Oleh : DR. M.J. Latuconsina, S.IP,MA
Dosen Fisip Unpatti
Referensimaluku.id,-Kita yang pernah kuliah di tahun 1990-an tentu tidak asing lagi dengan nama Anas Urbaningrum (AU). Ia dikenal dengan sapaan Cak Anas pada zamannya. Kata cak didepan namanya tersebut merupakan suatu sapaan khas bagi kakak laki-laki atau mereka yang dihormati oleh warga masyarakat di Kota Surabaya, Jawa Timur dan sekitarnya.
Anas adalah tokoh muda yang popular kalah itu. Popularitasnya saat itu lantaran ia adalah aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang juga memimpin organisasi mahasiswa Islam terbesar itu dengan menjadi Ketua Pengurus Besar (PB) HMI periode 1997-1999 melalui Kongres HMI ke-21 di gudeg Yogyakarta.
Dari Ketua PB HMI Cak Anas kemudian menjadi tim perumus undang-undang politik di tahun 1998, Pimpinan KPU RI (2000-2007), anggota DPR RI (2009-2014), Ketua DPP Partai Demokrat (2010-2013) dan kemudian menjadi Ketua PPI sejak 2013, dan terakhir ia didapuk untuk mengemban jabatan sebagai Ketua DPP Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) sejak 15 Juli 2023 lalu.
Terlepas dari itu, pertama kali membaca pemikiran politik Bang Anas Urbaningrum, tatkala saya hijrah ke kota Anging Mamiri Makassar di tahun 1999 lalu, akibat konflik kemanusian yang melanda Kota Ambon. Di Kota terbesar di kawasan timur Indonesia itu, saya lantas melanjutkan kuliah di kampus merah Universitas Hasanuddin (Unhas).
Pemikiran politik Bang AU dalam bentuk buku, dengan judul : ”Ranjau-ranjau reformasi : Potret Konflik Politik Pasca Kejatuhan Soeharto, terbitan Raja Grafindo”, Persada , 1999. Saya masih ingat cover buku karangan Bang AU itu berwarna hitam putih, dengan tulisan judul buku warna merah dan putih, dengan latar belakang foto sekelompok pasukan ABRI diselengi gambar kawat berduri berwarnah merah.
Bagi saya saat itu, buka Cak Anas adalah sebuah buku terbaik yang saya beli. Sering saya baca bukunya dikala sengang jika tak ada jadwal kuliah di kos yang saya tempati. Buku itu saya taruh disamping kasur tempat tidur, agar saat hendak membacanya mengambilnya dengan muda, tanpa perlu lagi bersusah payah beranjak dari kasur untuk mengambilnya.
Dari sejumlah buku milik saya yang dibeli ketika itu, nampaknya buku Cak Anas yang lebih bagus. Ada kawanse kos yang meminjam buku itu. Saat dipinjam saya tak berada di kos, dipinjam dari adik saya yang sama-sama sekamar kos dengan saya. Kawan se kos yang pinjam buku untuk dibaca tersebut rupanya tak mengembalikannya lagi. Padal kontennya menarik, yang mengulas tentang politik Indonesia pasca pemerintahan Presiden Soeharto.
Masih teringat disentil dalam buku karya Bang AU ini menyangkut dengan diksi Homo Sovieticus, yang diperkenalkan Edmund Mokrzycki. Mokrzycki mengulas kepribadian dan perilaku orang-orang Polandia, pasca-runtuhnya pemerintahan otoriter dan bubarnya negara Uni Soviet. Namun, faham komunisme masih melekat dalam pikiran masyarakatnya.
Dalam karya mantan Ketua PB HMI ini pula, untuk pertama kalinya saya mengenal diksi Homo Orbaicus. Suatu istilah yang diperkenalkan Jalaluddin Rakhmat akademisi dari Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, dimana menurut Kang Jalal bahwa, Homo Orbaicus merupakan Homo sovieticus, yang mewabah Indonesia pasca-Orba, dalam bentuk Homo Orbaicus 1999.
Menurut Kang Jalal adalah munculnya character assasination (pembunuhan karakter) di kalangan para pejabat. Selanjutnya, rekayasa kerusuhan dan pembunuhan, penyampaian pernyataan resmi pejabat berbeda secara publik dan privat, dan perilaku ganda lainnya. (*)
Discussion about this post