Oleh : M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id-Ambon- Meminjam ungkapan Ubed Abdilah S (2002) dalam karyanya yang berjudul ; “Politik Identitas Etnis, Pergulatan Tanda Tanpa Identitas” bahwa, “kata etnis sendiri menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau kelompok. Seseorang atau kelompok yang menjadi Jawa, Bugis, Sunda, Inggris, Belanda atau Afrika mendapat predikat-predikat itu tanpa disadari pada awalnya. Seseorang tidak bisa menolak menjadi Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa meminta untuk menjadi Jawa, Batak atau Melayu dan sebagainya. Predikat tersebut menjadi sesuatu yang taken for granted sedari awal penciptaan kelahiran.”
Penegasan itu, sama halnya dengan sikap dari figur Mr. Yap Thiam Hien, seorang pengacara Indonesia keturunan Tionghoa Aceh, kelahiran Koeta Radja, Aceh, 25 Mei 1913, lantas wafat di Brusel, Belgia pada 25 April 1989 lalu. Ia mengabdikan seluruh hidupnya, dengan berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM) di tanah air. Sosok advokat yang semasa hidupnya dalam menekuni profesinya dengan profesional, dimana kegigihannya untuk mencari kebenaran, dan bukan mencari kemenangan.
Hal ini terlihat tatkala ia teguh membela Basoeki terdakwa anti Cina, pelaku peledakan bom Kantor BCA di Jalan Gajah Mada dan Pecenongan serta pusat pertokoan Jembatan Metro Glodok, Jakarta Barat, pada 4 Oktober 1984. Padahal jika Yap berpikir sektarian, ia tak akan membela terdakwa yang anti sukunya. Kasus ini dilatarbelakangi ketegangan negara dan kelompok Islam politik di era Pemerintahan Soeharto dulu. Sebelumnya Yap tak mengira kliennya bakal selamat. “Saya kira tadinya hukuman mati”, melainkan Hakim hanya menghukumnya 17 tahun penjara, lebih ringan daripada tuntutan mati yang diajukan jaksa.
Terlepas dari itu, nama Cina melekat hingga akhir hayatnya. Ketika pemerintah memaksa warga Tionghoa mengganti nama, ia menolak. Bagi Yap, dengan nada keras setaip kali ia katakan, tujuan asimilasi tak akan tercapai jika dilakukan dengan paksaan. Identitas tak mungkin disetip. Menghilangkan identitas adalah pelanggaran hak asasi manusia. Jika bangsa ini ingin menghilangkan sekat-sekat perbedaan, “Yang diperlukan adalah pembersihan hati.” Yap tidak saja menunjukan keteguhannya dalam membela para terdakwa lintas suku, agama, dan ras (SARA).
Tapi ia juga menunjukkan keteguhannya tatkala menggunakan nama Toinghoa, sebagai identitas etnisnya. Yap menunjukan gengnsinya tersendiri, yang berbeda dengan The Kian Seng yang kemudian merobah namanya menjadi Bob Hasan, seorang pengusaha yang pernah menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia (Menperindag RI) Ke-25. Konsistensinya itu, mirip dengan Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Republik Indonesia (Menko Ekuin RI) ke-7, yang hingga kini tetap konsisten menggunakan nama Tionghoanya.(Tempo 2016, Tirto, 2017, Wikipedia, 2020). (*)
Discussion about this post