Oleh : Dr.M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Staf Dosen Fisipol, Universitas Pattimura
”Kedamaian bukanlah tidak adanya konflik, tetapi kemampuan untuk mengatasi konflik dengan cara damai.” (Ronald Wilson Reagan Presiden Amerika Serikat ke-40)”
REFMAL.ID,- Seiring bergulirnya reformasi pengaturan penyelenggaran pemerintahan daerah diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah (Otoda), yang diberlakukan secara resmi pada tahun 2000. Undang-undang ini menggunakan paradigma pengakuan kewenangan pemerintahan. pertimbanngan utamanya bahwa, daerah otonom sesungguhnya secara konstitusional telah memiliki kewenangan, negara tinggal mengakuinya di dalam undang-undang. Paradigma ini menegaskan seolah kewenangan daerah bukanlah berasal dari pemerintahan pusat, namun sudah ada sejak berdirinya negara. Konsep ini memiliki kemiripan dengan sistem federasi.
Konsep otonomi daerah yang memiliki kemiripan dengan sistem federasi, dikarenakan para tim yang dipercayakan Kementerian Dalam Negeri di tahun 1998, yang terhimpun dalam Tim Penyusun Undang-Undan Bidang Politik (Tim Tujuh), diluar Luthfi Mutty dan Anas Urbanigrum, yakni : Ryas Ryasid, Ramlan Surbakti, Andi Mallarangeng, Afan Gafar, dan Djohermansyah Djohan mayoritas sarjana lulusan universitas ternama di Amerika Serikat. Sehingga sistem federasi, yang mewarnai desain konsep Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, dimana mereka sering disebut dengan sebutan “Mazhab Amerika Serikat.”
Dalam dinamikanya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, hanya bertahan selama lima tahun akibat perubahan dinamis dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Sebagai penggantinya, dibuatlah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Istilah yang digunakan adalah pembagian urusan pemerintah, merubah dari istilah sebelumnya penyerahan kewenangan sebagaimana diatur undang-undang sebelumnya. Kemudian direvisi kembali menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. (Sunarno 2008, Polyando, Wationo 2017).
Pada daerah-daerah otonom baru level kabupaten/kota pasca dimekarkan menjadi daerah otonom di tanah air, seringkali meninggalan permasalahan pelik dengan kabupaten/kota induk. Salah satunya adalah menyangkut dengan tapal batas. Sejak awal proses penetapan tapal batas daerah-daerah otonom baru level kabupaten/kota itu, tidak diselesaikan secara komprhensif. Pihak-pihak yang berkompoten yakni DPRD kabupaten/kota induk dan Pemerinah Daerah kabupaten/kota induk, mestinya sejak awal mampu mendesain tapal batas, yang tidak menimbulkan gesekan di kemudian hari.
Namun faktanya lain, DPRD kabupaten/kota induk dan Pemerinah Daerah kabupaten/kota induk tidak mampu mendesian tapal batas yang permanen, yang tidak menimbulkan gesekan di kemudian hari. Dampaknya konflik antara kabupaten yang baru dimekarkan dengan kabupaten induk berlarut-larut. Relevan dengan kondisi ini, menurut Kartiko (2014) bahwa, secara emperis munculnya sengketa tapal bapas disebabkan oleh faktor yuridis karena ketidakjelasan batas wilayah suatu daerah. Konflik tapal batas tersebut pun berlarut-larut, karena belum ada kepastian hukum dari lembaga yudikatif tentang status tapal batas tersebut secara hukum.
Kondisi ini turut dirasakan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), yang berpolemik tapal batas dengan Kabupaten Maluku Tengah sebagai kabupaten induk, sejak tahun 2003 lalu seiring sejalan dengan dimekarkannya kabupaten, yang terletak di kawasan Pulau Seram bagian barat tersebut. Langkah hukum telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah di Mahkamah Konstitusi (MK), dengan permohonan pengujian Undang-Undang 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Aru di Provinsi Maluku.
Permohonan tersebut di kabulkan oleh MK, dimana dalam Putusan MK Nomor 123 Tahun 2009 menegaskan penetapan batas wilayah Kabupaten Maluku Tengah dan SBB sesuai lampiran Undang-Undang 40 Tahun 2003 berada dibatas wilayah Kecamatan Kairatu, yakni di sungai Waitala. Sementara pada sisi lain terdapat juga Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 29 Tahun 2010 Tentang Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, yang menentukan batas batas antara dua kabupaten tersebut di Sungai Waimala. Hingga saat ini Permendagri tersebut belum disesuaikan dengan Putusan MK Nomor 123 Tahun 2009 yang menentukan batasnya di Sungai Waitala.
