Referensimaluku.Id.Ambon- Sekalipun Kabupaten Maluku Tengah telah memiliki Peraturan Daerah tentang Negeri yang mengatur juga soal “matarumah parentah”, namun konflik di balik pencalonan, pemilihan dan penetapan calon kepala pemerintahan adat (Raja) terpilih marak berakhir dengan gugatan pembatalan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kini,konflik matarumah parentah kembali memasukan masyarakat Negeri Seith, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, ke dalam konflik kepentingan yang kian memanas dan seakan-akan telah menjadi “bom waktu” yang ikut dipelihara pejabat di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maluku Tengah (Malteng) . Yang kini membahana adalah konflik kepentingan soal “matarumah parentah” dipicu keputusan penjabat Negeri Seith, Rivi Ramly Nukuhehe (RRN) terkait Peraturan Negeri (Perneg) tentang “matarumah parentah” atau keturunan yang berhak menjadi kepala pemerintahan negeri (Raja) yang dinilai tidak adil karena diputuskan secara sepihak dan tidak melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat dengan menghadirkan tokoh-tokoh adat, tokoh agama dan juga masyarakat setempat.
Masyarakat menyayangkan sikap penjabat Kepala Pemerintah Seith yang sepihak dan tidak bijaksana dalam rapat Saniri untuk menetapkan Perneg Seith. “Kami sangat sayangkan sikap penjabat dalam rapat Saniri yang cenderung dilaksankan untuk mengesahkan keputusan soal “matarumah parentah” tanpa melalui pembahasan dan langsung disahkan begitu saja, sehingga aspek demokrasi dan persamaan hak politik masyarakat Seith diabaikan, ” keluh masyarakat setempat sebagaimana dikutip referensimaluku, Sabtu (11/9).
Penetapan tersebut, kata mereka, juga tidak demokratis dan sebaliknya cenderung diskriminatif, karena hanya menetapkan satu matarumah sebagai keturunan raja tanpa didahului kajian akademik secara matang. “Kami mempertanyakan apakah penetapan matarumah parentah tersebut sudah berdasarkan hal apa saja dan dari sisi mana yang menjadi acuan, sebab tidak ada pembuktian ilmiah yang mendasari penetapan tersebut. Faktanya kondisi ini seakan-akan telah membedakan antara keturunan raja dan bukan keturunan raja yang tanpa dasar dan tidak rasional”. “Negeri Seith sendiri sudah melewati proses pemilihan langsung selama ini di mana dalam pembuatan perneg yang mengatur pemilihan raja secara tertulis tercantum Jabatan kepala pemerintahan negeri (Raja) adalah hak dari mata rumah keturunan Nukuhehe (Loholawa) atau keturunan Latu Adam L. H. Nukuhehe.
Artinya, penetapan keputusan tersebut terkesan dipaksakan, dan dilakukan secara sepihak dan tertutup oleh penjabat negeri yang tujuannya melanggengkan kekuasaan. Pasalnya draf mata rumah parentah yang diusulkan dalam rapat Saniri langsung disahkan tanpa melalui musyawarah mufakat dan pembahasan bersama saniri, tokoh adat dan tokoh masyarakat lainnya. Faktanya dari 17 orang Saniri yang hadir hanya 12 orang saniri, padahal keputusan penting tersebut seharusnya mengakomodir semua elemen negeri untuk disepakati secara bersama”.
Menurut warga setempat, seharusnya draf Perneg Seith dibahas terlebih dahulu baru dilakukan penetapan dan pengesahan. “Jadi, harus melalui kajian yang matang dan melalui keputusan bersama. Tapi, ini kan tidak. Ada tindakan sepihak dan tertutup, terkesan dipaksakan, karena dalam draf tersebut Ramly Nukuhehe adalah keturunan langsung dari Latu Adam L. H. Nukuhehe, sehingga ini bentuk keputusan politis untuk kepentingan penjabat.
Poin di dalam draf Perneg tersebut juga secara nyata menghilangkan satu proses sejarah yang sudah dilalui negeri ini, sebab tahun 1954 itu pernah diadakan pemilihan raja secara langsung, dan pada saat itu Amir Hataul terpilih sebagai raja dan pemerintahan negeri, sehingga mulai dari saat itu, sampai raja terakhir dilakukan pemilihan secara langsung”. “Soal poin pernyataan pemilihan raja dilaksanakan secara turun-temurun tidak sesuai dengan kondisi yang ada sebelumnya, sebab jika ingin mengetahui raja dan turunanannya harus melalui musyawarah melalui mata rumah perentah tentang siapa yang berhak menjadi raja. Namun, sayang keputusan tersebut tanpa pembahasan, tanpa menghadirkan tokoh-tokoh yang lain dan langsung ditetapkan dan disahkan begitu saja. Ini cara salah atau langkah tidak benar untuk mengamankan kepentingan yang diakomodir oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Bagi kamu keputusan dan penepatan ini tidak sah sebab tanpa melalui kajian, cacat prosedur. Jadi kami menolak keputusan ini,” tutur anak negeri Seith Fajarrul Hataul. Menurut Hataul yang juga Wasekjen DPP Hetu Upu Ana jika RRN sebelumnya juga pernah mendapat penolakan dari sejumlah pihak terkait pelantikan dirinya selaku penjabat pada 30 Mei 2020 oleh Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal di Baileo Soekarno, Masohi. “Pelantikan itu dinilai cacat prosedural juga karena berdasarkan rapat Saniri negeri tanggal 25 Mei 2020 memutuskan menunjuk Mahyudi Honlissa untuk dilantik sebagai penjabat negeri Seith, sebab berdasarkan hasil voting dari keseluruhan 17 suara saniri, Honlissa memperoleh 10 Suara, Nukuhehe memperoleh enam suara, sedangkan satu suara lagi abstain alias tidak memilih.
