Dr. M.J. Latuconsina, SIP, MA
Staf Dosen Fisipol Universitas Pattimura
REFMAL.ID,-Ouagadougou suatu kata unik, dimana kalau kita membaca dan mendengarnya terasa aneh, dan membuat kita bertanya-tanya apakah kata itu merupakan nama orang, pulau, gurun, danau, laut, tanjung atau nama selat. Tentu jawabannya tidak, untuk menemukan jawabannya, kita sedikit berkontemplasi sambil meminjam kata William Shakespeare (1564-1616), salah seorang sastrawan terbesar Inggris yang populer melalui karya Romeo and Juliet, yang mengatakan “What’s in a name ?
Ternyata jawabannya mudah sekali, karena kata Ouagadougou sama penggunaanya dengan kata Paramaribo (Suriname), Asmara (Eritrea), Lima (Peru), Ljubljana (Slovenia), Nouakchott (Mauritania), Melekeok (Palau), Mbabane (Swaziland), Funavuti (Tuvalu), Thimphu (Bhutan), Gabourone (Botswana), Bujumbura (Burundi), Ndjamena (Chad), Banyul (Gambia), Tegucigalpa (Honduras), Reykyavik (Islandia), dan Yaonde (Kamerun), yang rata-rata merupakan nama ibu kota negara, yang unik pula.
Ouagadougou adalah ibu kota negara Burkina Faso, suatu negara di Afrika Barat yang terkurung daratan (landlocked). Negara ini berbatasan dengan Mali di sebelah utara ; Togo dan Ghana di selatan; Niger di timur, Benin di tenggara; dan Pantai Gading di barat daya. Dahulu kala Burkina Faso bernama Volta Hulu. Dalam dialek Moore nama kota ini ditulis dengan “Wogodogo”, yang artinya “Selamat datang Anda di sini di rumah kita”. Nama kota ini sering disingkat menjadi Ouaga, sedangkan penduduknya disebut ouagalais.
Jumlah penduduk Ouagadougou, dari sensus yang diadakan tahun 2005 lalu mencapai 1.030.000 jiwa. Ouagadougou terletak di tengah dataran tinggi (12,4 ° LU 1,5 ° W), yang tumbuh dan berkembang di sekitar istana kekaisaran dari Naaba Mogho sejak dahulu kala. Bahkan Ouagadougou sudah sejak lama menjadi pusat administrasi pada pemerintahan kolonial Perancis, hingga menjadi pusat kota penting di era pasca-kolonial Perancis.
Ouagadougou dipimpin oleh seorang wali kota, yang dipilih untuk masa jabatan lima tahun, dua dewan senior, dan 90 anggota dewan. Kota ini dibagi menjadi lima arondisemen, yang terdiri dari 30 sektor, yang dibagi lagi menjadi distrik. Distrik Ouagadougou mencakup Gounghin, Kamsaoghin, Koulouba, Moemmin, Niogsin, Paspanga, Peuloghin, Bilbalogho, dan Tiendpalogo. Tujuh belas desa yang berada pada daerah metropolitan Ouagadougou, luasnya mencapai 219,3 km².
Dari sensus yang diadakan pada tahun 2006 lalu, dapat diketahui populasi pada berbagai distrik itu diperkirakan mencapai 1.475.000 jiwa, 48% di antaranya adalah pria dan wanita 52%. Penduduk pedesaan adalah sekitar 5% dan penduduk kota sekitar 95% dari total, dan kepadatan adalah 6.727 jiwa per kilometer persegi.
Dalam bidang pendidikan Ouagadougou berkembang cukup baik, dimana tingkat buta huruf rendah. Begitu pula bidang ini disupport oleh tiga universitas di kota ini ; University of Ouagadougou, Lycée Saint-Exupéry de Ouagadougou, dan International School of Ouagadougou. Bahasa resmi di kota ini adalah bahasa Perancis dan bahasa lokal lainnya ; Moore, Gourma, Fulfulde, Dioula, dan Tamasheq. Untuk mengakomodasi bahasa lokal itu, sejak tahun 1994 lalu program bilingual diadakan sekolah. Sehingga warga Ouagadougou, bisa menggunakan bahas Perancis dan bahasa lokal itu pula.
