Dr. M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id, – Tak hanya Yogyakarta dan Jakarta, yang menjadikan karier Mayor Jenderal (Mayjen) Soeharto cemerlang, lantaran ia sukses memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949, dan membasmi para pelaku Gerakan 30 September (Gestapu) 1965, saat ia masih mengemban Komandan Brigade X Divisi III Diponegoro, dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), hingga ia menggapai kursi Presiden. Melainkan Amahai menjadikan kariernya melejit, tatkala ia mengemban Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat sejak 1 Januari 1962, yang diikuti pula dengan kenaikan pangkatnya dari Brigadir Jenderal (Brigjen) menjadi Mayjen, hingga kemudian ia sukses menempati kursi Presiden di ibukota Jakarta.
Hal ini dikarenakan, pengawasan operasional penerbangan untuk menerjunkan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), lewat berbagai operasi militer dalam perebutan Irian Barat, yang strategis banyak di lakukan Mayjen Soeharto di Amahai, yang kala itu wilayah desa ini memiliki Lapangan Udara (Lanud) peninggalan Perang Dunia ke-2, yang namanya sama dengan nama desanya, yakni Lanud Amahai. Pada tahun 1990-an kita masih bisa menyaksikan tanki-tanki aftur yang memanjang di ujung sisi kanan Tanjung Koako, tidak jauh dari landasan pacu Lanud itu, dengan kondisi berkarat dan sudah tidak terurus lagi, dimana hanya menjandi saksi bisu heroisme tentara kita dalam perebutan pulau di ujung timur Kepulauan Indonesia itu.
Jejeran tanki-tanki aftur itu, yang dahulunya digunakan untuk menyuplai aftur ke pesawat milik TNI, yang menyinggahi Lanud Amahai, untuk kepentingan penerjunan pasukan TNI dari Amahai ke beberapa wilayah di Irian Barat. Tidak jauh dari lapangan terbang ini, dikawasan Pulapa berdiri markas operasi Mandala, yang digunakan Mayjen Soeharto sebagai tempat menyusun operasi perebutan Irian Barat, oleh penduduk setempat dinamakan rumah “Joreng”, karena hanya satu-satunya gedung yang dibangun satuan TNI saat itu yang bercat joreng pada bagian depannya. Pada tahun 1990-an masih bisa ditemukan bekas markas itu, yang sempat ditinggali pensiunan TNI. (https://soeharto.co, 1988).
Begitu pula kurang lebih 7 Km dari Amahai, tepatnya di Masohi dulunya terdapat sebuah rumah persinggahan berbentuk huruf L, berada di posisi kanan Lapangan Nusantara Masohi, yang berhadapan dengan Kantor P.T. Pos Indonesia Cabang Masohi di Jalan Imam Bonjol. Rumah persinggahan ini memiliki dua ruangan kecil layaknya cottage, yang memiliki fasilitas kamar, ruang tamu dan toilet, serta disisi kanannya terdapat hall, yang dulunya berderat meja bola billiard. Rumah persinggahan itu namanya “Sabaen Latale”. Kata warga setempat dulunya Mayjen Soeharto sering mendatangi rumah persinggahan ini, untuk bermain bola biliar sekedar refresing, setelah disibukan dengan aktifitas operasi perebutan Irian Barat di Lanud Amahai.
Sekitar tahun 1990-an kita masih bisa menemukan sisah-sisah mejah biliarnya, yang sudah rusak dan terpakir disisi kirin rumah persinggahan itu, yang kadang telah menjadi tempat aktifitas anak-anak disekitarnya, untuk sekedar bermain-main maupun tidur-tiduran diatasnya. Bermain bola biliar ini, sesuai dengan kegemaran Mayjen Soeharto, tatakala kelak menjadi Presiden ia masih menyediakan meja bilard di rumahnya di Jalan Cendana Jakarta. Di tengah kesibukkannya mengurusi negara ia peruntukan waktu bagi keluarga, dimana kadang-kadang mereka main billiard di meja billiard, yang selalu tersedia dekat ruang makan di kediamannya itu. (https://soeharto.co, 1987).
***
Kisah tentang Majyen Soeharto saat pembebasan Irian Barat sejak tahun 1962 di Amahai, lantas menjadikan kariernya melejit hingga menduduki kursi Presiden, terangkum dalam sedikit kisah yang disampaikan orang-orang dekatnya. Hal ini, seperti di kisahkan Wahyudi ajudan Mayjen Soeharto (1963-1967) dalam “Pak Harto The Untold Stories” (2012). “Bandara Amahai, Seram, Maluku, di situlah pertama kali saya melihat Pak Harto. Beliau sangat gagah dalam seragam tempurnya. Ketika itu ia adalah Panglima Mandala, Komando Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makassar. Hari itu sedang dilakukan persiapan pengiriman pasukan dalam Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat). Mereka hendak diterbangkan ke medan pertempuran untuk membebaskan Irian Barat dari cengkraman Belanda.”
