Referensimaluku.id,-LANGGUR- Tradisi Wer Warat atau Hela Tali kembali menjadi sorotan dalam rangkaian Festival Pesona Meti Kei (FPMK) 2025 yang digelar di Pantai Hoar, Ohoi Danar Sare, Kecamatan Kei Kecil Timur Selatan, Minggu (26/10/2025).
Tradisi turun-temurun ini menampilkan kekompakan masyarakat Kei dalam menangkap ikan dengan cara unik menggunakan tali panjang yang dililit daun kelapa. Tali tersebut digunakan untuk menggiring ikan secara berkelompok ke arah yang diinginkan — sebuah atraksi yang memadukan kearifan lokal, koordinasi, dan kerja sama tinggi.
Lebih dari sekadar cara tradisional menangkap ikan, Wer Warat menjadi simbol gotong royong, solidaritas sosial, serta penghormatan terhadap laut yang telah diwariskan sejak zaman leluhur. Kini, tradisi ini terus dijaga sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat Kei.
“Walaupun Festival Pesona Meti Kei tahun ini digelar dengan sederhana, namun nilai-nilai kearifan lokal seperti Wer Warat tetap dijaga dan dilestarikan. Saya berharap masyarakat dapat mempertahankan tradisi ini sebagai warisan budaya yang membanggakan,”
ujar Bupati Maluku Tenggara, Muhammad Thaher Hanubun, di sela-sela kegiatan di Pantai Hoar.

Persiapan tradisi dimulai sejak pagi. Para lelaki di ohoi (desa) bekerja sama membuat tali sepanjang 150 hingga 200 meter dari anyaman janur kelapa. Proses ini membutuhkan ketelitian, kekompakan, dan waktu seharian penuh. Dahulu, tali dibuat dari serat pohon hutan, namun kini sebagian masyarakat beralih menggunakan tali nilon yang lebih kuat tanpa mengubah makna tradisinya.
Ketika air laut mulai surut, suasana di pesisir berubah menjadi riuh. Tali yang telah dililit daun kelapa dibawa ke laut menggunakan perahu, lalu dibentangkan dan ditarik perlahan ke arah pantai. Gesekan daun kelapa di air menciptakan bunyi khas yang menggiring ikan menuju jaring di tepian pantai.
Sebelum prosesi dimulai, tokoh adat dan tokoh agama memimpin doa bersama untuk memohon keselamatan dan hasil tangkapan yang melimpah. Prosesi ini juga diiringi sejumlah pantangan adat, salah satunya larangan bagi perempuan untuk menginjakkan kaki di tepi pantai selama upacara berlangsung, sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai sakral leluhur.
Lebih dalam, Wer Warat memuat filosofi hidup yang kuat. Ia mengajarkan pentingnya kebersamaan, disiplin, tanggung jawab sosial, dan pelestarian alam. Bagi masyarakat Kei, menjaga laut dan melestarikan cara tradisional yang ramah lingkungan berarti menjaga keseimbangan hidup sekaligus menghormati warisan nenek moyang.
“Wer Warat adalah tradisi leluhur yang menjadi kebanggaan kita bersama. Kalau bukan kita yang melestarikan dan mempromosikannya, siapa lagi?”
ujar Anggota Komisi III DPR RI, Widya Pratiwi, yang turut hadir menyaksikan tradisi tersebut.
Sementara itu, Anggota Komisi V DPR RI, Saadiah Uluputty, juga memberikan apresiasi tinggi terhadap semangat masyarakat Kei dalam menjaga warisan budaya.
“Kami bangga bisa menyaksikan langsung tradisi ini. Meski FPMK 2025 digelar secara sederhana, semangat masyarakat untuk melestarikan budaya luar biasa. Ini menjadi kenangan berharga bagi kami di Senayan, dan kami akan menceritakan keindahan budaya Wer Warat kepada masyarakat luas,” ujarnya. (RM-06)










Discussion about this post