Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, SIP, MA
Pemerhati Sosial,Politik&Ekonomi
Referensi Maluku.id , –Des Alwi Abubakar yang biasa di sapa Des Alwi adalah putra Banda Naira, Maluku. Ia adalah sedikit dari tokoh nasional asal Maluku yang memiliki kontribusi bagi eksistensi Republik Indonesia (RI), baik itu di masa pendudukan tentara Jepang hingga masa revolusi fisik tatkala come backnya Pemerintah Hindia Belanda melalui Aksi Polisional I dan II (1947-1948). Ia juga merupakan salah satu toko nasional yang memiliki kontribusi besar bagi berakhirnya konfrontasi Indonesia dan Malaysia di tahun 1965 lampau, disamping andil para tokoh nasional lainnya saat itu.
Pernah di tahun 2007 saya membaca buku biografi Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani, Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab), periode 28 Maret 1983-27 Februari 1988, dengan judul : “Benny: Tragedi Seorang Loyalis”, yang ditulis Julius Pour, terbitan Kata Hasta Pustaka tahun 2007 lalu. Dimana biografi Jenderal Moerdani ini berkisah tentang peran Des Alwi. Lantas pada suatu hari di tahun 2009 lalu tatkala Des Alwi usai menunaikan sholat Jumat di Masjid Alfatah Ambon. Ia nampak tinggi sudah agak bungkuk badannya seiring usianya yang sudah sepuh, dengan mengenakan kain sarung, kopiah dan sajadah ditangannya
Saya mengampiri tokoh Banda Naira itu, yang hendak bergegas keluar di teras masjid terbesar di Maluku itu. Kebetulan saya sudah familiar dengan beliau, karena saat saya masih menjadi wartawan di Harian Ambon Eskpres ditugasi oleh koordinator liputan (korlip) almarhum Hamid Kasim, untuk meliput kegiatan seminar otorita Banda, yang berlangsung di Sekolah Tinggi Prikanan (STP) Hatta-Sjahrir di Banda Naira di sekitar tahun 2004 lalu. Saya pun mengkonfirmasi perannya itu seperti yang dikisahkan dalam biografi Jenderal Moerdani. Saya katakan “Om Des punya peran akhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia bersama Jenderal Moerdani di Bangkok, Thailand.”
Beliau hanya menjawab singkat, “ia Jen waktu itu saya punya peran dalam mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia bersama Jenderal Moerdani, dan yang lain-lainnya”, terangnya. Usai percakapan singkat itu Des Alwi pun memberikan kartu namanya kepada saya, dan lantas ia bergegas naik ke mobil yang telah menjemputnya di depan teras masjid Al-Fatah. Ada kebanggaan tersendiri tatkala saya bisa mengkonfirmasi peran tokoh nasional kelahiran Banda Naira ini secara langsung, yang sesuai dengan fakta yang dikisahkan dalam biografi Pangab ke-8 itu.
***
Kisan tentang peran Des Alwi dalam mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia, permah di paparkan dalam buku berjudul : “Benny Moerdani yang Belum Terungkap, Seri Buku Tokoh Militer”, terbitan Kepustaan Populer Gramedia (KPG) dan Tempo tahun 2015 lalu. Dalam buku ini dikisahkan, Perdana Menteri Tunku Abdurahman, Wakil Perdana Menteri Tun Abdul Razak, dan Kepala Intilejen Malaysia Tan Sri Ghazali Shafie merupakan teman-teman Des Alwi semasa kulah di Raffles College, London Inggris.
Tak aneh kalau Benny kemudian melobi para pejabat Malaysia itu melalui Des Alwi. Pada November 1965, perundingan mulai digelar di Hotel Erawan Bangkok, tempat penginapan Tun Razak. Pertemuan itu menurut Des Alwi di fasilitasi Kepala Staf Angkatan Bersenjata Thailand Marsal Dawee. Seusai perundingan, Tun Razak memuji Benny. Begitu pula seperti di ceritakan dalam buku berjudul : “Rahasia-Rahasia Ali Moertopo, Seri Buku Tokoh Militer”, terbitan Kepustaan Populer Gramedia (KPG) dan Tempo tahun 2016 lalu.
Dimana, dikisahkan persamuhan itu akhirnya berlangsung di Hotel Amaris Bangkok Thailand, Juli 1965. Duduk di kursi, Letnan Kolonel Ali Moertopo mengenalkan lelaki berwajah datar, Leonardus Benjamin Moerdani, kepada Des Alwi. “Ini Benny Moerdani, orang Garuda, orang kita”, kata Ali kepada Des. Seorang lagi yang dikenalkan Ali adalah Ngaeran, perwira operasi khusus yang ikut Ali dari Jakarta. Singkat kata, ali menyampaikan tujuannya memburu Des Alwi hari itu di Bangkok.
