Oleh: Dr.M.J.Latuconsina,S.IP,MA
Staf Dosen Fisipol Universitas Pattimura
REFMAL.ID,- Mengawalinya mengutip penggalan qoutes Louise Joséphine Bourgeois (1911-2010), seorang seniman berkebangsaan Prancis bahwa, ”seni adalah restorasi: idenya adalah untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dalam kehidupan, ..” Diksi kerusakan dari seniman yang dikenal melalui karya patung tersebut relevan dengan kiprah para pelukis Indonesia, dimana melalui karya lukisan mereka mengkritik penguasa. Outputnya penguasa selanjutnya harus memperbaiki kerusakan terhadap demokrasi, yang dilakukan penguasa sebelumnya.
***
Kebanyakan para mahasiswa di tanah air lazim menggunakan mig dan megapone, yang disertai dengan bentangan spanduk maupun pamplet, untuk menyampaikan kritik terhadap penguasa (pemerintah), yang dinilai sewenang-wenang terhadap rakyat. Berbeda dengan para mahasiswa di tanah air tersebut, para pelukis biasanya menggunakan ujung kuas, untuk melakukan kritik terhadap penguasa. Mereka melukis dikanvas profil penguasa atau profil hewan, yang identik dengan perilaku zalim terhadap rakyat, saat masih berkuasa.
Bukan baru sekarang para pelukis kita ditanah air menggunakan lukisan. untuk mengkritik penguasa. Namun sedari dulu sudah mereka lakukan. Dalam konteks para seniman melakukan kritik terhadap penguasa, kita lantas bertanya apakah para seniman tidak netral lagi ?. Hal ini dikarenakan anggapan sebagian besar kalangan bahwa, seniman itu harus netral dimana menghasilkan karya seni, yang menyenangkan untuk kemanusiaan, dan bukan untuk kepentingan politik dari kekuatan politik mana pun.
Akan tetapi para senimana khususnya para pelukis, yang juga memiliki posisi sebagai rakyat tidak akan tinggal diam begitu saja, tatkala penguasa yang memerintah dengan tindakan ororitarian, yang berdampak negatif pada rakyatnya. Dalam kondisi yang demikian, para seniman tentu tidak akan bersikap apatis, dimana mereka akan menghasilkan karya seni, yang bertolak belakang dengan karakter penguasa tiran di negaranya tersebut.
Kondisi penguasa di negaranya yang tidak baik-baik saja dalam memerintah, akan banyak diekspresikan melalui karya lukisan mereka. Di tanah air, kita bisa melihat para pelukis membuat lukisan, sebagai ekspresi dari penguasa yang menjalankan pemerintahan, dengan tidakan-tindakan otoritarian, yang secara holistik menyentuh berbagai bidang kehidupan rakyat. Sikap para pelukis yang demikian merupakan bentuk akuntabilitas sosial mereka, yang berkarya untuk kemanusiaan.
Seniman di tanah air, yang membuat lukisan sebagai ekspresi mengkritik penguasa adalah Djoko Pekik. Lukisannya berjudul : Berburu Celeng dibuat pada tahun 1988, seiring dengan prahara jatuhnya Presiden Soeharto penguasa rezim Orde Baru. Lukisan itu menggambarkan rakyat yang bersorak-sorak ria. Menurut pelukisnya, ”mereka merayakan keberhasilannya karena berhasil menangkap celeng. Keramaian khalayak menggotong celeng gemuk. Kegemilangan penangkapan celeng itu dirayakan dengan sejumlah orang yang menari dan merias wajahnya.”
Di dalam lukisan itu juga digambarkan latar belakang jembatan yang kala itu sebagai simbol kritik terhadap Presiden Soeharto atau disebut Bapak Pembangunan. Dikatakannya, ”Celeng itu serahkanya membabib-buta, perusak, kalau jalan enggak lurus dan sesuka hatinya mentang-mentang dia raja.” Sebagai pelukis merupakan hak Djoko Pekik melakukan kritik terhadap penguasa Orde Baru. Pasalnya ia merasakan tindakan otoritarian penguasa Orde Baru terhadapnya, maupun terhadap kebanyakan rakyat, yang dianggap oposan terhadap penguasa Orde Baru kala itu. (Radar Jogya, Historia,2023).
***
Ternyata tidak hanya pelukis dengan gaya realis ekspresif, yang pernah digiring rezim Orde Baru ke tahanan lantaran terlibat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) ini saja, yang melakukan kritik terhadap penguasa melalui lukisan. Tapi juga salah satu pelukis di tanah air, yang tengah mengunjang atmosfir perpolitikan nasional dalam sepekan ini. Figur pelukis dimaksud, tidak lain adalah Yos Suprapto yang dikenal dengan gaya realisme simbolis.
Awalnya Yos Suprapto menggelar pameran tunggal berjudul “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” di Galeri Nasional, namun terpaksa ditunda menjelang pembukaan. Sejumlah tamu undangan yang hadir pada 19 Desember 2024 kecewa karena ruang pameran tiba-tiba terkunci tanpa pemberitahuan sebelumnya. Penyebab dari penundaan ini, karena terjadi ketegangan antara Yos Suprapto dan kurator pameran Suwarno Wisetrotomo. Pasalnya terdapat beberapa lukisan yang dinilai tidak sesuai dengan tema.
Konflik itu berujung pada pengunduran diri kurator karena perbedaan pandangan yang tidak dapat diselesaikan. Bahkan 5 lukisan dari 30 lukisan Yos Suprapto gagal dipamerkan di Galeri Nasional. Padahal ia mengatakan, lukisan tersebut tidak pernah bermasalah selama proses kuratorial hingga momen menjelang pembukaan. Pada 5 lukisan dari 30 lukisan Yos Suprapto, yang gagal dipamerkan tersebut, terdapat 2 lukisan yang wajahnya mirip Presiden RI ke-7 Jokowidodo (Jokowi)
Pertama, potret seorang raja Jawa yang duduk di singgasana, dipersoalkan karena isinya terlalu berani. Raja itu terlihat menginjak rakyat sembari sosok lainnya membawa senjata api, mencerminkan simbol kekuasaan yang represif. Tema ini diyakini sebagai kritik tajam terhadap praktik pemerintahan yang otoriter. Kedua, menggambarkan seorang petani yang menuntun seekor sapi merah menuju istana, namun gerak-gerik petani tampak tertutup bayangan. Sapi merah tersebut menjadi elemen simbolis yang dapat dimaknai secara mendalam baik dalam konteks ekonomi maupun politik.(Gelora, Suara,2023).
***
Terlepas dari itu, para pelukis dalam menjalankan aktifitas mereka bukan mengabdi untuk penguasa. Tapi mereka mengabdi untuk rakyat, dengan menyuarakan keprihatinannya atas tindakan para penguasa yang otoritarian selama menjalankan pemerintahan. Cara ini memiliki tujuan baik, untuk mengingatkan penguasa pada pemerintahan berikutnya, agar lebih demokratis dengan menjamin adanya kedaulatan rakyat (popular sovereignty), bukan sebaliknya (ruler’s sovereignty), yang sesuai dengan prinsip negara hukum (rechtsstaat), dan menjauh dari model negara kekuasaan (machtstaat). (*)
Discussion about this post