Oleh : DR. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id,-Ambon-Sebelum jauh mengisahkan tentang prahara politik (political tempest) di Tibet, yang ditandai dengan invasi tentara merah Cina atas Tibet, dan hengkangnya Dalai Lama ke Dharamasala, Utara India. Terlebih dahulu kita mengikuti kisah Agustinus Wibowo melalui travel writing-nya, yang berjudul ; ‘Titik Nol Makna Sebuah Perjalanan’ terbitan tahun 2012, yang sempat juga mengutip kisah Heinrich Harrer (1912-2006) seorang lelaki petualang sekaligus pendaki dari Austria dalam autobiografinya yang berjudul ‘Seven Years in Tibet: My Life Before, During and After’, terbitan tahun 1952 yang pernah hidup bersama Dalai Lama.
Dia mengatakan : “Di Tibet, orang tak perlu diburu-buru dari pagi sampai malam oleh yang disebut ‘peradaban’. Disini, agama menguasai sebagian besar kehidupan individual, seperti dunia Barat di Zaman Pertengahan.” Semua orang berbahagia, mereka terkunci dari dunia luar dan tidak digelayuti masalah-masalah keduniawan. Hidup hanya sembahyang dan sembahyang, spritualitas yang tiada akhir, mantra-mantra suci. Surga di dunia tak salah lagi. Itulah potret Tibet, seperti yang dipaparkan sebagai sebuah surga di dunia (a paradise in the world).
Dalam perjalanannya, sebuah surga di dunia pun hilang, ini terjadi tatkala Tentara Merah Cina (chinese red army) menyerbunya pada 21 Oktober 1950, dan pada musim gugur tahun 1951 berhasil menguasai ibu kota Lhasa, lalu mendongkel Dalai Lama (Tenzin Gyatso) dari kekuasaannya. Dalai Lama lantas menolak kesepakatan kerjasama bertajuk “Rencana Pembebasan Damai Tibet” yang teorinya nampaknya menguntungkan Tibet. Namun praktiknya Cina melakukan penindasan dan pembantaian terhadap kepala suku dan sejumlah pendeta (Lama) yang dianggap membangkang.
Rupanya di Tibet warganya hidup tak lagi hanya sembahyang dan sembahyang, lantaran mereka hidup dalam kungkungan ketakutan kekuasaan Cina. Alasan lain Cina menguasai Tibet adalah “menghapus praktik penindasan bergaya feodalisme (struktur pendelegasian kekuasaan sosio politik yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra)” di Tibet.
Dalai Lama tak menyerah pada Tentara Merah Cina begitu saja, dipimpin oleh Gampo Tashi, Tenzin Gyatso pada 17 Maret 1959 mengungsi ke Dharamasala, Utara India dan mendirikanpemerintah Tibet di pengasingan (exile government). Perjuangannya nyaris sama dengan Yasser Arafat (1929-2004) Pimpinan Palestine Liberation Organisation (PLO), yang tidak menyerah begitu saja kepada Israel, kemudian dia hengakang ke Tunisia di tahun 1982, tatkala sebelumnya bertempur dengan gigih melawan Israel di Lebanon pada tahun 1970.
Sebelumnya, perjalanan Dalai Lama ke India bersama 20 pengikutnya yang termasuk 6 orang menterinya, sangat berat. Karena, rombongan ini kabur ke India dengan berjalan kaki. Dibutuhkan waktu 15 hari untuk sampai ke India. Sebab medan yang harus dilewati sangat berat dan harus melintas gunung Himalaya. Perjalanan itu, banyak dilakukan pada malam hari, untuk mencegah pasukan Cina yang terus berpatroli mencari rombongan ini. Sampai di India, Dalai Lama ditawari suaka oleh India. Usai diberi suaka Dalai Lama tinggal di Dharamasala, Utara India.
Setelah Dalai Lama mencapai India, beberapa waktu kemudian, 80 ribu pengikutnya mengikuti aksi dari sang pemimpin spritual tersebut. Meskipun Pimpinan Tibet, Dalai Lama telah hengkang ke Dharamasala, Utara India, tapi tidak menyurutkan perlawanan rakyat Tibet terhadap Cina, yang tengah menguasai Tibet. Dalam perlawanan itu, banyak korban jiwa khususnya dari pihak Tibet. Namun karena tidak seimbangnya kekuatan persenjataan, dan tidak adanya sorotan internasional, perlawanan Tibet khususnya pada dasawarsa 1970-an berhasil dipadamkan.
Dalam perkembangannya Pemerintah Cina kemudian menunjuk Panchen Lama sebagai pemimpin Tibet, namun tidak mengendorkan perjuangan (not relax the struggle) Dalai Lama di pengasingan India, untuk melepaskan Tibet dari penguasaan Cina. Perjuangannya itu, bukan semata-mata untuk di ganjar Prize Nobel Perdamaian di tahun 1989 saja. Namun mengupayakan Tibet untuk berdaulat seperti sedia kala, saat negara ini mendeklarasikan kemerdekaannya dari Cina pada tahun 1913, jauh hari sebelum Cina menjadi negara berdaulat pada 1 Oktober 1949. (*)
Discussion about this post