Referensimaluku.id.Ambon — Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) dan Kejaksaan Tinggi Maluku yang dikoordinir Achmad Attamimi, S.H.,M.H.,meminta majelis hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara enam terdakwa kasus dugaan korupsi Dana Perjalanan Dinas di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten KKT, untuk menolak Nota Keberatan (eksepsi) Tim Penasihat Hukum (PH) para terdakwa yang dikomandani Anthony Hatane, S.H.,M.H.
Hal ini disampaikan JPU pada lanjutan persidangan perkara tersebut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Ambon. Persidangan yang digelar pada Kamis (1/11/2023) menggagendakan tanggapan JPU atas eksepsi Tim PH para terdakwa. Persidangan itu dipimpin ketua majelis hakim, Harris Tewa didampingi dua hakim anggota lainnya.
” Terhadap nota keberatan kuasa hukum para terdakwa yang pada pokoknya meminta hakim menolak dakwaan JPU, perlu tim penuntut umum membantah hal tersebut serta meminta majelis hakim agar menolak eksepsi kuasa hukum terdakwa tersebut,” tegas Atamimi.
JPU, kata Attamimi, tetap berpendirian jika majelis hakim harus menerima surat dakwaan jaksa penuntut umum atas keenam terdakwa, serta meminta hakim agar menolak seluruh keberatan kuasa hukum enam terdakwa.
“Kami juga meminta agar kasus ini dilanjutkan pembuktian di persidangan sesuai Hukum Acara Pidana yang berlaku,” tandas Attamimi.
Usai mendengarkan tanggapan JPU atas Nota Keberata Tim PH keenam terdakwa, hakim menunda sidang hingga Kamis (9/11/2023) pekan depan untuk mendengarkan putusan sela majelis hakim.
Sebagaimana diketahui enam terdakwa yang mengajukan eksepsi atas dakwaan JPU Kejari KKT, di antaranya Yonas Batlayeri selaku Kepala BPKAD tahun 2020, Maria Gorety Batlayeri (Sekretaris BPKAD tahun 2020), Yoan Oratmangun (Kepala Bidang/Kabid Perbendaharaan BPKAD Tahun 2020), Liberata Malirmasele (Kabid Akuntansi dan Pelaporan BPKAD tahun 2020), Letharius Erwin Layan ( Kabid Aset BPKAD tahun 2020) dan Kristina Sermatang selaku Bendahara BPKAD tahun 2020.
Sebelumnya para terdakwa melalui kuasa hukumnya, Anthoni Hatane,Cs, dalam persidangan mengungkapkan, alasan kuasa hukum dari enam terdakwa mengajukan eksepsi atas dakwaan JPU karena bentuk Surat dakwaan subsidaritas, dan terlihat jelas surat dakwaan yang disusun JPU tidak bersandar pada fakta formil dan materil. Selain itu, terang Hatane, surat dakwaan yang disusun jaksa penuntut umum kabur (obscuur libel).
Menurut Hatane, surat dakwaan JPU tidak sesuai ketentuan Pasal 143 ayat (2) dan ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena tidak berisi uraian-uraian yang cermat, jelas dan lengkap yaitu mengenai Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang harus ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI).
Akan tetapi yang terjadi dalam perkara ini, ulas Hatane, JPU dalam menetapkan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perjalanan Dinas pada BPKAD KKT menggunakan metode Audit Agreed Upon Procedures (AUP) yaitu prosedur yang disepakati antara Inspektorat Daerah Kabupaten KKT dengan penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) KKT.
“Dalam hal ini penyidik tidak menggunakan metode Audit Investigasi untuk menghitung kerugian keuangan negara, tetapi hanya menggunakan dokumen yang diberikan penyidik Kejari KKT dan hasil perhitungan oleh Inspektorat Daerah dan tidak pernah disampaikan kepada BPK RI untuk menentukan/memutuskan adanya kerugian Keuangan Negara dalam dugaan Tipikor dalam perkara ini.
Dengan demikian, ulas Hatane, Surat Dakwaan JPU harus dinyatakan batal demi hukum, karena tidak sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1289 K/Pid/1984, tanggal 26 Juni 1987 juncto (jo) Nomor 2436 K/Pid/1988, tanggal 30 Mei 1990 jo. Nomor 350 K/Pid/1990, tanggal 30 September 1993 jo. Nomor 1301 K/Pid/1985, tanggal 30 Maret 1989 jo. Nomor 779 K/Pid/1985 tanggal 22 Agustus 1990 jo. Nomor 982 K/Pid/1988 tanggal 19 September 1993 jo. Nomor 1303 K/Pid/1986 tanggal 30 Maret 1989.
Pengacara senior di Maluku itu berujar, akibat Inspektorat KKT tidak menggunakan metode Audit Investigasi untuk menghitung kerugian keuangan Negara, tetapi menggunakan Audit Agreed Upon Procedures (AUP) yaitu prosedur yang disepakati antara Inspektorat dengan penyidik berakibat jumlah kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp.6,6 miliar lebih, sehingga terjadi kesalahan perhitungan, sebab dana perjalanan dinas yang diduga digunakan oleh salah satu terdakwa yang sudah meninggal dunia sebesar Rp.1.816.576.600.-, (satu milyar delapan ratus enam belas juta lima ratus tujuh puluh enam juta enam ratus rupiah), tidak dikeluarkan dari total kerugian negara yang dikeluarkan Inspektorat KKT.
Padahal seharusnya nilai ini dihitung sebagai pengurangan kerugian keuangan negara oleh Inspektorat KKT.
Faktanya lagi, lanjut Hatane, uang sebesar Rp. 1 miliar lebih, aset tanah, satu unit kursi sofa, satu unit sepeda motor, dan aset-aset lainnya sudah disita jaksa.
“Tidak hanya itu, surat dakwaan juga tidak dijelaskan tentang bukti-bukti Surat Perjalanan Dinas Dalam Daerah yang telah dilaksanakan para Terdakwa yang dibuktikan dengan adanya tandatangan pada SPPD oleh Pejabat yang berwenang yaitu Camat, Kepala Desa saat Para terdakwa melakukan perjalanan Dinas di dalam Daerah di Kecamatan- Kecamatan pada kabupaten Kepulauan Tanimbar.
Dengan demikian, maka Surat Dakwaan yang disusun oleh JPU adalah tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap, sehingga menyebabkan Surat Dakwaan JPU tersebut adalah kabur (obscuur libel). Untuk itu Surat Dakwaan harus dinyatakan batal dan Surat Dakwaan JPU harus dinyatakan tidak dapat diterma oleh Majelis Hakim Tipikor pada PN Ambon yang memeriksa dan mengadili perkara keenam terdakwa,” tandas Hatane. (RM-04)
Discussion about this post