Oleh : Dr. M. J. Latuconsina, SIP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id,-Ambon– Hutan (forest) merupakan berbagai jenis pepohonan yang tumbuh rapat, bersama tumbuhan lain, dan melingkupi tanah yang luas. Hutan juga merupakan sebuah ekosistem, sebuah komunitas tumbuhan dan binatang, yang saling berinteraksi satu sama lain, dan yang saling berinteraksi dengan lingkungan fisiknya. Hutan juga merupakan suatu ekosistem, yang sangat penting di bumi, dan mempengaruhi proses alam yang berlangsung di bumi. Oleh karena itu, hutan memiliki peran strategis dan vital bagi keberlangsungan kehidupan di bumi.
Hal ini dikarenakan hutan merupakan gudang penyimpan air, pengatur iklim, melalui kumpulan pohon-pohonnya dapat memproduksi oksigen (O2) yang diperlukan bagi kehidupan manusia, dan dapat pula menjadi penyerap carbondioksida (CO2), sebagai area yang memproduksi embrio-embrio flora dan fauna. Hutan juga memiliki manfaat bagi perekonomian, dimana produk kosmetik, obat-obatan, bahan pewarna bahan bakunya berasal dari hutan. Bahkan keberadaan hutan sangat berperan penting, untuk melindungi tanah dari bahaya erosi dan longsor.
Di Maluku kondisi hutan sangat memprihatinkan, pada tahun 1999 luas hutan lindung di Maluku sebesar 779.618 hektar, dan terakhir pada tahun 2015 luas hutan lindung di Maluku hanya sebesar 627.256 hektar. Ini berarti sekitar 152.362 hektar mengalami penyusutan. Penyusutan itu tidak hanya, karena sebagian besar hutan lindung di Maluku, sudah terkonversi menjadi hutan lindung Maluku Utara, seiring dengan pemekaran Maluku Utara menjadi provinsi di tahun 1999 lalu, tapi akibat dari penebangan yang dilakukan oleh perusahaan berskala nasional, dan berskala lokal, yang bergerak dalam bidang kehutanan.
Hutan di Maluku khususnya di Pulau Buru, dan Pulau Seram pada dekade 1960-an masih hijau. Namun seiring pelaksanaan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) sejak tahun 1969 sampai tahun 1989 di era pemerintahan Presiden Suharto (1965-1998), maka pemerintah saat itu membutuhkan income, dari eksploitasi hutan di tanah air, yang dijadikan sebagai modal dalam pembangunan inprastruktur fisik. Konsekuensi dari kebutuhan income itu, berdampak terhadap di eksploitasinya hutan di Maluku, khususnya di Pulau Buru dan Pulau Seram, oleh perusahaan berskala nasional, dan berskala lokal, yang bergerak dalam sektor kehutanan.
Hal ini tidak terlepas, dari berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kedua undang-undang ini, menjadi pintu masuk bagi perusahaan berskala nasional dan berskala lokal, untuk mendapat konsesi hutan di Maluku. Fenomena ini menunjukan proses pembangunan di era Orde Baru, dampaknya sampai di Maluku, dengan di eksploitasinya hutan di Maluku, khususnya di Pulau Buru dan Pulau Seram, yang memprioritaskan aspek income, untuk kebutuhan pembangunan inprastruktur fisik, dengan mengesampingkan aspek pelestarian hutan.
Dalam eksploitasi hutan di Maluku khususnya di Pulau Buru, dan Pulau Seram tercatat sejumlah perusahaan berskala nasional, dan berskala lokal berpartisipasi yakni ; PT. Barito Pacific, PT. Djayanti Group, PT. Wainibe Wood Industri, PT. Gema Sanubari, PT. Wanapotensi Nusa, PT. Maluku Sentosa, PT. Nusapadma Corporation, PT. Jaya Berdikari, PT. Mangole Timber, PT.Prima Bumi Sakti, PT.Talisan Emas, dan PT. Panca Karya milik pemerintah Provinsi Maluku. Ini belum ditambah sejumlah perusahaan berskala lokal, yang memperoleh konsesi hutan secara ilegal, yang beroperasi di Pulau Buru dan Pulau Seram.
Dalam perkembangannya hutan Maluku di Pulau Yamdena, yang belum terjamah selama tiga dasawarsa ; 1960-an, 1970-an sampai dengan dasawara 1980-an pun, tidak luput pula dari incaran perusahaan berskala nasional dan berskala lokal yang bergerak dalam bidang kehutanan. Tercatat P.T. Alam Nusa Segar, PT. Inhutani I, dan PT. Mohtra Agung Persada, mendapat konsesi untuk melakukan eksploitasi hutan di Pulau Yamdena, yang beroperasi sejak tahun 1992. Dimana 99 persen kayu log hasil penebangan oleh ketiga perusahaan itu, dibawah ke luar Pulau Yamdena.
Namun rupanya eksploitasi hutan oleh ketiga perusahaan itu, mendapat tantangan keras, dari masyarakat adat di Pulau Yamdena. Masyarakat adat di Pulau Yamdena, yang mendapat dukungan dari organisasi keagaamaan, organisasi masyarakat (Ormas), organisasi kepemudaan (OKP), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan para cendekiawan setempat bahu-membahu, menolak eksploitasi hutan oleh ketiga perusahaan itu di Pulau Yamdena. Penolakan keras masyarakat adat Pulau Yamdena, akhirnya memaksa ketiga perusahaan itu, untuk angkat kaki dari Pulau Yamdena di tahun 1999 lalu.
