sempat membaca pemikiran-pemikiran Bung Karno yang inklusif, demi merangkai persatuan dan kesatuan rakyat yang mendiami Kepuluan Indonesia. Sampai akhirnya saya pun membaca berbagai buku, dengan beragam judul tentang Bung Karno, salah satunya tentang kiprah Bung Karno di pentas nasional, dalam auotobiografinya berjudul, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, yang ditulis Cindy Adams, terbitan Media Presindo 2007 lalu. Membaca Bung Karno melalui berbagai buku, sudah bebas saya lakukan, tidak seperti dulu di era pemerintahan Orde Baru, yang harus sembunyi-sembunyi saat membacanya.
Bebas dalam membaca itulah, yang sebenarnya sesuai dengan pemikiran Bung Karno tentang freedom, yang diperjuangkan secara gigih dan berani dalam menghadapi imprealisme, untuk berserikat dan berkumpul, tanpa ada lagi pengekangan atas haknya itu dari pihak manapun. Itulah sedikit dari narasi “Bung Karno Dalam Memory Masa Lalu”. Dirgahayu Bung Karno 6 Juni 2022, sebagaimana tanggal dan tahun kelahirannya pada 6 Juni 1901 di Surabaya lampau. Karya politikmu, untuk sebuah nation state Indonesia, akan selalu di kenang dan akan tetap eksis di pentas global. Merdeka.( *)
Discussion about this post