Oleh : Dr. M.J Latuconsina, SIP, MA
Pemerhati Sosial, Ekonomi&Politik
Referensimaluko.id,-Ambon- Lucipara bukanlah nama salah satu telenovela Amerika Latin berepisode panjang, yang selalu di perankan oleh seorang aktris cantik berkebangsaan Mexico Ariadna Thalia Sodi Mirand, yang populer dalam tayangan televisi swasta nasional, dan juga di minati oleh para pemerisa televisi swasta nasional di tanah air, pada era 1990-an lalu. Namun Lucipara sebenarnya adalah nama salah satu kepulauan di Provinsi Maluku, yang terdiri dari tujuh gugusan pulau-pulau kecil, yang letaknya berada di bagian selatan perairan Pulau Ambon dan laut Banda.
Dahulu kala Kepulauan Lucipara menjadi jalur pelayaran armada Portugis, yang hendak mencari kepulauan rempah-rempah Maluku. Setelah Kesultanan Malaka jatuh pada 24 Agustus 1511, akibat diserang armada portugis, yang dipimpin comandante Afonso de Albuquerque dengan mengerahkan 15 kapal besar dan kecil serta 600 tentara, dia pun menjadikan Malaka pintu masuk untuk menguasai jalur rempah-rempah di Nusantara. Untuk tujuan itu, Afonso de Albuquerque memerintahkan António de Abreu, dan Francisco Serrão dengan menggunakan tiga buah kapal, untuk berlayar mencari kepulauan rempah-rempah Maluku guna di kuasai.
Penguasaan Portugis atas kepulauan rempah-rempah Maluku penting dan strategis kala itu. Sebab kepulauan rempah-rempah Maluku kaya akan rempah-rempah berupa cengkeh (syzygium aromaticium) dan pala (myristica fragrans). Dimana cengkeh di Kepulauan rempah-rempah Maluku berasal dari ‘Empat Pulau Gunung Maluku’ (Maloko Kie Raha); Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Sedangkan pala berasal dari empat pulau kecil lainnya di tengah laut Banda ; Lonthor, Neira, Rhun, dan Ai.
Dua komoditas rempah-rempah ini, sangat mahal di daratan Eropa saat itu, karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain sebagai bumbu masakan, rempah obat dan ramuan wewangian, cengkeh dan pala juga menjadi bahan utama pengawet bahan pangan, sehingga makanan dapat disimpan selama bermusim-musim. Bahkan cengkeh dan pala adalah salah satu faktor yang paling menentukan, dalam kemunculan satu babakan paling mengenaskan dalam sejarah politik dunia, yakni zaman penjajahan (kolonialisme) Eropa, terutama atas negara-negara Asia Selatan, Timur dan Tenggara termasuk Indonesia.
Meminjam pendapat yang dikemukakan Roem Topatimasang (2003) dalam tulisannya yang berjudul ‘Cengkeh : Dulu, Kini dan Nanti’ bahwa, tergerak oleh syahwat menguasai rempah-rempah yang menggiurkan itu, bangsa-bangsa Eropa terutama Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda pun menggelar ekspedisi-ekspedisi besar untuk menemukan cengkeh dan pala langsung di tanah asalnya. Ketika armada-armada mereka akhirnya mencapai perairan Kepulauan Maluku, pada abad 16, perang pun tak terhindarkan, mereka silih berganti saling mengalahkan.
Selanjutnya tatkala melakukan perjalanan dari Malaka ke kepulauan rempah-rempah Maluku, Armada Portugis dibawah pimpinan António de Abreu dipandu oleh orang Melayu. Rute pelayaran armada Portugis itu melintasi perairan Pulau Jawa, perairan Kepulauan Sunda Kecil (Madura, Bali, Lombok) dan Kepulauan Banda. Dalam perjalanan kembali dari Kepulauan Banda setelah berhasil di temukan tahun 1512, salah satu armada Portugis yang nahkodai Francisco Serrão, karam di Kepulauan Lucipara. Namun akhirnya Francisco Serrão selamat dari musibah ini, dia pun melanjutkan perjalanan ke Kesultanan Ternate.
Diluar paparan historis itu, banyak pengunjung yang pernah menginjakan kaki di Kepulauan Lucipara menyebutnya sebagai sekeping surga di laut Banda. Kepulauan Lucipara mempunyai keindahan alam menakjubkan, dimana memiliki hamparan pasir putih luas, disekitarnya tumbuh vegetasi pohon yang lebat, yakni cemara laut (casuarina sp), dan pandan laut(pandanus odorifer) diselingi beberapa tumbuhan pantai lain. Tak kalah menakjubkan, ada pula barisan pohon kelapa (cocos nucifera), yang tidak tinggi tapi sarat buahnya. Kepulauan ini juga, menjadi tempat bertelur yang aman bagi penyu hijau (chelonia mydas).
Kepulauan Licipara juga memiliki keindahan bawa laut yang menakjubkan, kejernihan airnya mencapai jarak pandang 30 meter, memiliki tebing-tebing bunga karang spesifik, yang membedakannya dengan keindahan bawa laut di kepulauan lainnya di tanah air. Alam bawa laut Kepulauan Lucipara, yang memiliki tebing-tebing bunga karang itu, membuat banyak ikan besar seperti tuna (thunnus) beraktifitas bebas di sana. Ikan-ikan itu bermain di tebing-tebing bunga karang dalam gerombolan besar, bahkan ikan-ikan itu jinak. Para penyelam pun bisa leluasa bercengkrama dengan ikan-ikan itu.