Benteng terakhir hutan di Maluku ini, rupanya tidak henti-hentinya di incar. Sepuluh tahun berselang setelah ketiga perusahaan itu hengkang dari Pulau Yamdena, pada tahun 2008 datanglah perusahaan PT. Karya Jaya Berdikari, yang diberikan konsesi hutan di Pulau Yamdena. Penolakan keras masyarakat adat Pulau Yamdena, terhadap perusahaan ini sempat dilakukan. Tapi penolakan keras itu, termentahkan oleh intervensi pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Sehingga aktifitas eksploitasi hutan di Pulau Yamdena, sampai saat ini tetap dilakukan oleh PT. Karya Jaya Berdikari.
Ternyata bukan hanya ulah dari perusahaan berskala nasional, dan berskala lokal dalam bidang kehutanan, tapi juga perusahaan berskala nasional dalam bidang perkebunan karet dan kelapa sawit, yakni ; PT. Perkebunan Nusantara XIV (Persero) Makassar, yang memiliki lahan karet di Liang Awaiya dan Elpaputi sebesar 50.000 hektar, dan PT Nusa Ina Group, yang memiliki lahan kelapa sawit di Seram Utara sebesar 40.000 hektar, turut memiliki andil dalam penyusutan hutan di Maluku. Pasalnya pembukaan lahan karet, dan kelapa sawit oleh kedua perusahaan ini, diduga diikuti pula dengan pembabatan hutan seluas 90.000 hektar.
Beroperasinya sejumlah perusahaan berskala nasional, dan berskala lokal, yang bergerak dalam bidang kehutahan dan perkebunan di Maluku, maka diperkirakan penyusutan hutan lindung di Maluku lebih besar dari 152.362 hektar. Tak pelak, sebagai akibat dari pemberian konsesi hutan, dan hak guna lahan untuk perusahaan-perusahaan berskala nasional dan berskala lokal itu, berdampak terhadap kerusakan hutan di Maluku dalam skala yang besar, dimana menyisahkan lahan kiritis di Maluku sebesar 1.431.935,48 hektar. Tentu jumlah lahan kritis sebesar itu, bukan jumlah yang sedikit.
Bahkan untuk merehabilitasi lahan kritis sebesar itu, diperlukan waktu kurang lebih 80 tahun. Begitu juga, untuk merehabilitasi lahan kritis itu diperlukan juga biaya, yang tidak sedikit. Saat ini dana yang tersedia bagi rehabilitasi lahan kritis di Maluku hanya sekitar 78 persen, dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Melihat lamanya waktu, dan besaran anggaran untuk merehabilitasi hutan-hutan kritis di Maluku, tentu merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan kita. Betapa mudahnya hutan di Maluku di eksploitasi, dan setelah itu meninggalkan lahan-lahan kritis.
Melihat kondisi hutan Maluku yang memprihatinkan itu, mestinya sejak awal pemerintah dalam memberikan konsesi hutan, dan hak guna lahan bagi perusahaan berskala nasional, dan berskala lokal dalam jumlah terbatas. Ini perlu didukung juga, dengan implementasi konsep sustainable development, dalam pemanfaatan hutan di Maluku, dimana harus menjadi rujukan pemerintah, untuk memberikan ijin bagi perusahaan berskala nasional, dan berskala lokal. Sehingga pemanfaatan hutan di Maluku diselaraskan, dengan pelestarian hutan, demi pemanfaatan bagi masyarakat di Maluku, pada masa yang akan datang.
Meminjam pendapat Joko Arif (2010) salah seorang juru kampanye, dari Green Peace bidang hutan bahwa, untuk mencegah kerusakan hutan, maka pemerintah harus mengubah pola pembangunan, dengan mempertimbangkan sisi ekologis. Pola pembagunan di sektor kehutanan lebih ke arah suistanability atau green ekonomi. Tentu dalam jangka pendek ada opportunity cost yang harus dijalankan, tetapi dalam jangka panjang, keuntungannya akan berlipat ganda, karena bukan hanya mendapat keuntungan secara ekonomis, tetapi juga keuntungan secara ekologi.
Dari kondisi hutan kritis di Maluku, yang begitu besar sebagai akibat eksploitasi hutan, dan dijadikan lahan perkebunan dari perusahaan berskala nasional, dan berskala lokal. Tentunya pemerintah Provinsi Maluku bersama pemerintah Kabupaten/Kota harus melakukan penghentian perijinan terhadap perusahaan berskala nasional dan berskala lokal dalam bidang kehutanan maupun perkebunan. Jika tidak dilakukan penghentian perijinan, diperkirakan 10 sampai 15 tahun mendatang hutan di Maluku, yang terdapat di Pulau Buru, Pulau Seram, dan Pulau Yamdena akan punah tergantikan dengan lahan kritis.
Penghentian perijinan terhadap perusahaan berskala nasional, dan berskala lokal dalam bidang kehutanan maupun perkebunan, oleh pemerintah Provinsi Maluku bersama pemerintah Kabupaten/Kota, harus ditindaklanjuti pula dengan kebijakan rehabilitasi lahan-lahan kritis di Maluku. Sehingga akan memberikan kesempatan kepada tumbuh kembangnya hutan kita di Maluku, dan sekaligus mengembalikan lahan-lahan kritis di Maluku menjadi hijau. Pada akhirnya akan berdampak positif terhadap pelestarian hutan di Maluku.(Kumurur 2006, Siahaan 2007, Prasodjo 2008, Maluku Bisnis 2014).(*)
Discussion about this post