Referensimaluku.Id.Ambon-Ternyata masih saja ada pihak-pihak tidak bertanggung jawab di balik penyaluran bantuan pemerintah. Fakta yang diperoleh pengurus Aliansi Gerakan Peduli Lingkungan (AGPL) mendapati anggaran Gempa di Desa Waimital, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, diduga dikorupsi oknum-oknum tidak bertanggung jawab.
“Sehubungan dengan hasil pertemuan antara suplayer, fasilitator, penerima bantuan gempa bersama dengan kepala BPBD dinilai sangat mengecewakan dan merugikan pihak penerima bantuan. Ada kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dan diikuti dengan fakta justru diabaikan,” ungkap Ketua AGPL Kamarudin Tubaka kepada referensimaluku via ponselnya, Selasa (24/8).
Tubaka menuding Kepala Badan BPBD sangat tidak protektif melihat duduk persoalan publik menyangkut kebutuhan anggaran gempa.
Kejanggalan tersebut, kata Tubaka, antara lain
menyangkut kekurangan dan hak yang dimiliki penerima bantuan yang tidak diproyeksi secara transparan dan tertanggung jawab.
“Kedua, fasilitator dengan tegas mengatakan bahwa antara suplayer dan penerima bantuan itu dikategorikan sebagai modal dan keuntungan, di mana penerima bantuan disebut sebagai pihak pengambil modal dan suplayer disebut sebagai pihak pengambil keuntungan. Hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh kepala BPBD”.
“Ketiga, terkait permintaan rincian anggaran dan transparansi pengelolaan anggaran sesuai asas peruntukkan serta diikuti fakta pemotongan anggaran secara tidak wajar yang dilakukan suplayer ke penerima bantuan juga tidak mampu dijawab oleh kepala BPBD sehingga berimplikasi mosi tidak percaya terhadap Pemerintah Kabupaten SBB dalam hal ini pengawasan dan perlindungan hak publik”.
“Keempat, kepala BPBD justru mengiyakan sisa anggaran yang sudah terlanjur diberikan harus ditarik kembali dan akan diganti dalam bentuk barang. Terkait statement kepala BPBD tersebut justru memperkuat asumsi publik bahwa terdapat makelar dana gempa”
“Kelima, hadirnya penerima bantuan dalam undangan kepala BPBD tersebut diharapkan menjadi ruang informasi dan evaluasi Pemkab SBB terhadap proyeksi anggaran tepat sasaran. Bukan sebaliknya, kepala BPBD justru mengembalikan persoalan tersebut ke Pemdes Waimital dan diselesaikan secara internal desa”.
“Keenam, merujuk pada fakta dan data, maka dipandang perlu menaikan persoalan dimaksud sebagai kejahatan berjamaah (kejahatan kemanusiaan) dan pelanggaran Hak Azasi Manusia”.
“Ketujuh, Pelaksana Harian Bupati SBB segera memanggil kepala BPBD, fasilitator, dan suplayer guna dimintai keterangan lebih lanjut”.
“Kedelapan, dan apabila hak hak masyarakat tidak dikembalikan sebagaimana mestinya maka langkah-langkah prosedural yang sudah dijejaki dianggap tidak lagi relevan. Selanjutnya petisi ke KPK adalah jalan hakiki untuk menemukan kebenaran dan hak rakyat,” tegas Tubaka. (RM-07)
Discussion about this post