Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Malukuid,-Ambon- Bak buah jatuh tidak jauh dari pohonya, dimana tak hanya kakeknya Prabowo Subianto Menteri Pertahanan (Menhan), Raden Mas Margono Djojohadikusumo dikenal sebagai pejuang perintis kemerdekaan dari garis keturunan ayahnya. Namun juga terapat Nadiem Makarim Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), dimana memiliki kekek seorang pejuang perintis kemerdekaan dari garis keturunan ibunya, yang tak lain adalah Hamid Algadri. Namun Hamid Algadri merupakan figur berbeda dengan Syarif Abdul Hamid Alkadrie, yang populer dengan nama Sultan Hamid II, seorang Menteri Negara zonder portofolio di era Republik Indonesia Serikat (RIS) asal Pontianak.
Seperti diketahui ayah Nadiem, Nono Anwar Makarim adalah seorang aktivis dan pengacara terkemuka. Adapun sang ibunda, Atika Algadri adalah seorang penulis lepas. Tak banyak yang tahu kakek Nadiem juga seorang pejuang perintis kemerdekaan Indonesia, Hamid Algadri, yang merupakan keturunan Pasuruan-Arab. Hamid Algadri lahir di Pasuruan, pada 10 Juli 1912. Ayahnya Kapitein der Arabieren (Kepala masyarakat Arab) di Pasuruan, suatu kedudukan dalam tata kolonial, setara dengan Kapitein der Chinezen (Kepala Masyarakat Tionghoa) pada waktu itu.
Hamid Algadri menurut silsilah ayah berasal dari tanah Hadramaut di jazirah Arab dan dari garis keturunan ibu dari Malabar, India. Ia menempuh pendidikan formal sekolah dasar ELS, sekolah menengah MULO dan AMS-A bagian klasik Barat, dan tahun 1936 sebagao mahasiswa Rechts Hoge School (Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Ia merupakan keturunan Arab pertama yang menuntut pelajaran di universitas.
Selagi mahasiswa dia bergabung dengan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang didirikan tahun 1934 oleh AR Baswedan (Menteri Muda Penerangan 1946-47) kakeknya Anies Baswedan. Dengan PAI sebagai wadah, orang Arab ingin menjadi orang Indonesia dan menerima Sumpah Pemuda tahun 1928 yaitu satu Tanah Air, satu bangsa, satu bahasa ialah Indonesia. Kemudian PAI menjelma sebagai parpol dan sebagai Partai Arab Indonesia bersikap Co (koperator atau kerja sama) terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Hamid kemudian bekerja di Sekretariat Perdana Menteri (PM). Ketika itu PM dijabat oleh Sutan Syahrir dari 14 November 1945 hingga 3 Juli 1947. Saat PM Sutan Syahrir mewakili Indonesia dalam Perundingan Linggarjati, Hamid turut serta sebagai penasihat delegasi. Hamid melanjutkan perannya sebagai penasihat delegasi Indonesia saat Perundingan Renville yang dilakukan di atas geladak kapal perang AS, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Saat itu, delegasi Indonesia dipimpin PM Amir Syarifuddin, dan Johannes Leimena sebagai wakil.
Seperti pejuang perintis kemerdekaan lainnya, Hamid pernah mencicipi dinginnya di balik jeruji penjara. Pada masa aksi militer Belanda kedua, ia sempat dijebloskan ke dalam penjara Wirogunan. Setelah bebas, Hamid ikut dalam delegasi Indonesia ke konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 1949. Saat itu Hamid bertindak sebagai penasihat. Hamid juga tercatat sebagai salah satu anggota parlemen pada masa awal berdirinya Negara Republik Indonesia.
Nadiem mewarisi darah pejuang, dimana kakeknya yang tak hanya pandai dalam strategi memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, namun jua seorang ambtenaar (pegawai), yang cakap, politikus yang handal, dimana telah menunjukkan dharma baktinya kepada ibu pertiwi. Semoga kecakapan itu menular kepada cucunya, untuk bisa bekerja optimal dalam memajukan pendidikan dan kebudayaan kita. Akhir kalam meminjam ungkapan Thomas Jefferson Presiden Amerika Serikat ke-3 bahwa, “pokok kebebasan harus diperbaharui dari waktu ke waktu dengan darah pejuang dan tirani”. Diksi pejuang itulah, yang menjadi spririt bagi Nadiem untuk meraih sukses. (Wikipedia.or.id, 2019). (*)
Discussion about this post