Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id,-Ambon- Kolonel Robert Freniere adalah seorang pensiunan dari Angkatan Udara Amerika Serikat sejak tahun 2006 lalu, dengam masa pengabdian 30 tahun. Ia memiliki pengalaman tugas pada berbagai medan tempur di Somalia, Panama, Haiti dan Kuwait. Sempat jadi asisten khusus petinggi militer. Namun, pada masa tuanya ia masih harus menghadapi kerasnya hidup. Robert kini hidup menggelandang. Karena tak kunjung mendapat pekerjaan, ia terpaksa tinggal di dalam mobil van-nya, berkeliling kawasan King Of Prussia, Pennsylvania.
Kisahnya ini dipaparkan Elin Yunita Kristanti, dalam feature human interst berjudul ; “Purnawirawan Kolonel AS Kini Jadi `Gelandangan`”, yang dimuat pada website Liputan 6 pada 10 Januari 2014 lalu. Robert saat pension tidak berdiam diri begitu saja. Puluhan lamaran pekerjaan yang ia kirimkan, ditampik. Padahal ia punya referensi bagus dan gelar akademik mentereng. Dimana, ia mendapat gelar master dalam ilmu politik, hukum kriminal, serta studi keamanan nasional dan strateginya.
Memulai karirnya dengan menginvestigasi peredaran narkoba di kalangan tentara, sebelum akhirnya pindah ke Angkatan Udara dan bekerja pada bagian intelijen. Ia mendapat pangkat kolonel pada 2000 dan bertugas di Pentagon. Robert berada di markas pertahanan Amerika Serikat itu saat terjadi serangan teror 11 September 2001. Ia kemudian menjadi asisten Jenderal Stanley McChrystal mantan komandan pasukan Amerika Serikat di Afghanistan, pada tahun 2003 sampai 2005. Saat Robert pensiuan, ia menerima US$ 40 ribu per tahun atau Rp 489 juta.
Jumlah yang sebenarnya lumayan. Namun, ia terlanjur terjerat utang sejak pensiun dari Angkatan Udara Amerika Serikat dan berpisah dari istrinya 9 tahun lalu. Dengan uang pensiunnya itu, Robert harus membiayai dua putranya kuliah. Dan karena berpisah dari istrinya, ia tak bisa pulang. Jadi, ia menjadikan mobilnya sebagai rumah. Segala barang bertumpuk di sana. Baju, peralatan mandi, selimut, apapun.
Ia juga selalu membawa kenang-kenangan berharganya: seragam dinas dengan banyak tanda penghargaan. Terkadang, jika punya uang lebih, Robert akan tinggal di motel, atau pilihan lain, ia menginap di sofa rumah temannya. Setelah ia pensiun di 2006 lalu, ia membanting setir menjadi kontraktor pertahanan, yang membawanya dua kali ke Afghanistan. Dulu, hidupnya lengkap. Punya keluarga, pekerjaan, dan kegiatan lain di luar kemiliteran. Ia menulis skrenario, membuka usaha, dan menikmati belajar bahasa asing.
***
Nasib Kolonel Robert Freniere yang malang itu, dimana pada masa pensiunnya menjadi gelandangan. Berbeda dengan Harland David “Colonel” Sanders, yang populer dengan sapaan Kolonel Sanders, dimana nasibnya lebih beruntung. Kebruntungannya itu, seperti dikisahkan M. Yunus S.B. dalam karyanya berjudul, “Minsed Revolution, Optimalisasi Potensi Otak Tanpa Batas”, terbitan GalangPresstahun 2014 lalu. Mirip dengan Kolonel Robert, Kolonel Sanders adalah pensiunan dari Angkatan Darat Amerika Serikat.
Setelah pensiun pada umur 65 tahun, lalu ia berpikir untuk membuat hidup pada hari tuanya menjadi lebih berarti. Ia berpikir jauh kedepan, bukan sekedar untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Beruntung bahwa ia tidak terpengaruh oleh teman-temannya sesama pensiunan baru, yang mengatakan bahwa umur setua mereka tidak mungkin akan berhasil jika merintis suatu usaha baru. Setelah pensiuan, ia berusaha hidup mandiri sambil menawarkan resep ayam goreng yang sekarang dikenal dengan nama Kentucky Fried Chiken (KFC).
Satu persatu restoran yang ia tawari selalu menolak untuk membeli resep ayam gorengnya. Tidak terasa sudah lebih dari 1000 restoran yang ia masuki selalu menolak. Kemudian, pada restoran yang ke 1010, nasib baik menghampirinya. Pemilik restoran bersedia mencoba menjalankan resepnya, dan di sanalah keajaiban dimulai. Setelah itu, KFC satu per satu membuka cabang dimana-mana. Sampai saat ini KFC tersebar hampir di setiap kota besar di dunia. Tentu KFC tidak akan ada jika ia menyerah pada penolakan yang ke 1009.
Menyudahi kisah insipratif ini, saya teringat figur pada John Greenleaf Whittier, seorang penyair Quaker Amerika Serikat, yang pada zamannya mengadvokasi penghapusan perbudakan di Amerika Serikat, kelahiran Haverhill, Massachusetts, Amerika Serikat pada 17 Desember 1807, lantas ia wafat di Hampton Falls, New Hampshire, Amerika Serikat pada 7 September 1892 lampau. Pada suatu kesempatan, ia pernah mengungkapkan dalam bahasa kontemplatif bahwa, “kita tak pernah harus putus asa, sebab kita takkan pernah rusak tanpa dapat diperbaiki.” Jangan putus asa, mari kita tetap berusaha agar selalu sukses. Good morning, have a good activity. (*)
Discussion about this post