Dua ilmuwan muda asal Indonesia terlibat dalam pembuatan vaksin AstraZeneca di Oxford University, Inggris. Sedangkan Carina Joe sendiri memegang hak paten tentang manufacturing scale up atau produksi dalam skala besar.
Carina Citra Dewi Joe dan Indra Rudiansyah. Carina adalah postdoctoral research scientist pengembangan vaksin di Jenner Institute, Oxford University.
Sementara itu, Indra adalah PhD candidate atau mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh pendidikan S3 pada Program Clinical Medicine, Jenner Institute, Oxford University.
Proyek penelitian vaksin COVID-19 tersebut dipimpin Profesor Vaksinologi University of Oxford Sarah Gilbert.
Carina adalah peneliti utama dalam pengembangan proses manufaktur skala besar cGMP Oxford atau vaksin AstraZeneca COVID-19. Produksi vaksin COVID-19 skala besar ini dimaksudkan untuk rampung dalam waktu singkat agar dapat segera digunakan dalam uji klinis dan penggunaan masif.
Peraih gelar PhD in Biotechnology di Royal Melbourne Institute of Technology, Australia ini mengatakan, dirinya semula berkecimpung di dunia bioteknologi saat memilih masuk jurusan tersebut untuk berkuliah S1.Setelah melanjutkan pendidikan S1, ia lalu ditawari magang di perusahaan Australia.
“Setelah PhD, lanjut internship 7 tahun. Karena saya latar belakangnya industri, sementara apply ke post doc Oxford, mereka senang sama background industri saya,” kata Carina acara Ngosyek atau Ngobrol Asyeek di Instagram Duta Besar Indonesia untuk Inggris dan Irlandia, Desra Percaya, Minggu(25/7/2021).
Carina menuturkan, pengalamannya sebagai peneliti utama dalam pengembangan vaksin AstraZeneca menjadi tanggung jawab besar. Sebab, aktivitasnya dalam penelitian akan memberi pengaruh langsung pada kehidupan masyarakat secara global.Carina menuturkan, sebagai tim produksi skala besar, ia bekerja 7 hari seminggu dengan durasi lebih dari 12 jam sehari tanpa libur agar vaksin COVID-19 bisa digunakan di seluruh dunia.Di sisi lain, ia senang saat ini vaksin buatan tim Oxford dapat menyelamatkan puluhan ribu jiwa.”Senangnya, vaksin AstraZeneca ini sudah disetujui di 178 negara, 700 juta dosis digunakan di dunia. Dari stastistik yang saya dapat, ini menyelamatkan puluhan ribu jiwa. Jadi saya senang karena hasil kerja saya bisa saya lihat langsung,” ujarnya.
Sedangkan, Indra Rudiansyah terpilih sebagai salah satu mahasiswa sekaligus peneliti yang dilibatkan dalam proyek penelitian vaksin AstraZeneca di Oxford University.Indra menjelaskan, dirinya semula berfokus pada pengembangan vaksin untuk penyakit menular seperti HIV, ebola, dan penyakit-penyakit lainnya yang berpotensi menimbulkan pandemi seperti SARS, MERS.Sementara itu pada penelitian vaksin AstraZeneca, kata Indra, ia bekerja mengamati respons antibodi sukarelawan. “Metode ini juga berlaku saat saya mengerjakan vaksin malaria,” jelasnya.Lulusan S1 Mikrobiologi dan S2 Bioteknologi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menuturkan, dirinya semula mengenal lebih jauh vaksin saat diberitahu mengenai kompetisi vaksin di SMA oleh Bu Yani, salah satu guru sekolahnya.Ketertarikannya pada bidang biologi molekuler dan bioteknologi berkembang saat salah satu temannya di Imperial College London mengenalkan tentang kompetisi synthetic biology.Indra menuturkan, ia kemudian mendapat kesempatan kerja di Biofarma bagian pengembangan produk.
Ketika ingin menempuh pendidikan S3, kata Indra, dirinya lalu ingin belajar dari awal mula pembuatan vaksin lagi. Dari situ ia kemudian diterima di Jenner Institute Oxford University.”Saat saya lanjut PhD, saya pengen tahu dari awal pembuatan vaksin seperti apa. Jadi saya apply ke Jenner Insitute, lalu interview. Dengan ada pengalaman di vaccine manufacturing, dari situ saya diterima,” ujar Indra.Indra mengatakan, belajar langsung dengan para ahli dalam menangani uji klinis, mengatur desain uji klinis, merekrut relawan, dan pembagian tugas di lab imunologi menjadi pengalaman membanggakan dan penuh ilmu.Fase-fase tersebut menurut Indra tidak mudah karena melibatkan banyak orang, banyak sampel, dan rentan kesalahan.
“Tetapi (kalau ada kesalahan), saling profesional, diketahui (bahwa) ini salah dan diatasi,” ujarnya.Menurut Sarah Gilbert, perekrutan para mahasiswa pascasarjana lintas disiplin ilmu di universitas demi mempercepat produksi vaksin.Ia menambahkan, kebutuhan pembuatan vaksin dalam waktu singkat membuatnya amat memerlukan mahasiswa yang sudah terlatih bekerja di laboratorium, yang kebanyakan adalah mahasiswa pascasarjana.
“Untuk membuat vaksin dengan cepat, kita butuh banyak orang dengan berbagai skill berbeda. Kita butuh immunologist, yang medically qualified, perawat, statistisi, dan juga engineer, yang akan bekerja memproduksi vaksin dan memastikan quality control-nya,” kata Sarah dalam video “The Oxford Vaccine: Meet The Team Behind The Breakthrough” di kanal YouTube Deutsche Bank, diunggah Februari 2021. (Rm-01)
Discussion about this post