Oleh : Mahmud Alkatiri (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional)
REFMALID (AMBON) Proses perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) selalu menjadi sorotan utama publik setiap kali terjadi sengketa dalam penyelenggaraan pemilu. Hal ini tidak terlepas dari posisi strategis Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai institusi hukum tertinggi yang memutuskan sengketa hasil pemilu dengan kekuatan hukum tetap.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dalil-dalil yang disampaikan oleh para pihak sering kali dianggap lebih mendekati harapan kepada “Dewi Fortuna” daripada berbasis argumen hukum yang kokoh.
Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan para pemohon, tetapi realitas menunjukkan bahwa beberapa dalil cenderung mengandalkan asumsi dan dugaan yang sulit dibuktikan secara hukum.
Dalam konteks hukum, bukti dan fakta adalah elemen utama. Tanpa keduanya, argumen yang disampaikan akan kehilangan relevansi di hadapan majelis hakim.
Keberadaan MK sebagai penjaga konstitusi menuntut bahwa setiap perkara yang diajukan harus memiliki dasar hukum yang kuat, bukan sekadar retorika. Sayangnya, banyak pihak yang terkesan membawa kasus ke MK lebih karena tekanan politik atau kepentingan tertentu daripada keyakinan atas pelanggaran nyata yang dapat dibuktikan. Hal ini memunculkan kesan bahwa beberapa pemohon hanya berharap keberuntungan atau pertimbangan subjektif dari hakim.
Fenomena ini dapat dimaklumi jika dilihat dari sudut pandang politik. Pemilu adalah kompetisi yang sangat ketat, dimana hasilnya menentukan masa depan negara dan para aktornya. Ketika hasil yang diperoleh tidak sesuai harapan, wajar jika pihak-pihak tertentu berusaha memanfaatkan segala cara untuk membalikkan keadaan, termasuk melalui mekanisme hukum di MK.
Namun, harapan semacam ini sering kali berbenturan dengan prinsip dasar keadilan. MK tidak bertugas untuk memenuhi ekspektasi politik, melainkan menegakkan hukum berdasarkan konstitusi. Jika dalil yang diajukan tidak didukung oleh bukti kuat, MK tidak memiliki dasar untuk mengabulkan permohonan tersebut.
Dalam beberapa kasus PHPU, ada pihak yang menyampaikan dalil berupa tuduhan manipulasi atau kecurangan dalam proses pemilu tanpa disertai bukti yang memadai. Tuduhan ini sering kali bersifat spekulatif dan sulit diverifikasi, sehingga hanya menambah beban persidangan tanpa memberikan kontribusi substantif terhadap penyelesaian sengketa.
Lebih jauh lagi, banyak pihak yang keliru memahami fungsi MK. MK bukanlah arena untuk memperbaiki strategi politik yang gagal, melainkan lembaga yudisial yang berperan menegakkan keadilan konstitusional. Oleh karena itu, setiap perkara yang diajukan harus memenuhi syarat formil dan materiil yang telah diatur dalam undang-undang.
Harapan kepada “Dewi Fortuna” dalam proses PHPU seolah mencerminkan kurangnya kedewasaan politik sebagian pihak. Dalam sistem demokrasi yang sehat, semua aktor politik seharusnya mampu menerima hasil pemilu dengan sikap lapang dada, asalkan prosesnya berjalan sesuai aturan. Ketika ada dugaan pelanggaran, langkah hukum yang diambil haruslah didasari fakta, bukan sekadar emosi.
Kritik terhadap fenomena ini sebenarnya sudah sering disampaikan oleh berbagai pihak, termasuk para ahli hukum dan pengamat politik. Mereka mengingatkan bahwa MK bukanlah tempat untuk “berjudi” atas hasil pemilu, melainkan ruang untuk menegakkan keadilan berdasarkan hukum. Oleh karena itu, setiap dalil yang diajukan haruslah berdasarkan fakta yang jelas dan bukti yang sah.
Disisi lain, MK juga memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga integritas proses persidangan. Hakim-hakim MK dituntut untuk bersikap objektif dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik atau opini publik. Keputusan yang diambil harus mencerminkan keadilan substantif dan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi.
Tantangan terbesar dalam proses PHPU adalah memastikan bahwa setiap pihak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menyampaikan argumen dan bukti mereka. Dalam hal ini, MK harus menjadi lembaga yang transparan dan akuntabel, sehingga putusannya dapat diterima oleh semua pihak, baik yang menang maupun yang kalah.
Sebagai institusi hukum tertinggi dalam sengketa pemilu, MK memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga stabilitas politik dan kepercayaan publik terhadap demokrasi. Oleh karena itu, proses PHPU harus dilihat sebagai bagian dari upaya memperkuat sistem hukum dan demokrasi, bukan sekadar arena untuk mencari keuntungan politik.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengawal proses PHPU. Sikap kritis dan partisipasi aktif masyarakat dapat membantu memastikan bahwa proses ini berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Dengan demikian, hasil yang dicapai tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga legitimasi politik yang kuat.
Namun, fenomena harapan kepada “Dewi Fortuna” tetap menjadi tantangan yang harus diatasi. Untuk itu, pendidikan politik dan hukum harus ditingkatkan, sehingga para aktor politik dan masyarakat dapat memahami pentingnya proses hukum yang berbasis fakta dan bukti.
Dalam konteks ini, peran media juga tidak kalah penting. Media harus mampu memberikan informasi yang akurat dan berimbang, sehingga publik dapat memahami proses PHPU dengan lebih baik. Selain itu, media juga harus menghindari pemberitaan yang bersifat spekulatif atau provokatif, yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap MK.
MK sendiri telah menunjukkan komitmennya untuk menjaga integritas dan profesionalisme dalam menangani setiap perkara PHPU. Namun, tantangan akan terus ada, terutama dari pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan proses ini untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Oleh karena itu, perlu ada sinergi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, partai politik, masyarakat, dan media, untuk memastikan bahwa proses PHPU berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hukum.
Harapan kepada “Dewi Fortuna” dalam proses PHPU sebenarnya mencerminkan ketidakpastian yang dirasakan oleh para pemohon. Namun, ketidakpastian ini seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mengabaikan prinsip-prinsip hukum. Sebaliknya, ketidakpastian ini harus menjadi motivasi untuk mempersiapkan argumen dan bukti yang lebih baik.
Pada akhirnya, proses PHPU di MK adalah bagian dari mekanisme demokrasi yang harus dijaga dengan baik. Semua pihak harus memahami bahwa MK bukanlah tempat untuk mencari keberuntungan, melainkan institusi yang menegakkan keadilan berdasarkan hukum.
Keberhasilan MK dalam menjalankan tugasnya tidak hanya tergantung pada integritas hakim, tetapi juga pada sikap para pihak yang bersengketa. Jika semua pihak dapat menghormati proses hukum dan menerima hasilnya dengan sikap legawa, maka kepercayaan publik terhadap MK dan demokrasi akan semakin kuat.
Dengan demikian, fenomena harapan kepada “Dewi Fortuna” seharusnya dapat diubah menjadi harapan kepada keadilan yang sejati. Hanya dengan cara ini, proses PHPU dapat menjadi sarana untuk memperkuat demokrasi dan hukum di Indonesia. (RM-07)
Discussion about this post