Oleh : M.J. Latuconsina, S.IP, M.A
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id,-Ambon-Para guru (teacher) tak hanya pandai mengajar, dengan retorika apik serta uraian melalui spidol (marker) di whiteboard, dihadapan para siswa-siswi pada ruang kelas di sekolah, untuk mencerdaskan mereka saja. Namun ternyata dalam perjalanan bangsa ini, menghadapi kolonialisme Belanda dan Jepang, terdapat para guru yang beralih profesi menjadi tentara (army), kemudian maju di front pertempuran (battle), dimana mereka memiliki kemampuan optimal dalam mengkomandai pasukan mereka lantas memenangkan pertempuran, dengan strategi perang yang jitu.
Para guru yang beralih profesi menjadi tentara, sukses dalam kariernya dengan meraih pangkat jenderal hingga jenderal besar. Tampilnya para guru itu, karena kehendak sejarah, diantaranya ; Jenderal Besar Soedirman ; Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/TKR (1945-1950), Jenderal Besar Abdul Haris Nasution ; Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan-Kepala Staf Angkatan Bersenjata/Menko Hankam-Kasab(1959-1966), dan Jenderal Maraden Panggabean ; Menteri Pertahanan dan Kemanan-Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Menhankam-Pangab (1973-1978).
Karier para guru, yang beralih profesi menjadi tentara, hampir serupa dengan kisah Thukidides (460-395 SM), seorang filsuf Yunani, yang juga jenderal dalam pasukan Athena. Dia memimpin pasukannya dalam Perang Peloponnesos melawan Sparta di akhir 400-an SM, tapi ia tidak beruntung, pasalnya kalah dalam suatu pertempuran. Pemerintah demokrasi Athena lantas mengasingkannya selama sisa peperangan. Dia terpaksa meninggalkan Athena, dan menghabiskan sisa hidupnya, untuk menulis sebuah buku mengenai peperangan itu. Buah dari karyanya itu, hingga ia disebut sebagai bapak sejarah ilmiah.
Soedirman
Jenderal Besar Soedirman lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga, ia merupakan anak dari pasangan rakyat biasa. Soedirman lantas diadopsi pamannya seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin, ia aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan, yang dijalankan organisasi Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan bakatnya dalam memimpin dalam berorganisasi, dan dihormati masyarakat karena ketaatannya pada Islam.
Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah, ia juga aktif menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA), dan menjabat komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Pasca kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945 Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, lantas ke Jakarta bertemu Presiden Soekarno, ia ditugaskan mengawasi penyerahan tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal BKR. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober 1945 oleh Panglima Sementara Oerip Soemohardjo, dan ia bertanggung jawab atas divisi itu. Pada 12 November 1945, dalam pemilihan Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Yogyakarta, Soedirman terpilih. Sembari menunggu pengangkatan, ia memerintahkan serangan terhadap pasukan sekutu di Ambarawa.
Dia menunjukan kegigihannya dalam pertempuran di Ambarawa. Kesuksesannya itu, membuat rakyat simpati, ia pun diangkat sebagai Panglima Besar BKR pada 18 Desember 1945. Selama tiga tahun berikutnya, ia menjadi saksi kegagalan perundingan Indonesia dan Belanda, yang hendak kembali menguasai Indonesia. Diantaranya Perjanjian Linggarjati, yang turut disusun Soedirman dan Perjanjian Renville, dampaknya Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya pada Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia, ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948.
Kegemarannya merokok menyebabkan ia mengidap penyakit tuberkulosis (TBC), hingga infeksi, sehingga akibatnya paru-paru kanannya dikempiskan pada November 1948. Pada 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II, untuk menduduki Yogyakarta. Pada saat para pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan, untuk memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti pasukan Belanda, tetapi berhasil lolos, dan mendirikan markas sementara di Sobo dekat Gunung Lawu.
Dari tempat ini, ia mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, ia dipanggil kembali ke Yogyakarta pada Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, Presiden Soekarno tidak mengijinkannya. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh, ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat pada 29 Januari 1950, kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
A.H. Nasution
Jenderal Abdul Haris Nasution lahir di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara dari keluarga Batak Muslim pada 3 Desember 1918. Dia adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya seorang pedagang tekstil, karet dan kopi, dan merupakan anggota organisasi Sarekat Islam. Ayahnya, yang sangat religius, ingin anaknya untuk belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin ia belajar kedokteran di Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah pada 1932, ia menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.
