Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id,-Ambon-“Ada yang berubah, ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan. Yang pasti kepercayaan harus diperjuangkan.”
***
Demikianlah ungkapan kontemplatif Chairil Anwar, salah seorang penyair terkemuka Indonesia 1922-1949. Diksi zaman dalam quetos penyair yang dijuluki “si binatang jalang” itu, yang kemudian menjadi perspektif untuk melihat zaman dan rezim berbeda. Dahulu ulama di bui tidak menimbulkan reaksi yang mengguncang atmosfir nasional lantaran di protes para pengikutnya, dan para simpatisannya seperti saat ini. Ulama pemikir sekelas Andi Mappetahang Fatwa yang populer dengan sapaan A. M. Fatwa, dimana ia getol mengkritik rezim Orde Lama dan Orde Baru.
Akibatnya sebanyak tiga kali ia masuk bui. Pada tahun 1963 ia mendekam selama enam bulan penjara, dengan tuduhan rezim Orde Lama terlibat dalam insiden di IAIN. Pada 1977 ia mendekam selama sembilan bulan penjara, dengan tuduhan dari rezim Orde Baru melanggar sumpah jabatan dan menghasut masyarakat untuk membenci pemerintah. Sejak tahun 1984 ia menjalani masa tahanan di penjara selama delapan belas tahun, terkait Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok dan ceramah-ceramah politiknya, yang oleh rezim Orde Baru dianggap tindakan subversif. Saat itu banyak yang mengkritik rezim terhadap penahanannya dalam diam, lantaran mereka takut pada rezim.
Sikapnya yang demikian membuat ia di juluki “si kepala granit.” Kritikannya itu bukan dalam rangka membentuk negara Islam seperti lazimnya ulama-ulama setelahnya, yang menimbulkan pro dan kontra. Melainkan kritikannya agar pemerintah kala itu memberikan kebebasan bagi para aktifitas Islam politik baik itu dalam organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan, dan partai politik, agar tidak diarahkan pada asaz tunggal Pancasila, yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru. Meskipun Fatwa keluar masuk penjara, dan sempat dipecat secara tidak hormat dari statusnya sebagai pegawai pemerintah DKI Jakarta di tahun 1979 lalu.
Namun tidak selamanya membuat nasib dari pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat ini, selalu malang dikemudian hari. Pada tahun 1993 ia dibebaskan secara bersyarat dari penjara. Setelah bebas, ia justru diangkat sebagai Staf Khusus Menteri Agama RI pada era Tarmizi Taher dan Quraish Shihab atas izin Presiden Soeharto.Ia pun turut ambil bagian dalam gerakan reformasi yang meruntuhkan kekuasaan Soeharto pada 21 Mei 1998. Pada Pemilu 1999 mengantarkan Fatwa masuk parlemen sebagai anggota DPR-RI dari PAN, ia bahkan sempat menjabat sebagai Wakil Ketua DPR.
Usai Pemilu 2004, Fatwa terpilih sebagai anggota sekaligus Wakil Ketua MPR. Pada Pemilu 2009 ia terpilih menjadi Anggota DPD-RI. Ia maju sebagai calon perorangan dari DKI Jakarta. Fatwa tercatat sebagai tokoh senior DPD hingga akhir hayatnya. Mengakhirinya meminjam ungkapan kontemplatif Jenderal Besar Soeharto, sosok yang selalu di kritik Fatwa bahwa, “kita perlu berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.” Dalam kata dan tindakannya, Fatwa telah menunjukan jati dirinya sebagai pribadi yang berani mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. (Kompas, 2017, Tirto.id, 2018). (*)
Discussion about this post