“Saya sebagai bagian dari pasukan Zeni Tempur 7 yang menyiapkan segala sesuatunya. Pak Harto menyalami dan berbicara singkat dengan penuh perhatian kepada satu persatu prajurit yang bersiap masuk ke lambung pesawat.” Ujar Wahyudi dalam tulisan pada buku bunga rampai itu. Begitu juga disampaikan Ben Boi dalam autobiografinya “Ben Mboi : Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja” (2011). “Dalam pertemuan di Amahai Jenderal Soeharto menyampaikan briefing sebelum pasukan terbang ke Irian. Isinya lugas, mencekam sekaligus dramatis. Kalian akan diterjunkan di Merauke untuk mengacau pertahanan mariner Belanda di Biak, sasaran Operasi Djajawidjaja.”
“Saya perkirakan 60 persen dari saudara mungkin harus gugur dan maksimal hanya 40 persen akan bisa selamat. Saya berikan waktu satu menit jika ada yang ingin mengundurkan diri, silakan. Sekarang mengundurkan diri bukan penghianat, tetapi sesudah terbang saya anggap penghianat.” Tutur Mayjen Soeharto sebagaimana ditirukan ucapannya oleh Ben Boi, yang saat itu masi berpangkat letnan satu. Penerjunan yang dilakukan Ben Boi ini bagian dari Operasi Naga, yang dipimpin Kapten Leonardus Benyamin Moerdani, yang kelak menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab) periode 28 Maret 1983-27 Februari 1988.
Dimana kala itu Kapten Moerdani ikut di lepas Mayjen Soeharto bersama Letnan Satu Ben Boi, Sersan Mayor Sutarmin, dan Sersan Mayor Amwat beserta sejumlah pasukan lainnya di bandar udara Amahai, saat hendak menaiki pesawat C-130 Hercules. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam “Benny Moerdani Yang Belum Terungkap” (2015). Begitu pula dalam Operasi Banteng I dan Operasi Banteng II, yang dipimpinan Letnan Dua Agus Hernoto serta Letanan Satu Heru Sisnodo, yang lepas landas menggunakan pesawat C-47 Dakota, dengan mengangkut pasukan dari Bandara Amahai, dengan target penerjunan di Fak-Fak dan Kaimana tidak lepas dari pengawasan Mayjen Soeharto selaku Panglima Mandala. (https://nationalgeographic.grid, 2015).
Pada suatu kesempatan, seperti dituturkan kawan saya yang kala itu bapaknya adalah seorang Polisi, yang menjadi staf dekat Mayjen Soeharto saat ia mengemban Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat bahwa, “tidak hanya Mayjen Soeharto disegani oleh Belanda lantaran sukses menduduki Yogjakarta melalui Serangan Umum 1 Maret 1949. Namun juga disegani oleh Amerika Serikat, karena ia dinilai seorang jenderal yang ahli strategi perang.” Jika tidak ada aral melintang, lantaran Belanda bersedia menghentikan tembak-menembak dengan Indonesia pada 15 Agustus 1962, dipastikan Mayjen Soeharto akan sukses menggelar “Operasi Jaya Wijaya”.
Operasi itu, direncanakan TNI targetnya merebut Biak, yang diduduki Belanda, dengan mengerahkan hampir seluruh kekuatan inti TNI. Dari Angkatan Darat (AD), sebanyak 20.000 pasukan dari berbagai divisi diturunkan. Angkatan Laut (AL) menyumbang 126 kapal meliputi : buru torpedo, kapal selam, kapal fregat, buru selam, kapal cepat torpedo, penyapu ranjau, tangker, kapal rumah sakit, termasuk 33 kapal pengangkut, dan tiga batalion dengan kapasitas 10.000 pasukan elite marinir Korps Komando. Sedangkan Angkatan Udara (AU) mempersiapkan pesawat tempur tercanggih yang dibeli dari Uni Soviet antara lain: 38 unit bomber TU-16, 18 unit MIG-17, 6 unit P-51/Mustang, 1 Skuadron Gannet, dan 6 unit Albatros.(https://historia.id, 2020).
Amahai tidak saja menjadi military base bagi Mayjen Soeaharto, untuk melepaskan pasukan TNI, yang akan diterjunkan dari pesawat melalui berbagai operasi ke wilayah Irian Barat, dimana terlebih dahulu para pasukan itu diberikan brifieng olehnya. Melainkan Amahai menjadi starting point penting bagi derap langkahnya, untuk mencapai jabatan penting lainnya yakni, ia diangkat menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada pertengahan tahun 1962, usai ia mengemban Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, hingga prahara tahun 1965. Dimana ia dipercayakan menjadi Panglima Kopkamtib, yang membabat habis para pelaku Gestapu dan kemudian pada 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto pun sukses menduduki kursi penjabat Presiden Republik Indonesia. (*)
Discussion about this post