Anehnya, ternyata keputusan Saniri itu tidak diakomodir Bupati Maluku Tengah, dan secara diam-diam RRN yang dilantik sebagai penjabat negeri Seith untuk menjalankan roda pemerintahan sementara di negeri, sembari menyiapkan proses pemilihan raja. Namun ternyata setelah menjabat dan peraturan negeri yang disahkan itu lagi-lagi tanpa melalui musyawarah, dan diduga kuat untuk mengamankan kepentingan RRN menjadi raja, padahal hal ini banyak mendapat penolakan, sehingga terjadi polemik di masyarakat”. Hataul khawatir polemik akan membias pada konflik berkepanjangan jika persoalan “matarumah parentah” di Seith tidak dituntaskan Pemkab Malteng. “Jika tidak ada langkah tegas dari Pemkab Malteng untuk menghadirkan solusi maka masalah ini akan berbuntut panjang, karena masyarakat juga sudah merasa jenuh dengan sikap semena-mena yang dilakukan oleh penjabat raja Seith.Masalah ini sendiri juga mengisyaratkan bangkitnya kembali feodalisme baru dalam pemerintahan lokal, sebab bagaimana jadinya bila di satu sisi badan saniri yang berjumlah 17 orang lemah, maka akan terjadi hubungan yang tidak seimbang, yang memungkinkan penjabat selaku kepala pemerintahan negeri berlaku dan bertindak secara sewenang-wenang.
Apalagi terkait produk perneg yang dihasilkan, harus ada keputusan terbaik untuk kebaikan negeri secara bersama-sama. Dari soa inilah baru kemudian membentuk masyarakat negeri Seith menjadi satu etnis, sehingga pemilihan langsung yang dilakukan sebelumnya itu harus menjadi patokan yang sudah diambil para pendahulu dan leluhur kita untuk menghargai entitas perbedaan yang ada di dalam negeri Seith terkait kondisi dan situasi dinamika sosial dari waktu ke waktu. “Kami harapkan saudara Abua Tuasikal selaku Bupati maupun kepala bagian pemerintahan Pemkab Malteng dapat turun tangan secara langsung menghadirkan solusi terkait permasalahan yang ada di Seith dan harus dijelaskan ke masyarakat, sebab proses dominasi dengan campur tangan kekuasaan yang lebih kuat. Masyarakat harus diberi penjelasan dan pemahaman tentang proses yang terjadi dan dijelaskan serta dibuktikan secara baik, sehingga semua orang bisa menerima kondisi yang sebenarnya”.
“Harus ada solusi baru dalam proses pergantian Kepala Pemerintahan (Raja) Negeri Seith yang ada saat ini, sebab sering kali mengalami kendala. Seperti penunjukan Penjabat dalam waktu yang cukup panjang, masalah di badan Saniri Negeri, sampai masalah penetapan matarumah parentah dan lainnya. Kami harapkan bapak Bupati Maluku Tengah dapat mengambil langkah konkret ke arah penyelesaian polemik di masyarakat sekarang. Sebab apabila hal tersebut terus dibiarkan berlarut-larut, akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari lalu merugikan masyarakat Seith sendiri pada akhirnya. Masalah ini sangat krusial dan harus ada jalan keluar, sebab Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah sendiri tidak pernah turun ke masyarakat menjelaskan kebijakan dan pembuatan peraturan daerah dan Perneg yang harus dibuat, sebab saniri dan masyarakat juga bingung terkait perda ini. Keputusan soal perneg yang ada berdasarkan mata rumah parentah itu juga tidak melalui pembuktian ilmiah, sehingga pemerintah daerah dan kabag pemerintahan harus mengidentifikasi masalah yang ada ini lalu hadirkan solusi dan putusukan bersama. Kita ini semua orang basudara, sehingga potensi konflik itu harus kita hindari, jangan Pemkab Malteng bersikap tidak peduli, pemerintah harus bisa jelaskan dan turun langsung menuntaskan masalah ini” terang pemuda Seith, Amir Kakaly.
Kakaly menyatakan perhatian Pemkab Malteng secara serius diharapkan untuk menyelesaikan masalah yang ada di Seith, dan hal ini bisa dilakukan Bupati Abua Tuasikal melalui Kabag Pemerintahan dan Kabag Hukum untuk menggerakan roda pemerintahan. “Sebelumnya juga negeri Seith pernah dipimpin Raja dari marga Mahu dan Raja dari marga Hataul, sehingga keluhan masyarakat hari ini harus bisa dijawab dan diakomodir agar tidak memelihara bom waktu. Pemkab Malteng harus bisa memberikan penjelasan secara utuh kepada masyarakat untuk menyatukan berbagai macam kepala dengan perdebatan yang ada hari ini, sebab masyarakat dan pemuda Negeri Seith hari ini sangat merindukan raja definitif untuk masa depan Negeri ini,” tutup Kakaly . (RM-05)
Discussion about this post