Pada 1935 Nasution pindah ke Bandung, untuk melanjutkan studi. Keinginannya untuk menjadi guru secara bertahap memudar, saat minatnya dalam politik tumbuh. Diam-diam ia membeli buku yang ditulis Soekarno, dan membacanya dengan teman-temannya. Setelah lulus pada tahun 1937, ia kembali ke Sumatra dan mengajar di Bengkulu, ia tinggal di dekat rumah pengasingan Soekarno. Dia kadang-kadang berbicara dengan Soekarno, dan mendengarnya berpidato. Setahun kemudian, ia pindah ke Tanjung Raja dekat Palembang, dimana ia melanjutkan mengajar.
Pada tahun 1940, Jerman Nazi menduduki Belanda, dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan, yang menerima orang Indonesia. Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan beberapa orang Indonesia lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan. Pada bulan September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dia selanjutnya menjadi seorang perwira di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).
Pada 1942 Jepang menduduki Indonesia. Pada saat itu, Nasution di Surabaya, dengan tugas mempertahankan pelabuhan. Dia kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, karena takut ditangkap Jepang. Namun, ia kemudian membantu PETA yang dibentuk Jepang dengan membawa pesan, tetapi tidak menjadi anggota. Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ia bergabung dengan TKR. Pada Mei 1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, ia mengembangkan teori perang teritorial, yang menjadi doktrin pertahanan tentara Indonesia dikemudian hari.
Pada Januari 1948, Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Renville, membagi Jawa antara daerah yang dikuasai Belanda dan Indonesia. Karena wilayah yang diduduki Belanda termasuk Jawa Barat, Nasution dipaksa memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah. Pada 1948 ia naik ke posisi Wakil Panglima TKR. Meskipun berpangkat Kolonel, penunjukan ini membuatnya menjadi orang kuat kedua di TKR, setelah Jenderal Soedirman. Periode 1950-1955 ia dipercayakan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Hingga 1962, ia dipercayakan sebagai Menko Hankam-Kasab.
Dalam kiprahnya Nasution banyak mewarnai dinamika internal ketentaraan Indonesia maupun dinamika politik nasional. Kendati, jasanya besar memberi Jenderal Soeharto (1965-1998) kesempatan naik kekuasaan, Soeharto melihatnya sebagai saingan dan mulai bekerja untuk menyingkirkannya dari kekuasaan. Pada 1969, ia dilarang berbicara di Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad), dan Akademi Militer (Akmil). Pada tahun 1971, ia tiba-tiba diberhentikan dari dinas militer, ketika berusia 53, dua tahun lebih cepat dari usia pensiun yakni 55 tahun. Klimaksnya, pada 1972 ia akhirnya digantikan Idham Chalid sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS).
Hampir sepanjang pemerintahan Soeharto, Nasution memilih menjadi oposan yang terhimpun dalam Petisi 50. Hingga rekonsiliasi pada era 1990-an. Pada Juni 1993, ketika ia berada di rumah sakit karena sakit, ia dikunjungi para petinggi militer. Dia kemudian menerima kunjungan B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek). Habibie lantas mengundangnya, bersama para penandatangan Petisi 50 lainnya, untuk mengunjungi galangan kapal dan pabrik pesawat. Pemerintah juga mulai mengklaim bahwa, meskipun ada larangan perjalanan bagi para penandatangan Petisi 50, namun larangan itu tidak berlaku bagi Nasution.
Dalam perkembangannya, Nasution membantah telah mengkritik pemerintah, ia lebih memilih untuk menyebutnya sebagai “perbedaan pendapat”. Akhirnya, pada bulan Juli 1993, Soeharto mengundangnya ke Istana Presiden untuk bertemu. Hal ini diikuti pula oleh pertemuan lain pada 18 Agustus 1993, setelah perayaan hari kemerdekaan. Tidak ada pembicaraan tentang politik antara Soeharto dengannya, tetapi jelas bahwa mereka berdua berusaha untuk melakukan rekonsiliasi terhadap perbedaan di antara mereka.