Mayor Jenderal Soeharto, Wakil Panglima Komando Mandala Siaga, meminta ikut tim operasi khusus penghentian konfrontasi Indonesia-Malaysia. You disuruh jadi penghubung. Pak Harto bilang you bisa langsung kontak Wakil Perdana Menteri Malaysia, ujar Ali. Lelaki Banda Naira ini bermukim di Malaysia setelah terasing akibat tudingan pemerintah Indonesia saat itu bahwa dia terliabt PRRI/Permesta. Soeharto sudah lama tahu Des Alwi berkarib dengan sejumlah pejabat Malaysia. Setelah pertemuan, sore itu juga Des mengontak tiga sahabatnya itu. Kebetulan pula, sejak awal 1965, Des sudah sering berbicara dengan Abdul Rahman soal upaya penghentian konfrontasi itu.
Des Alwi yang patuh mengikuti instruksi Soaharto kala itu, karena mereka merupakan sahabat lama saat masih di Yogyakarta di tahun 1946-1949 lampau. Hal ini dikisahkan Des Alwi pada buku berjudul : “Pak Harto The Untold Stories”, penulis Mahpudi, et.all, terbitan Gramedia tahun 2012 lalu. Dimana, Des Alwi dan Soeharto pernah sama-sama mencari senjata hingga ke Surabaya. Begitu pula saat Tun Razak sahabat Des Alwi dari Malaysia, yang waktu itu belum menduduki jabatan penting di negaranya berlibur ke Solo. Des Alwi pun mengontak Soeharto yang ketika itu sedang bertugas di Jawa Tengah, agar menemani Tun Razak berwisata di Solo.
Relasi pertemanan Des Alwi, Tun Razak dan Soeharto itu yang kemudian hari memiliki kontribusi dalam memandamkan konfrontasi Indonesia-Malaysia. Peran Des Alwi berdampak baik pada berakhirnya konfrontasi Indonesia Malaysia. Hal ini seperti dikisahkan Jenderal Yoga Soegoma Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), periode Januari 1974-Juni 1989 dalam biografinya, “Jenderal Yoga Loayalis di Balik Layar, yang ditulis Bambang Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, terbitan Kompas tahun 2018 lalu.
Dimana, tatkala misi resmi pertama Indonesia mendarat di Kuala Lumpur pada 27 Mei 1966. Tiga hari kemudian, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik mendarat di Bangkok Thailand untuk mengadakan pembicaraan dengan mitra rundingan dari Malaysia. Tun Abdul Razak, Ketua perunding itu kemudian menandatangani persetujuan damai, disaksikan tokoh dari Thailand yang berperan sebagai perantara perundingan tersebut, Menteri Luar Negeri Thailand Thanat Khoman. Ketegangan hubungan RI-Malaysia akhirnya berakhir.
Pemerintah kedua negara pada tanggal 11 Agustus 1966 menandatangani perjanjian penghentian konfrontasi dalam perundingan mereka yang berlangsung di Jakarta. Sebelum mengakhiri narasi historic ini, saya meminjan ungkapan kontemplatif, yang disampaikan Gerry Adams, Presiden Sinn Féin berkebangsaan Irlandia bahwa, “berdamai, saya sadar, itu lebih sulit dari pada berperang”. Demikan halnya upaya damai yang dilakukan Des Alwi, untuk mengakhiri konfrontasi kedua negara jiran, tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan.
Apalagi sebelum parahara nasional di tahun 1965, yang mengguncang atmosfir perpolitikan nasional, dengan pembasmian Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta simpatisannya, tentu adalah sulit membicarakan damai kedua negara jiran, lantaran Presiden Soekarno sebagai aktor politik konfrontasi itu masih kuat mengenggam jabatannya, yang mampu mensubordinasi rivalnya kekuatan Angkatan Darat (AD) dalam kendalinya, setelah seiring sejalan dengan kelompok kiri dalam menghadapi jiran Malaysia, yang didukung Inggris bersama negara-negara persemakmuran di kawasan Asia-Pasifik.
Seiring perjalanan waktu peran Des Alwi mengakhiri konfrontasi kedua negara jiran pun berbuah sukses. Kondisi ini sejalan dengan semakin meredupnya kekuasaan Presiden Soekarno, dengan hadirnya Mayor Jenderal Seoaharto sebagai pengemban Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), yang tidak saja ia dengan gilang-gemilang melibas PKI bersama simpatisannya, melainkan juga melibas para Soekarnois, yang menjadi lini pertahanan proklamator itu baik di kalangan sipil dan militer saat itu. Kita bangga dengan kontribusi putra Banda Naira, Maluku itu dalam mendamaikan kedua negara jiran dari konfrontasi yang sudah berlangsung sejak 1962 hingga 1966. (*)
Discussion about this post