Keindahan Kepulauan Lucipara yang dikemukakan itu, hanya sedikit dari banyak keindahan lainnya yang terdapat di kepulauan itu. Keindahan itu menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Kepulauan Lucipara memiliki prospek pariwisata yang menjanjikan, jika dikembangkan secara profesional. Kepulauan Lucipara, akan bisa menjadi tujuan para wisatawan. Hal ini dikarenakan aktifitas pariwisata seperti ; diving, snorcling, scuba, surfing, game fishing, poli pantai, dan berkemah dapat dilakukan di Kepulauan Lucipara.
Berbagai potensi pariwisata yang bisa dikembangkan di Kepulauan Lucipara, perlu diikuti pula dengan pembangunan inprastruktur penunjang pariwisata seperti ; penginapan, restoran, pelabuhan laut, landasan helipad, fasilitas air, jaringan komunikasi, dan jaringan listrik. Berbagai inprastruktur penunjang pariwisata ini bisa di sediakan pemerintah, swasta atau kolaborasi antara swasta dan pemerintah. Jika inprastruktur penunjang pariwisata di kepulauan ini lengkap, tentu akan dikunjungi para wisatawan.
Sayangnya diluar potensi pariwisata yang menjanjikan itu, Kepulauan Lucipara hingg kini masih di sengketakan kepemilikannya oleh tiga kabupaten-kota di Provinsi Maluku yakni ; Kota Ambon, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), dan Kabupaten Maluku Tengah. Sengketa itu berawal tatkala Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten SBB memasukan Kepulauan Lucipara ke dalam peta wilayah administratif Kabupaten SBB. Padahal dari sisi aksesibiltas Kepulauan Lucipara lebih dekat dengan wilayah administratif Kota Ambon.
Hal ini yang memicu Walikota Ambon di era M.J. Papilaja bersikeras bahwa, Kepulauan Lucipara merupakan wilayah administratif Kota Ambon. Pasalnya aksesibilitas transportasi ke Kepulauan Lucipara lebih dekat dengan wilayah administratif Kota Ambon, dan para nelayan di Negeri Latuhalat maupun para nelayan di negeri sekitarnya sering melaut, serta menyingahi Kepulauan Lucipara. Sedangkan dari sisi aksesibilitas Kepulauan Lucipara lebih jauh dari wilayah administratif Kabupaten SBB dan Kabupaten Maluku Tengah.
Aspek aksesibilitas ini, yang menjadi alasan Walikota Ambon di masa M.J. Papilaja hendak mengembangkan Kepulauan Lucipara sebagai objek pariwisata bahari. Namun keinginan itu, tidak mudah. Sebab secara yuridis Kepulaun Lucipara masuk dalam wilayah administratif Kabupaten SBB. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten SBB, yang memasukan Kepulauan Lucipara ke dalam peta wilayah administratif Kabupaten SBB.
Aspek yuridis ini, yang menjadi alasan pemerintah Kabupaten SBB, di era kepemimpinan Bupati Jacobis Putileihalat, mengklaim Kepulauan Lucipara merupakan wilayah administrativ Kabupaten SBB. Sebagai bukti kepemilikan atas Kepulauan Lucipara, Pemerintah Kabupaten SBB pun memasukan kepulauan ini dalam promosi objek pariwisata bahari. Sementara itu, Kabupaten Maluku Tengah di era kepemimpinan Bupati Abdullah Tuasikal juga pernah menanggapi serius pelemik ini, dengan menyebut Kepulauan Lucipara merupakan wilayah administrativ Kabupaten Maluku Tengah.
Hal ini dikarenakan Kepulauan Lucipara sebelumnya merupakan bagian dari wilayah administrativ Kabupaten Maluku Tengah, yang tidak di integrasikan ke wilayah administrativ Kota Ambon seiring dengan masuknya Negeri Latuhalat, yang sebelumnya juga merupakan bagian dari wilayah administratif Kecamatan Pulau Ambon Kabupaten Maluku Tengah ke wilayah administrativ Kota Ambon di tahun 1980-an lalu. Hal ini didukung pula dengan letak Kepulauan Lucipara, yang berada di laut Banda, yang sebagian besar merupakan yuridiksi Kabupaten Maluku Tengah.
Begitu pula dari sisi aksesibilitas Kepulauan Lucipara lebih dekat dengan wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah yang berada di Kecamatan Leihitu Barat, Leihitu, Salahutu, Pulau Haruku dan Kecamatan Banda. Sedangkan dari sisi asesibilitas Kepulauan Lucipara lebih jauh dari wilayah administratif Kabupaten SBB yang berada di Kecamatan Huamual. Sisi aksesibilitas ini lah, yang menjadi alasan klaim kepemilikan Kabupaten Maluku Tengah atas Kepulauan Lucipara.
Polemik ini jika dibiarkan bakal menjadi boom waktu, yang akan menyeruak ketika pemerintah tiga kabupaten-kota ini melirik Kepulauan Lucipara sebagai objek wisata bahari, untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Tentu kita tidak menginginkan kasus sengketa kepemilikan empat belas pulau di perairan selatan Pulau Jawa, antara Kabupaten Tulungangung dan Kabupaten Trenggalek di Provinsi Jawa Timur, terjadi menimpa Kepulauan Lucipara, yang tengah juga disengketakan kepemilikannya oleh tiga kabupaten-kota di Provinsi Maluku. Untuk itu, penyelesaian sengketa kepemilikan Kepulauan Lucipara secara komprehensif perlu dilakukan tiga kabupaten-kota ini.(Natsir 2010, Sujarwoko 2012, Topatimasang 2013).
Discussion about this post