Rekonsilasi antara Nasution dan Soeharto, mencapai puncaknya, dengan pemberian pangkat kehormatan Jenderal Besar kepadanya, pada 5 Oktober 1997 bertepatan dengan dirayakannya hari ABRI. Pangkat yang sama, juga diberikan kepada Soeharto dan Soedirman. Dalam perjalanannya Jenderal tanpa pasukan yang jago perang, yang awalnya berprofesi sebagai guru ini pun kembali ke hadirat Sang Pencipta dalam usia 82 tahun, pada 6 September 2000, dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
Maraden Panggaben
Nama lengkap Jenderal Maraden Panggabean adalah Maraden Saur Halomoan Panggabean, ia lahir di Tarutung, Sumatra Utara pada 29 Juni 1922. Ayahnya bernama Marhusa, gelar Patuan Natoras dengan marganya Panggabean dan ibunya bernama Katharina br Panjaitan. Maraden merupakan anak kedua dari sepuluh bersaudara. Pada usia tujuh tahun ia masuk sekolah dasar di Pansurnapitu yang disebut dengan sekolah Zending. Pada 1930 saat ia duduk di kelas dua Sekolah Zending, ayahnya terpilih menjadi Kepala Negeri Pansurnapitu, dan kemudian keluarganya pindah dari Hutatoruan ke Banjarnahor.
Pada 1934, Maraden harus pindah sekolah karena ayahnya berhenti menjadi kepala negeri. Dia lantas masuk ke Schakelschool, yang berada di Simarangkir. Setelah tumbuh dewasa, ia mengawali karier militer ketika Jepang datang ke Indonesia. Dia meninggalkan profesi guru, bahkan sempat menjabat Kepala Schakelschool di Tarutung. Kebanggaan masyarakat Batak waktu itu, dengan masuk sekolah militer. Dia pun terlibat aktif dalam pembentukan TKR (1945-1946). Sebagai mantan guru, dia pun dipercaya menjadi Pelatih Militer di Kotapraja Sibolga (1945) dan Kastaf BN I Res IV Div X Sumatera (1945-1949).
Kemudian menjabat Kastaf Res Brigade Tapanuli, KMD Sektor IV/Sub Terr VII Sum-Ut (1950-1959). Pada masa ini, ia pun mengikuti pendidikan Infantry Officer’s Advance Course USA (1957). Lalu, ia menjabat KMD BN 104 Waringin TT I, Komandan Resor 5 TT II, Kastaf Koanda IT merangkap Hakim Perwira Tinggi Makassar, dan Panglima Mandala II, saat meletusnya G-30-S/PKI (1965). Kemudian, karier politiknya menanjak menjadi Wapangad (1966) dan Panglima AD (1969). Setelah itu, ia pun menjabat Pangkopkamtib (1969), sebuah jabatan yang paling disegani pada masa Orde Baru. Lalu, ia pun mencapai karier militer tertinggi sebagai Menhankam/Pangab (1974-1978).
Maraden juga aktif dalam kegiatan organisasi di Golongan Karya (Golkar) dan pernah menjadi anggota Dewan Pembina (1973), Ketua Dewan Pembina Golkar (1974-1978), dan Wakil Ketua Dewan Pembina/Ketua Presidium Harian Dewan Pembina Golkar (1979-1988). Selain itu, ia juga aktif membina komunitas masyarakat Batak, sebagai Ketua Penasihat Lembaga Permufakatan Adat dan Kebudayaan Batak (LPAKB) dan Pembina Yayasan Bina Bona Pasogit (1989-2000) yang pendiriannya dilatarbelakangi penanggulangan bencana alam gempa di Tarutung.
Jenderal yang awalnya berprofesi sebagai guru, lantas beralih profesi sebagai tentara, dan akhirnya memperoleh bintang empat dipundaknya ini pun pergi kehadirat Sang Pencipta di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, setelah dirawat sekitar satu bulan akibat stroke. Jenazah jenderal bintang empat ini disemayamkan di rumah kediaman Jalan Teuku Umar No. 21 Jakarta Pusat, dan dilangsungkan upacara adat Batak dan upacara gereja. Kemudian diserahkan kepada pemerintah untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer.(tokoh.id, 2004, wikipedia.org, 2019). (*)
Discussion about this post