Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemrehati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id ,- Ambon –Merupakan tema “provokatif kontraversial”, yang sudah tentu mengundang debat para khalayak tatkala membacanya, dimana mereka hanya akan menilai dari perspektif negatif, tanpa secara akademis, dan ilmiah mengkajinya secara komprehensif. Sebab memasukan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus, sebagai bagian dari perayaan hari besar keagamaan kita, merupakan sesuatu yang tidak logis. Jika demikian, itu bertarti bukan hanya enam agama saja, yang ada di negara ini yakni ; Islam, Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Melainkan ada agama baru, yang relevan dengan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme, yang terintegrasi dalam perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus.
Bisa jadi publik, akan terjebak membaca judul book review ini secara letterlijk, lantas secara emosional dan subyektif akan mengatakan bahwa, penulisnya telah membawa “agama baru” sekaligus ia telah menjadi “nabi baru/palsu” dari agama baru itu sendiri. Bahkan akan dinilai telah melakukan “penistaan” terhadap agama. Padahal, sebenarnya judul book review ini memiliki akuntabilitas secara akademik dan ilmiah yang relevan dengan karya akademik di dunia kampus, yang telah di bukukan. Sehingga penulis memiliki keberanian, untuk membeberkan ke ruang publik. Jika ada respons para nitizen, maka perlu di repons pula para nitizen secara akademik dan ilmiah. Bukan dalam kerangka untuk “menyerang pribadi” penulis, dengan menyebut penulis adalah “ateis” atau “komunisme”.
***
Basic dasar argumentasi book review ini, merujuk pada karya Ridwan Lubis, “Sosiologi Agama, Memahami Perkembangan Agama Dalam Interaksi Sosial”, terbitan Kencana, 2015 pada halaman 110-115. Dimana Lubis mengatakan bahwa, selain dari lembaga agama yang sudah dikenal, terdapat juga sejenis “agama” yang tidak bergabung dengan agama sawami dan agama ardi, yang disebut dengan agama warga atau agama sipil (civil religion). Rousseau-lah yang pertama-tama mengangkat isu mengenai agama sipil, de la relegion civile.
Waktu itu di Perancis terjadi sekularasi besar-besaran. Hampir semua kalangan terpelajar sangat skeptis bahkan sinis terhadap agama. Muncul pula berbagai kelompok ateis yang secara terang-terangan mengkritik agama, karena agama sering hanya berfungsi menjadi alat penindasan. Berbeda dengan kecenderungan umum ini, Rousseau masih melihat peranan positif agama. Dalam pandangannya, agama masih mempunyai fungsi sebagai perangkat integratif yang bisa menyatukan masyarakat dan negara. Fungsi ini mirip dengan sistem kepercayaan totem dalam masyarakat primitif.
Seperti yang juga diamati Emile Durkheim, Rousseau juga percaya bahwa setiap bangsa memiliki agama dan tuhanya sendiri. Ketika masyarakat primitif di masa lalu melakukan tindakan untuk membela sukunya dalam berbagai perang suku, masing-masing mereka melakukan tindakan itu dalam rangka membela agama dan tuhannya. Ini merupakan total dan eksistensial, karena kekalahan sukunya akan berarti puka sebagai kepunahan agamanya dan kematian tuhannya. Suku yang kalah dalam perang suku harus menganut agama suku yang menang.
Menjelang Revolusi Perancis, di bawah gelombang sekularisasi, semangat untuk membela Tanah Air sebagai tindakan yang heroik berdasarkan keyakinan keagamaan, mulai terkikis. Rousseau menghkawatirkan kecendrungan ini. Karena latar belakang inilah memperkenalkan konsep agama sipil (de la religion civile). Tapi gagasan ini tampaknya tidak pernah benar-benar menarik perhatian publik intelektual Perancis, sehingga tidak mendapat respons yang memadai. Inilah pula alasan mengapa di antara gagasan-gagasan lainnya yang populer seperti du contract social (1762), gagasannya tentang agama sipil tidak dikenal.
Tetapi intinya, Rousseau mengajak orang untuk memikirkan suatu agama yang bisa menyediakan kesetiaan tunggal terhadap negara. Agama sipil ini adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan, hari kemudian, pahala dan dosa, tetapi ia juga merasakan suatu kesucian atau kesyahduan seperti penghormatan terhadap bendera negara. Sebagaimana yang dilukiskan oleh Robert N. Belah terhadap sekelompok orang-orang yang pro-Perang Vietnam dan juga yang anti perang tersebut. Akan tetapi keduanya sama-sama menggunakan bendera dan mars kenegeraan Amerika sebagai dasar simbolnya.
Perayaan Thanksgiving dan Empat Juli dirayakan dengan berdiri menyanyikan lagu mars setra penghormatan yang antusias terhadap bendera kenegaraan. Dengan perkataan lain, agama sipil menawarkan satu sikap baru ketika agama-agama resmi, ternyata menawarkan kesetiaan ganda yang sringkali bersifat dikotomis, saling menegasikan antara negara dan agama; yang mengakibatkan “umat” dan “warga negara” sebagai dua kategori yang berlawanan. Sebagai analogi dari agama warga ini di Indonesia yaitu aliran kepercayaan.
Mereka memiliki antusiasme terhadap simbol negara seperti bendera merah putih, dan juga ikut merayakan peringatan detik-detik kemerdekaan pada setiap tanggal 17 Agustus. Akan tetapi mereka sama sekali tidak mau dikaitkan pada kelembagaan agama tertentu, sekalipun pemimpin kelompok agama-agama di Indonesia ada yang berpandangan bahwa mereka pada dasarnya ialah serpihan dari kelembagaan agama-agama namun mereka merasa lebih betah tidak memasukan diri kepada aliran keagamaan di Indonesia.
Disebut dengan “agama” karena dengan mengikuti alur pikir Durkheim, bahwa kepercayaan mereka juga menghasilkan kohesi sosial sebagai ciri utama agama secara sosiologis. Agama warga menghasilkan dua fungsi tambahan. Pertama, kepercayaan memberikan sumbangan terhadap dukungan dan legitimasi bangsa dan pemerintahan. Kedua, agama warga dapat mempersiapkan masukan moral dan kemanusiaan dalam keberlangsungan perdebatan terhadap berbagai kebijakan pemerintahan berbagai kebijakan pemerintahan sebagai tantangan terhadap kebijakan yang sedang berjalan. (*)
Discussion about this post