Kenyataannya meskipun sudah ada norma hukum yang mengaturnya, namun terdapat norma hukum yang lebih rendah belum disesuaikan sebagai pijakan administratif yang sah, seperti yang dijelaskan tersebut. Ini artinya Putusan MK Nomor 123 Tahun 2009 belum mampu menuntaskan persoalan tapal batas antara Kabupaten SBB dan Kabupaten Maluku Tengah. Meskipun demikian pada 5 Mei 2022 yang lalu Pemerintah Kabupaten SBB dan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah telah mengadakan pertemuan di Kementerian Dalam Negeri, untuk menyelesaikan persoalan tapal batas tersebut, dimana sifatnya hanya koordinatif semata, tanpa melahirkan keputusan penyelesaian sengketa tapal batas diantara dua kabupaten tersebut.
Sengketa tersebut mengorbankan beberapa desa yang ada. Diantaranya yaitu Desa Samasuru, Desa Sahulau dan Desa Paulohi di Kecamatan Elpaputih. Namun dampak dari perebutan batas wilayah tersebut, yang paling mengorbankan masyarakat Samasuru. Desa Samasuru sendiri sampai saat ini tidak terdaftar di Pemerintah Provinsi Maluku, dalam hal ini apakah di Kabupaten Maluku Tengah atau Kabupaten SBB. Hal ini dikarenakan masalah tapal batas antara Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten SBB, yang lokasinya berada di desa tersebut.
Selain itu masalah tapal batas ini juga berdampak pada bidang kepengurusan administrtif seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sampai pada sektor pendidikan. Bahkan sudah lebih 10 tahun dana pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, maupun pemerintah pusat itu tidak pernah sama sekali dirasakan masyarakat di desa-desa yang mengalami dampak tapal batas tersebut. Sudah ditindaklanjuti lewat kaur hukum, kaur pemerintahan untuk segera dua kabupaten tersebut menyelesaikan masalah ini dan tentunya harus melalui menteri dalam negeri. (Referensi Maluku,09/01/2021).
Khusus untuk Kabupaten SBB mengalami kerugian konstitusional, diantaranya 1) mengenai jumlah desa, yang dimiliki oleh Kecamatan Teluk Elpaputi, 2) kerugian konstitusional itu dalam bidang hukum telah memberi ketidakpastian hukum karena di dalam pasal tersebut terdapat dua pemerintahan, 3) di bidang keuangan, telah menimbulkan kerugian secara konstitusional karena masyarakat yang menjadi warga dari Kecamatan Leihitu Barat tercatat sebagai warga kecamatan lain yang berada di SBB Kemudian juga terbit dua KTP.
Hadir pula Unit Pelksana Teknis Dinas (UPTD) pada satu wilayah kecamatan, terdapat dua Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada satu wilayah. Di dalam hal pelayanan, mungkin masyarakat merasa diuntungkan, tetapi ketika membayar pajak masyarakat merasa dirugikan, karena mereka harus membayar mungkin ke Maluku Tengah, mungkin juga harus membayar ke SBB. Kemudian masyarakat mengalami kerugian. Pasalnya sampai saat dengan ini ada desa yang tidak pernah mendapat Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD).(Harian Merah Putih,7/8/2023).
Ditengah persoalan tapal batas antara Kabupaten SBB dan Kabupaten Maluku Tengah tersebut, tentunya memiliki dampak terhadap pendataan administrasi. Hal ini menjadi tugas pelik dari Pemerintah Kabupaten SBB dan Kabupaten Maluku Tengah khususnya pada desa area sengketa, dimana merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah kecamatan. Dalam konteks itu, hanya membutuhkan perubahan Permendagri Nomor 29 Tahun 2010 Tentang Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, yang menentukan batas batas antara dua kabupaten tersebut di sungai Waimala, disesuaikan dengan putusan MK Nomor 123 Tahun 2009 yang menentukan batasnya di sungai Waitala. Sehingga benar-benar persoalan tapal batas yang dipolemikan tersebut selesai.
Jika demikian arahnya menuju penyesuaian norma yang lebih rendah dengan norma yang lebih tinggi, yang mengarah pada prinsip “lex superior derogat legi inferiori”, maka konflik tapal batas Kabupaten SBB dan Kabupaten Maluku Tengah akan selesai. Hal ini berarti kedua Pemerintah Daerah tersebut memasuki fase pasca konflik tapal batas. Pasca konflik tapal batas tersebut, harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten SBB dan Pemeruntah Kabupaten Maluku Tengah dengan mengimplementasikan kebijakan menyangkut administrasi desa pasca konflik tapal batas. Hal ini dikarenakan terdapat penduduk desa yang memiliki identitas yang tidak serupa, ada yang memiliki identitas kependudukan Kabupaten SBB dan ada yang memiliki identitas Kabupaten Maluku Tengah. (*)
Discussion about this post