Dibalik nama unik Ibu Kota Burkina Faso itu, Ouagadougou pernah menjadi saksi bisu rivalitas politik yang berujung kudeta militer (military coup) berulang kali. Hal ini terjadi tatkala Kapten Blaise Compaoré (1987-2014) pada tahun 1983 melakukan kudeta terhadap pemerintahan Jean-Baptiste Ouedraogo (1982-1983), lantas Kapten Thomas Isidore Noël Sankara (1984-1987) didapuk menjadi Presiden. Dibawah kepemimpinan Sankara, Compaore adalah wakilnya dan merupakan anggota Dewan Revolusi Nasional. Ia menjabat sebagai Menteri Negara Kepresidenan dan kemudian sebagai Menteri Negara Kehakiman.
Bulan madu antara Sankara dan Compaoré tidak berlangsung lama, pada Oktober 1987 Compaoré kembali memimpin kudeta militer dan membunuh Sankara karib politik dekatnya, kemudian ia naik menjadi Presiden lantas memperkenalkan kebijakan “perbaikan”, yang menjungkirbalikkan kebijakan Marxis yang sebelumnya digagas oleh Sankara. Ia cukup lama di pemerintahan karena memenangkan pemilu pada tahun 1991, 1998, 2005, dan 2010.
Sejarah kembali berulang, Compaoré rupanya menerima karma politik, lantaran tetap ingin memerintah meskipun sudah 27 tahun menjadi Presiden. Akibatnya pada tahun 2014 prahara politik pun terjadi, yang menaikan suhu politik di negara Afrika Barat itu, rakyat Burkina Faso memprotes kepemimpinan Compaoré. Protes itu berakhir dengan kerusuhan masal, yang akhirnya mampu menekan Compaoré untuk turun tahtah pada 31 Oktober 2014, lantas pimpinan sementara Burkina Faso diambil alih oleh Panglima Angkatan Darat Jenderal Honore Traore (2014-2015).
Tidak lama berselang Burkina Faso dipimpin oleh Yacouba Isaac Zida (09/2015-12/2015) seorang perwira militer, ia sempat menjabat sebagai kepala negara sementara Burkina Faso pada November 2014. Ia berkuasa pasca terjadinya huru-hara politik yang melibatkan rakyat, yang menentang rezim berkuasa di Burkina Faso pada tahun 2014. Beberapa minggu kemudian, seorang warga sipil, Michel Kafando (2014-2015) dipilih untuk menggantikan Zida sebagai kepala negara transisi. Kafando kemudian mengangkat Zida sebagai Perdana Menteri sementara pada 19 November 2014.
Rupanya kudeta tidak berhenti seiring dengan berakhirnya masa jabatan Compaoré sebagai Presiden. Namun kudeta juga dilakukan oleh pasukan pengamanan Presiden yang setia pada Jenderal Gilbert Diandere (2010-2014) mantan Kepala Intelejen pendukung bekas orang kuat (strong man) Burkina Faso, Compaore pada September 2015 terhadap Presiden sementara Kafando, dan Perdana Menteri sementara Zida, dimana kedua pimpinan ini sempat diculik, dengan korban 10 orang tewas dan lebih dari 100 orang terluka saat bentrokan masa ketika kudeta berlangsung.
Dalam perkembangannya, lantaran kudeta yang dilakukan Jenderal Diandere tidak mendapat dukungan rakyat. Ia pun mendapat ultimatum dari tentara reguler untuk mundur atau digulingkan secara paksa, maka pasukan pengawal Presiden yang mensupportnya kemudian menarik diri dari Ouagadougou. Tindakan itu diikuti pula dengan pemulihan jabatan Kafando sebagai Presiden sementara, dan Zida sebagai Perdana Menteri sementara. Pasca kudeta militer yang gagal itu, Jenderal Diendere harus mengalami nasib buruk. Pasalnya, ia didakwa melakukan upaya penggulingan pemerintah Burkina Faso.(Voaindonesia, 2014, Wikipedia, Semesta Fakta, 2019). (*)
Discussion about this post