Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id,-Ambon-Jika sejarah diajarkan dalam bentuk cerita, itu tidak akan pernah terlupakan. (Rudyard Kipling).
***
Beberapa waktu lalu, saya di kontak Muhamad Tala, yang biasa saya sapa Bang Mad Tala. Ia seorang birokrat karier muda sukses, yang kini menduduki jabatan di Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi, yang berasal dari Negeri Seith (Uliala Leisiwa). Ia selalu mengikuti narasi-narasi saya di facebook, dan menyarankan agar saya menulis tentang Kapitan Ulupaha secara komprehensif. Tentu menuliskan demikian, perlu riset yang komprehensif dan saya wajib mempelajari metodologi penelitian sejarah, berikut filsafat ilmu yang relevan dengan metodologi penelitian sejarah.
Sehingga tak terkesan asal-asalan menulisnya, biar tak disebut khalayak sebagai seorang “sejarawan dadakan”. Biarlah saran Bang Mad Insya Allah di kemudian hari akan saya realisasikan, karena menuliskan sejarah tak semuda “membalikan telapan tangan”. Saat ini saya hendak bercerita kepada Bang Mad tentang kiprah heroik Kapitan Ulupaha dari Negeri Seith, dengan tema “ Ulupaha Gerelyawan Tangguh Lawan Belanda”, dimana referensi sejarahnya didapatkan dari sumber-sumber terbatas.
Tentu patut di dengar Bang Mad, karena bukan sebagai suatu bentuk “penghiburan jiwa” sesaat dari saya kepada Bang Mad, tapi semata-mata sebagai suatu refleksi yang memiliki nilai-nilai kesejarahan dan heroisme di masa lampau kepada kita selaku generasi muda bahwa, leluhur Bang Mad dari Negeri Seith, dahulu kalah pernah dengan jiwa dan raganya hadir untuk mempertahankan tanah Maluku dalam Perang Pattimura 1817, dari kesewenang-wenangan imprealis Eropa, yang tak lain adalah Belanda.
***
Terlepas dari itu, Kapitan Ulupaha adalah “Raja” Negeri Seit, sama seperti pendahulunya Kapitan Telukabessy beliau juga berasal dari Jazirah Hitu Pulau Ambon. Ia adalah pembantu dari Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura pemimpin perang Pattimura melawan Belanda tahun 1817. Kapitan yang sudah berumur lanjut ini (80 tahun) ditugaskan Pattimura untuk mempertahankan Front Hitu di Pulau Ambon dan menjadi pemimpin pasukan. Rakyat Jasirah Hitu mengangkat senjata setelah mendengar jatuhnya Benteng Duurstede di Pulau Saparua.
Meskipun sudah berusia senja, tak menyurutkan sedikitpun nyalinya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kendati ia naik turun perbukitan memimpin gerliya dengan cara ditandu, layaknya Cut Nyak Dhien saat melawan Belanda pada Perang Aceh (1873-1904) yang juga melakukan gerilya dengan cara ditandu, tapi tak sedikit pun kendor perlawanannya. Semangat serta pengaruhnya yang besar membuat ia selalu ikut dalam setiap pertempuran. Ia tidak pernah bertemu langsung dengan Pattimura, beliau diaangkat sebagai Kapitan Perang untuk wilayah Hitu.
Pada permulaan peperangan, pasukan Ulupaha telah mengancam dan menyerang benteng Amsterdam di Negeri Hila dan pos-pos penjagaan Belanda di Larike, Liang dan Waai. Pada waktu peperangan sedang berkobar di kepulauan Lease melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1817, Ulupaha menggerakkan pasukan menyerang benteng Belanda di Negeri Larike. Namun gagal diduduki, oleh karena Belanda mengerahkan pasukannya yang besar dari laut dan darat yang dipimpin Mayor Meyer. Serangan Belanda kemudian ditujukan ke pusat pertahanan Ulupaha di Seith dan Negeri-Negeri di sekitarnya. Ulupaha dan pasukannya berjuang mempertahankan Negeri-Negeri di Jasirah Utara Hitu dengan bantuan pasukan Alifuru dari Seram.
Pada tanggal 16 oktober 1817, Laksamana Buyskes sebagai Panglima tertinggi Belanda yang datang sendiri ke Maluku memerintahkan serangan umum ke Hitu menyebabkan terjadilah pertempuran yang seru antara kedua belah pihak. Pasukan Ulupaha akhirnya terdesak dan bergerilya di hutan-hutan. Ulupaha lalu menyingkir ke Seram Barat dan menggabungkan diri dengan pasukan dari Negeri Luhu menyerang benteng Belanda di Luhu. Benteng tersebut akhirnya jatuh ke tangan pasukan Ulupaha.
Belanda kembali menyerang Seram Barat dan menduduki benteng Luhu. Kemudian ekspedisi khusus diadakan untuk menangkap Ulupaha. Pada bulan Januari 1818 pahlawan tua ini digotong dengan tanda memasuki benteng Victoria, tanggal 19 Pebruari 1818, sidang kilat Pengadilan Ambon menjatuhkan hukuman mati dan pada tanggal 20 Pebruari 1818 pahlawan tua ini dieksekusi hukuman mati gantung di lapangan yang berada di depan benteng Victoria.( balagu.com,wikipedia, 2020).
Perlawanan yang gigih dan berani oleh Kapitan Ulupaha terhadap Belanda, yang meskipun berakhir “kelam” dan “menyedihkan”. Namun ia adalah seorang pahlawan, yang telah mendarma baktikan jiwa dan raganya, untuk tanah Maluku. Kepalawanannya ini, mengingatkan kita pada ungkapan Mohammad Hatta (1902-1980), salah seorang Proklamator Republik Indonesia (RI) bahwa, “pahlawan yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita.”
Tentu ini hanya sepenggal cerita buat Bang Mad Tala, tentang “Ulupaha Gerilyawan Tanggu Lawan Belanda”, yang berasal dari Negeri Seith di Tanah Hitu sana, yang diksinya mirip dengan judul puisi dari Chairil Anwar (1922-1949), salah seorang sastrawan Indonesia terkemuka, yang populer pada zamannya, yang berjudul ; “Cerita Buat Dien Tamaela”. Semua itu hanya kebetulan saja temanya demikian, namun substansi terpenting yakni, bisa memberikan pemahaman kepada generasi kita tentang perjuangan yang berani dan gigih dari para leluhur melawan Belanda, demi mempertahankan wilayahnya, walaupun nyawa adalah taruhannya.. (*)
Discussion about this post